jfid – Cina dikenal sebagai salah satu negara dengan kekuatan militer terbesar di dunia. Dengan anggaran pertahanan yang mencapai ratusan miliar dolar AS, Cina terus berupaya untuk memodernisasi dan meningkatkan kemampuan Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) sebagai alat kekuasaan dan pengaruh global.
Namun, di balik kemegahan dan ambisi militer Cina, terdapat masalah kronis yang menggerogoti kepercayaan dan kinerja PLA, yaitu korupsi.
Sejak naik ke tampuk kekuasaan pada 2012, Presiden Xi Jinping telah memulai kampanye anti-korupsi yang luas dan tegas, yang tidak hanya menyasar pejabat sipil dan partai, tetapi juga jenderal-jenderal militer.
Menurut laporan media pemerintah Cina, sejak 2012 hingga 2020, lebih dari 13.000 perwira militer telah dihukum karena berbagai pelanggaran disiplin, termasuk korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, dan pelanggaran hukum.
Di antara mereka, terdapat 120 jenderal yang menduduki posisi penting di PLA, seperti mantan wakil ketua Komisi Militer Pusat (CMC) Guo Boxiong dan Xu Caihou, mantan menteri pertahanan Wei Fenghe, dan mantan komandan Pasukan Roket PLA Zhang Haiyang.
Korupsi di militer Cina bukanlah fenomena baru, tetapi telah berlangsung sejak lama dan semakin parah seiring dengan pertumbuhan ekonomi dan anggaran pertahanan Cina.
Beberapa faktor yang menjadi penyebab korupsi antara lain rendahnya gaji dan kesejahteraan perwira, kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran dan peralatan militer, serta sistem promosi yang didasarkan pada nepotisme, suap, dan loyalitas politik.
Dampak korupsi terhadap militer Cina sangat merugikan, baik dari segi moral, profesional, maupun strategis. Korupsi telah menurunkan moral dan disiplin prajurit, mengurangi kualitas dan kuantitas peralatan militer, serta melemahkan efektivitas dan kesiapan tempur PLA.
Korupsi juga telah mengancam stabilitas dan legitimasi rezim Partai Komunis Cina (PKC), yang mengklaim sebagai pemimpin dan pelindung rakyat Cina.
Kampanye anti-korupsi yang dilakukan oleh Xi Jinping bertujuan untuk membersihkan dan memperkuat militer Cina, sekaligus menegaskan otoritas dan kontrolnya atas PLA. Xi Jinping ingin membangun militer yang bersih, disiplin, profesional, dan loyal kepada partai dan dirinya.
Xi Jinping juga ingin mempercepat modernisasi militer Cina untuk mencapai tujuan menjadi kekuatan militer kelas dunia pada 2050.
Namun, kampanye anti-korupsi juga menimbulkan tantangan dan risiko bagi Xi Jinping dan militer Cina. Di satu sisi, kampanye anti-korupsi dapat menimbulkan ketidakpuasan dan perlawanan dari kelompok-kelompok kepentingan yang terkena dampaknya, terutama para jenderal senior yang memiliki jaringan dan pengaruh di PLA.
Di sisi lain, kampanye anti-korupsi dapat mengganggu dan memperlambat proses modernisasi militer Cina, yang membutuhkan sumber daya, teknologi, dan personel yang berkualitas dan handal.
Dengan demikian, Xi Jinping menghadapi dilema antara membersihkan dan memperkuat militer Cina. Apakah kampanye anti-korupsi akan berhasil menciptakan militer yang lebih efisien, efektif, dan setia kepada Xi Jinping?
Atau justru akan menimbulkan kekacauan, ketidakstabilan, dan kelemahan di dalam militer Cina? Jawaban dari pertanyaan ini akan menentukan masa depan dan nasib Xi Jinping, PKC, dan Cina itu sendiri.