jfid – Minggu sore, 13 Maret, tepat di perum Bumi Sumekar, Jl. Adhirasa, desa Kolor, Sumenep. Seseorang diduga begal memegang celurit, diberondong timah panas aparat Polres Sumenep dengan penembakan terukur.
Identitas terduga begal berinisial H (24) warga desa Gadu Timur, kecamatan Ganding, telah meninggal dunia dan dikebumikan pada Senin (14/3/2022).
Pengakuan dari pihak keluarga H (terduga begal) bahwa H mengalami Gangguan jiwa.
“Sebelumnya, pihak keluarga menginginkan H untuk dirantai (dipasung, red),” terang Jalil, paman Almarhum.
Widiarti, Kasubag Humas Polres Sumenep, memberikan keterangan, jika pelaku telah diberikan tembakan peringatan, namun pelaku masih memegang Celurit dan tak mengindahkan tembakan peringatan.
“Setelah Pelaku diberikan tembakan peringatan, pelaku tak mengindahkan. Lalu polisi melakukan tindakan terukur. Di perjalanan menuju rumah sakit, pelaku dinyatakan meninggal,” terang Widiarti, saat ditemui di kamar mayat RSUD dr H. Moh Anwar Sumenep. Minggu malam (13/3/2022).
Tindakan aparat kepolisian Sumenep, yang melakukan penembakan pada terduga begal saat tak berdaya dengan mengeluarkan beberapa tembakan diprotes banyak pihak. DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Sumenep, menilai, tindakan polisi yang melumpuhkan laki- laki yang diduga begal hingga tewas tidak dibenarkan. Apalagi terduga sudah jatuh dan masih diberondong tembakan.
Robin Nurrahman, ketua DPC GMNI Sumenep menilai jika aparat seenaknya melepaskan tembakan padahal terduga sudah jatuh tersungkur.
“Oknum polisi itu harusnya sesuai dengan prosedur, pertama diberi tembakan peringatan, barulah jika tetap melawan barulah bisa diberi tembakan terukur yakni tembakan yang tidak menghilangkan nyawa seseorang. Misalkan pada area kaki dengan tujuan agar tidak melakukan perlawanan, sebagaimana dijelaskan dalam PK-POLRI No 8 Tahun 2009 tentang implementasi prinsip dan standar HAM dalam penyelenggaraan tugas kepolisian,” tegas Robin Nurrahman, dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi jurnalfaktual.id, Senin (14/3/2022).
Robin menambahkan, jika polisi telah melakukan tembakan terukur, yakni terduga itu sudah jatuh tersungkur namun masih saja diberondong dengan tembakan.
“Tindakan tersebut justru tidak dibenarkan, mengingat bahwa hukum di negara ini menganut asas praduga tak bersalah, apalagi pihak keluarga pria yang ditembak itu mengatakan bahwa dia memiliki gangguan mental, alias stres. Namun tindakan oknum kepolisian itu tidak memperhatikan hak asasi yang dimiliki pria itu, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 28 a UUD 1945 bahwa setiap manusia berhak hidup,” terang Robin Nurrahman, ketua DPC GMNI Sumenep.
Atas kejadian tersebut, Robin Nurrahman memberikan ultimatum pada Kapolres Sumenep. “Kapolres Sumenep harus bertanggung jawab menyampaikan ke publik tentang kronologi sebenarnya, dan mengevaluasi dalam bentuk sanksi atas kinerja anggotanya dalam mengatasi kriminal sehingga tidak membabi buta dan menjatuhkan nama baik Polres Sumenep,” imbuhnya.
Dilain hal, Nur Faizal, wakil ketua bidang Hukum dan HAM DPD KNPI Jatim, juga menuai protes keras atas tindakan aparat kepolisian Sumenep.
“Itu mall praktek SOP (Standard Operasional Pelayanan, red). Itu pembunuhan yang sengaja dilakukan atas nama SOP. Para pelakunya harus dimintai pertanggungjawaban secara hukum, ini negara hukum. Yang memiliki azas praduga tak bersalah dan azas equality before the law, jangan semena-mena. Artinya ada standar operasional dalam penggunaan senjata api untuk melumpuhkan tersangka atau orang yang dianggap membahayakan nyawa orang lain. Menurut Humas polres Sumenep, mengatakan terukur? Terukur dari mana? Jelas-jelas orang itu tidak bisa mengangkat tangannya dan ditembaki sebanyak 5 kali. Apakah itu bukan tindakan biadab? Menurut kacamata saya, saya melihat segerombolan preman melakukan pembunuhan sadis di jalan,” tegas Nur Faizal, wakil ketua bidang Hukum dan HAM DPD KNPI Jatim. (DN).