Krisis Kesehatan di Korsel: Ribuan Dokter Mogok Kerja dan Resign

ZAJ
By ZAJ
5 Min Read
Krisis Kesehatan di Korsel: Ribuan Dokter Mogok Kerja dan Resign
Krisis Kesehatan di Korsel: Ribuan Dokter Mogok Kerja dan Resign

jfid – Saat kita berbicara tentang Korea Selatan, mungkin yang terlintas di pikiran kita adalah drama, K-pop, atau kimchi. Tapi tahukah Anda bahwa negara ini sedang menghadapi krisis kesehatan yang serius akibat aksi mogok kerja ribuan dokter magang?

Ya, Anda tidak salah baca. Ribuan dokter magang di Seoul dan sekitarnya telah meninggalkan pekerjaan mereka selama tiga hari untuk memprotes rencana pemerintah yang ingin menambah jumlah mahasiswa kedokteran.

Alhasil, rumah-rumah sakit umum besar di sana kesulitan dalam menangani pasien, bahkan banyak yang harus membatalkan jadwal operasi dan terapi kanker.

Apa sih sebenarnya yang terjadi di sana? Apa motif di balik protes para dokter magang ini? Dan apa dampaknya bagi masyarakat dan pemerintah Korsel? Mari kita simak ulasan berikut ini.

Rencana pemerintah Korsel untuk menambah kuota masuk sekolah kedokteran sebesar 2.000 kursi pada tahun ajaran 2025, dan kemudian 10.000 lagi pada tahun 2035, ternyata tidak disambut baik oleh para dokter dan mahasiswa kedokteran di sana.

Mereka menilai bahwa rencana ini tidak masuk akal dan tidak efektif untuk meningkatkan layanan kesehatan di daerah terpencil, yang menjadi salah satu alasan pemerintah mengambil kebijakan tersebut.

Menurut mereka, Korsel sudah memiliki cukup banyak dokter, dan yang dibutuhkan adalah peningkatan gaji dan kondisi kerja, terutama bagi para spesialis di bidang yang menuntut seperti anak-anak, pengobatan darurat, dan klinik di luar wilayah Seoul.

Mereka juga khawatir bahwa penambahan jumlah mahasiswa kedokteran akan menurunkan standar pendidikan dan kualitas dokter di masa depan.

Untuk menyuarakan penolakan mereka, para dokter magang dan dokter residen secara nasional mengajukan pengunduran diri kolektif pada awal Februari 2024. Sejauh ini, 8.816 dokter peserta pelatihan, atau 71,2 persen dari semua dokter junior, telah mengajukan pengunduran diri.

Dari jumlah itu, sebanyak 7.813 telah meninggalkan tempat kerja mereka. Aksi mogok kerja ini berlangsung selama tiga hari, mulai dari Rabu (21/2/2024) hingga Jumat (23/2/2024).

Aksi ini juga didukung oleh sekitar 16.000 dokter senior yang mengurangi jam kerja mereka atau menolak pasien baru. Para dokter magang mengatakan bahwa mereka tidak akan kembali bekerja sampai pemerintah menarik rencana untuk meningkatkan jumlah mahasiswa kedokteran.

Aksi mogok kerja para dokter magang ini tentu saja berdampak buruk bagi layanan kesehatan di Korsel, terutama di tengah pandemi Covid-19 yang masih berlangsung.

Banyak rumah sakit yang mengalami kekurangan staf medis, sehingga harus membatalkan atau menunda jadwal operasi dan perawatan medis lainnya, seperti terapi kanker. Beberapa rumah sakit terbesar di Seoul bahkan menolak pasien yang mencari perawatan darurat.

Selain itu, sejumlah pasien terpaksa harus dipindahkan dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain karena ketiadaan dokter. Hal ini tentu saja menimbulkan keresahan dan ketidaknyamanan bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang membutuhkan perawatan medis segera.

Pemerintah Korsel sendiri tidak tinggal diam menghadapi aksi mogok kerja ini. Mereka mengeluarkan perintah agar para dokter magang kembali bekerja, dengan ancaman sanksi administratif atau pidana jika tidak mematuhi.

Pemerintah juga mengklaim bahwa rencana mereka untuk menambah jumlah mahasiswa kedokteran didasarkan pada analisis dan konsultasi yang mendalam dengan para ahli dan pemangku kepentingan.

Pemerintah berpendapat bahwa penambahan jumlah dokter diperlukan untuk mengatasi kekurangan dokter di masa depan, terutama di daerah terpencil dan bidang spesialis tertentu.

Pemerintah juga berjanji akan meningkatkan gaji dan kondisi kerja para dokter, serta memberikan insentif bagi mereka yang mau bekerja di daerah terpencil.

Aksi mogok kerja ribuan dokter magang di Korsel ini menunjukkan betapa seriusnya konflik antara pemerintah dan para profesional medis di sana. Di satu sisi, pemerintah berusaha untuk meningkatkan layanan kesehatan bagi masyarakat, terutama di daerah terpencil.

Di sisi lain, para dokter merasa bahwa rencana pemerintah tidak adil dan tidak efektif, serta mengancam kesejahteraan dan kualitas mereka.

Kedua belah pihak perlu menemukan titik temu dan solusi yang dapat mengakomodasi kepentingan bersama, tanpa mengorbankan hak dan tanggung jawab masing-masing. Jika tidak, maka yang akan rugi adalah masyarakat, yang berhak mendapatkan layanan kesehatan yang optimal dan berkualitas.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email faktual2015@gmail.com

Share This Article