Pondok Pesantren dibeli dengan Harga Murah oleh Politik

Noer Huda By Noer Huda - Content Creator
4 Min Read
Pondok Pesantren dibeli dengan Harga Murah oleh Politik
Pondok Pesantren dibeli dengan Harga Murah oleh Politik

jfid – Pondok pesantren, sejak zaman penjajahan hingga era reformasi, memegang peran sentral dalam memelihara keutuhan agama, bangsa, dan negara.

Kiai dan santri, dengan semangatnya, telah menjadi garda terdepan dalam menjaga keutuhan dan identitas Indonesia.

Namun, dalam era demokrasi dan dinamika politik yang terus berkembang, pondok pesantren terlihat mulai kehilangan esensi sebagai lembaga independen yang kritis.

Terperangkap dalam jaringan politik praktis, banyak pondok pesantren seakan menjadi alat transaksi politik yang menjual kepentingan agama dan kebangsaan demi imbalan sesaat.

Ad image

Hal ini tercermin dalam dukungan aktif dari beberapa pengasuh pondok pesantren terkemuka terhadap calon pemimpin tertentu.

Salah satu contoh nyata adalah dukungan dua pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, KH Anwar Manshur dan KH Abdullah Kafabihi Mahrus, kepada pasangan Capres-Cawapres nomor urut 1, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. Dukungan ini diungkap dalam Forum Silaturahim Keluarga/Dzurriyah, dihadiri kyai, ibu nyai, gawagis dan nawaning di Aula Muktamar Pondok Pesantren Lirboyo.

“Kami bersama-sama membulatkan tekad memenangkan Muhaimin Iskandar. Kalau kita ini bersatu Insyaallah, Allah akan mempermudah. Warga Nahdlatul Ulama itu kan banyak, kalau bersama-sama, Insyaallah menang. Dan semoga Muhaimin selalu dibersamai Allah untuk menjadi wapres,” kata Kiai Anwar Manshur atau akrab disapa Mbah War, yang dikutip dari detikNews.

Dukungan tersebut, seakan menjadi langkah strategis bagi pasangan AMIN (Anies-Muhaimin). Dengan merangkul dukungan dari pondok pesantren terkemuka seperti Lirboyo, pasangan ini berharap mendapatkan dukungan luas dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Islam terbesar di Indonesia.

Namun, muncul pertanyaan penting yang membutuhkan jawaban jujur: apakah dukungan ini benar-benar murni didasarkan pada pertimbangan keagamaan dan kebangsaan?

Ataukah ada faktor lain seperti imbalan finansial, jabatan, atau kekuasaan yang turut mempengaruhi keputusan para pengasuh pondok pesantren?

Tantangan terbesar adalah mempertahankan otonomi dan kemandirian pondok pesantren dari pengaruh politik pragmatis.

Seharusnya, pondok pesantren bukanlah ajang bagi politisi untuk mencari dukungan semata, melainkan sebagai tempat untuk belajar, mendengarkan, dan memahami aspirasi rakyat.

Pondok pesantren memiliki peran penting sebagai lembaga pendidikan dan dakwah yang bertumpu pada nilai-nilai keislaman dan Pancasila.

Kehadirannya seharusnya tidak disulap menjadi alat politik yang dimanfaatkan oleh para politisi untuk kepentingan pribadi.

Jika pondok pesantren tidak mampu menjaga integritasnya, maka risiko kehilangan kredibilitas sebagai lembaga pendidikan yang berdiri di atas nilai-nilai Islam dan Pancasila sangatlah besar.

Keberadaannya bisa disalahgunakan sebagai sarana politik yang menjauhkan visi kebangsaan, bukan malah membantu dalam proses pembangunan dan kemajuan Indonesia.

Oleh karena itu, penting bagi semua pihak yang terlibat—pengasuh, santri, alumni, bahkan politisi yang terlibat—untuk merenung. Pondok pesantren adalah aset berharga Indonesia, warisan luhur para ulama dan pejuang, serta harapan bagi masa depan.

Maka, janganlah biarkan pondok pesantren menjadi korban politik yang kotor dan oportunis. Jangan biarkan pondok pesantren kehilangan martabatnya, identitasnya sebagai lembaga yang berkhidmat bagi agama, bangsa, dan negara.

Mari kita bersama-sama menjaga pondok pesantren sebagai pilar kebangkitan moral bangsa, bukan sebagai arena politik yang murah dan terkooptasi.

Share This Article