Nasi Kepal Untuk Perawatan Ketiak,Tren Kuliner Jepang yang Mencengangkan !

Shofiyatul Millah By Shofiyatul Millah
3 Min Read

jfid – Di tengah hiruk-pikuk tren kuliner global, Jepang kembali menjadi sorotan dengan inovasi terbarunya yang cukup kontroversial: Nasi Kepal atau Onigiri yang dibuat menggunakan aroma ketiak.

Fenomena ini bukan hanya menarik perhatian karena keunikan proses pembuatannya, tetapi juga karena dampaknya terhadap harga jual produk tersebut.

Asal-Usul dan Proses Pembuatan

Onigiri, camilan tradisional Jepang yang biasanya dibentuk dengan tangan dan dibungkus rumput laut, telah mengalami transformasi yang tak terduga.

Berawal dari sebuah eksperimen kuliner yang dilakukan oleh seorang koki wanita di Jepang, onigiri ini dibentuk dengan cara yang tidak konvensional—dengan dikempit di ketiak.

Ad image

Sebelum proses pembuatan, semua bahan dan bagian tubuh yang bersentuhan dengan nasi telah didisinfeksi untuk memastikan kehigienisan.

Reaksi Publik dan Harga Jual

Tren ini dengan cepat menyebar dan menjadi viral di media sosial, menimbulkan berbagai reaksi dari antusiasme hingga kejijikan.

Beberapa restoran di Jepang bahkan memperkenalkan onigiri ini dengan harga yang jauh lebih tinggi, mencapai sepuluh kali lipat dari harga nasi kepal biasa.

Hal ini menunjukkan bahwa inovasi dalam kuliner, tidak peduli seberapa anehnya, dapat memiliki nilai ekonomi yang signifikan.

Pandangan dan Pengalaman Konsumen

Konsumen yang telah mencoba onigiri ini mengaku bahwa rasanya tidak berbeda dengan onigiri biasa, dan beberapa bahkan menyatakan bahwa rasanya lebih lezat.

Namun, tidak semua orang tergoda untuk mencoba. Ada kekhawatiran tentang potensi risiko kesehatan, meskipun telah dijamin bahwa proses pembuatannya higienis.

Kontroversi dan Diskusi Sosial

Kehadiran onigiri dengan aroma ketiak ini telah menimbulkan diskusi yang lebih luas tentang batasan-batasan dalam inovasi kuliner.

Beberapa netizen menganggap bahwa selama proses pembuatan makanan itu higienis, tidak ada masalah dengan metode yang digunakan.

Namun, ada pula yang merasa bahwa hal ini tidak dapat diterima, dengan alasan kekhawatiran akan penyakit tersembunyi yang mungkin dimiliki oleh koki.

Kesimpulan

Tren onigiri dengan aroma ketiak ini mengajarkan kita bahwa kuliner tidak hanya tentang rasa, tetapi juga tentang pengalaman sensorik yang unik dan nilai tambah yang dapat diciptakan.

Meskipun kontroversial, tren ini membuka pintu bagi diskusi tentang inovasi dan kreativitas dalam dunia kuliner, serta bagaimana kita memandang makanan yang kita konsumsi.

Dalam menganalisis fenomena ini, kita diajak untuk melihat lebih jauh dari sekadar proses pembuatan makanan.

Kita ditantang untuk mempertimbangkan aspek-aspek seperti kebersihan, persepsi publik, dan nilai ekonomi yang terkait dengan inovasi kuliner.

Apakah tren ini akan bertahan atau hanya menjadi fenomena sesaat, hanya waktu yang akan menjawab.

Namun, satu hal yang pasti: onigiri dengan aroma ketiak telah berhasil menarik perhatian dunia dan memicu diskusi yang penting tentang batasan-batasan dalam kuliner modern.

Share This Article