jfid – Di tengah lanskap politik yang dipenuhi ketegangan, keputusan rezim Arab untuk tidak memboikot Israel dan Amerika Serikat (AS) membuka jendela ke dalam kompleksitas hubungan mereka dengan dua kekuatan global tersebut.
Sejarah geopolitik Arab-Islam membawa kita kembali pada pertengahan abad ke-20, ketika negara-negara Arab lahir setelah melepaskan diri dari kendali Inggris dan Prancis.
Pengalaman panjang di bawah cengkeraman kolonialisme Eropa dan pemerintahan otoriter yang muncul setelah mereka mundur telah meninggalkan bekas mendalam pada psikologi Arab.
Pada tahun 2020, AS memediasi Perjanjian Abraham dengan tujuan meraih dukungan yang lebih luas terhadap Israel di dunia Arab. Kesepakatan ini membawa Bahrain, Maroko, Sudan, dan Uni Emirat Arab ke dalam lingkaran perdagangan dan kerja sama militer dengan Israel.
Meskipun ada tekanan di tingkat publik, khususnya di negara-negara yang telah menormalisasi atau merencanakan normalisasi hubungan dengan Israel, untuk memutuskan ikatan tersebut karena konflik Israel dengan Hamas.
Mengapa rezim-rezim Arab, yang memiliki sumber daya ekonomi melimpah, tidak bersatu dalam boikot terhadap Israel dan AS, bahkan jika itu dapat menjadi langkah efektif untuk menghentikan konflik? Jawabannya melibatkan sejumlah alasan yang rumit.
Negara-negara Arab banyak bergantung pada ekspor minyak mereka ke Barat, termasuk AS, sebagai sumber utama pendapatan. Memboikot penjualan minyak dapat menciptakan dampak ekonomi yang signifikan.
Normalisasi hubungan dengan Israel telah terjadi dalam beberapa dekade terakhir. Membatalkan hubungan ini melalui boikot dapat merusak ikatan diplomatik yang sudah dibangun.
Rezim-rezim Arab sering kali berdiri di atas fondasi kekuasaan yang telah ditetapkan oleh kolonialisme Eropa dan dominasi AS. Ketakutan akan kehilangan dukungan eksternal bisa menjadi faktor pembatas dalam keputusan mereka.
Beberapa rezim Arab memiliki kendali yang kuat atas negara mereka dan mungkin merasa tidak perlu mengambil langkah drastis seperti memboikot untuk mempertahankan stabilitas internal.
Tekanan publik untuk memboikot Israel dan AS terus meningkat, namun ada tantangan internal dan eksternal yang kompleks yang menghambat tindakan tersebut.
Situasi ini, yang penuh nuansa dan dinamika, tidak dapat diselesaikan dengan solusi sederhana.
Pemantauan terus-menerus terhadap perkembangan ini sangat penting, karena mereka memiliki potensi untuk membentuk kembali lanskap politik Timur Tengah yang selalu berubah.