jfid – Sejak perang antara Israel dan Hamas meletus pada 10/7, ada tren baru yang mengejutkan dunia: semakin banyak wanita muda, progresif, dan berpendidikan dari negara-negara Barat yang memutuskan untuk masuk Islam.
Mereka tidak hanya mengucapkan syahadat, tetapi juga mengenakan hijab, membaca Al-Quran, menghadiri protes pro-Palestina.
Bahkan belajar bahasa Arab. Dan mereka tidak segan-segan memamerkan perubahan hidup mereka di media sosial, seperti TikTok, Twitter, atau LinkedIn.
Apa yang mendorong mereka untuk membuat pilihan yang tampaknya bertentangan dengan nilai-nilai Barat yang mereka anut sebelumnya?
Apakah mereka terpengaruh oleh propaganda kelompok ekstremis Islam seperti Negara Islam (IS) yang mengklaim telah mendirikan “negara Islam murni” di Suriah dan Irak?
Apakah mereka mencari suami jihadis yang akan melindungi mereka di bawah bendera hitam IS? Atau apakah ada alasan lain yang lebih mendalam dan kompleks?
Para ahli dan peneliti yang mengkaji fenomena ini menemukan bahwa ada berbagai faktor yang mempengaruhi keputusan wanita-wanita ini untuk beralih ke Islam.
Salah satunya adalah ketidakpuasan mereka terhadap agama atau budaya yang mereka miliki sebelumnya.
Banyak dari mereka yang merasa tidak mendapatkan jawaban atau makna hidup dari agama Kristen atau Yahudi yang mereka pelajari sejak kecil.
Mereka juga merasa tidak nyaman dengan budaya Barat yang menekankan pada penampilan fisik, konsumsi, dan hedonisme.
Mereka merindukan sesuatu yang lebih spiritual, otentik, dan berkomitmen.
Islam, bagi mereka, menawarkan alternatif yang menarik. Mereka tertarik dengan ajaran-ajaran Islam yang mereka anggap sebagai “agama asli” yang sesuai dengan fitrah manusia.
Mereka juga kagum dengan keimanan dan ketabahan umat Islam, khususnya rakyat Palestina, yang tetap teguh menghadapi penindasan dan kekerasan Israel. Mereka merasa memiliki kewajiban moral untuk membela hak-hak mereka dan menentang kezaliman.
Selain itu, faktor lain yang berperan adalah pengaruh media sosial. Media sosial menjadi sarana bagi wanita-wanita ini untuk mendapatkan informasi, inspirasi, dukungan, dan bimbingan tentang Islam.
Mereka dapat berinteraksi dengan sesama konvertit atau aktivis Muslim yang memberikan saran, bantuan, dan motivasi untuk mereka.
Mereka juga dapat melihat gambar-gambar atau video-video yang menampilkan kehidupan di “negara Islam” yang dijanjikan oleh IS.
Media sosial juga menjadi ajang bagi mereka untuk mengekspresikan identitas dan pandangan mereka sebagai Muslimah baru.
Namun, tidak semua orang menyambut baik pilihan wanita-wanita ini. Beberapa ahli dan aktivis mengkritik dan mengkhawatirkan dampak negatif dari konversi mereka ke Islam.
Mereka menilai bahwa wanita-wanita ini tidak menyadari bahwa mereka telah melepas kebebasan dan hak-hak mereka sebagai wanita dengan memeluk agama yang diskriminatif dan patriarkal.
Mereka juga menuding bahwa wanita-wanita ini telah terjebak oleh propaganda IS yang menyesatkan dan berbahaya.
Mereka mengingatkan bahwa IS adalah kelompok teroris yang telah melakukan kekejaman dan kejahatan yang tak terhitung terhadap umat Islam sendiri, terutama perempuan dan anak-anak.
Bagaimana nasib wanita-wanita ini di masa depan? Apakah mereka akan tetap setia dengan Islam atau akan menyesali keputusan mereka?
Apakah mereka akan berkontribusi untuk perdamaian dan kesejahteraan dunia atau justru menjadi ancaman dan musuh.
Hanya waktu yang akan menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Yang pasti, fenomena ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang dinamis, beragam, dan relevan di era globalisasi ini.
Dan wanita, sebagai bagian dari umat Islam, memiliki peran penting dalam menentukan arah dan masa depan Islam itu sendiri.