jfid – Tragedi yang menimpa Dokter Aulia Risma Lestari pada Agustus 2024 membuka tabir gelap mengenai tekanan psikologis yang sering kali tak terlihat di dunia pendidikan medis.
Dokter muda berusia 29 tahun ini ditemukan meninggal dunia di kamar kosnya, diduga akibat bunuh diri setelah menyuntikkan obat penenang ke tubuhnya sendiri.
Kasus ini memicu diskusi tentang lingkungan pendidikan medis di Indonesia, khususnya terkait Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS), yang dikenal sangat menuntut.
Latar Belakang Kasus
Aulia merupakan mahasiswi PPDS di Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro (Undip), Semarang. Selain menjalani pendidikan spesialis, ia juga berstatus sebagai dokter ASN yang bertugas di RSUD Kardinah, Kota Tegal.
Meskipun terlihat sukses dalam karier medisnya, catatan pribadinya dan pengakuan keluarganya mengungkapkan sisi gelap dari tekanan mental yang ia alami.
Aulia dilaporkan telah berulang kali curhat kepada keluarganya, menyatakan keinginan untuk resign dari program spesialis tersebut.
Catatan harian yang ditemukan di kamar kosnya memperkuat gambaran betapa beratnya beban yang harus ia tanggung sebagai seorang mahasiswi kedokteran.
Salah satu penyebab utama dari penderitaannya adalah perundungan yang ia alami dari para senior.
Budaya hierarki di pendidikan kedokteran, yang melibatkan perintah keras dari senior kepada junior, menjadi bagian dari lingkungan yang menciptakan tekanan luar biasa.
Lingkungan Pendidikan yang Menekan
Program pendidikan spesialis, atau PPDS, sering kali digambarkan sebagai salah satu jenjang pendidikan paling menantang.
Mahasiswa tidak hanya dituntut untuk mencapai standar akademik yang sangat tinggi, tetapi juga harus menghadapi tuntutan fisik dan mental yang berat.
Di Indonesia, seperti di banyak negara lainnya, pendidikan medis memiliki budaya hierarki yang kuat, di mana para junior diharapkan untuk patuh kepada senior mereka tanpa banyak pertanyaan.
Namun, di balik ketatnya disiplin dan tuntutan tinggi ini, muncul sisi gelap berupa perundungan, atau yang dikenal dengan istilah bullying.
Kasus Aulia memperlihatkan bagaimana tekanan dari para senior, yang sering kali memberikan perintah keras dan tiba-tiba, dapat menghancurkan kesehatan mental seorang mahasiswa.
Ini bukan hanya soal tugas akademik yang berat, tetapi juga soal bagaimana lingkungan itu mempengaruhi psikologis mahasiswa.
Mengapa Aulia Risma Lestari Tidak Berhenti?
Pertanyaan yang muncul adalah mengapa Aulia tidak memilih untuk keluar dari program pendidikan jika ia merasa begitu terbebani? Jawabannya mungkin terletak pada berbagai faktor psikologis dan sosial yang memengaruhi keputusannya.
Di satu sisi, ia mungkin merasa malu atau takut dianggap gagal oleh keluarga, teman, atau masyarakat.
Di sisi lain, ia mungkin merasa terjebak dalam situasi di mana keluar dari program dianggap sebagai kegagalan yang tak termaafkan, baik secara pribadi maupun profesional.
Faktor-faktor ini mencerminkan tekanan yang tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam dirinya sendiri.
Perasaan malu, takut mengecewakan keluarga, dan rasa tidak berdaya mungkin telah menumpuk hingga akhirnya ia merasa tidak ada jalan keluar lain selain bunuh diri.
Apa Peran Keluarga dan Masyarakat?
Keluarga Aulia, meskipun menyadari tekanan yang ia alami, mungkin tidak sepenuhnya memahami kedalaman penderitaan mentalnya.
Mereka mengungkapkan bahwa Aulia sempat menyatakan keinginannya untuk resign, namun akhirnya tragedi ini tetap terjadi.
Keluarga menyerahkan sepenuhnya proses investigasi kepada pihak berwenang dan tidak meminta otopsi, mungkin karena mereka ingin menjaga privasi keluarga dan menghormati Aulia.
Di sisi lain, masyarakat, termasuk rekan-rekan Aulia di dunia medis, harus mulai mempertanyakan budaya pendidikan yang ada.
Apakah tekanan yang sedemikian besar dan perundungan dari senior benar-benar diperlukan dalam pendidikan kedokteran?
Bagaimana kita bisa menciptakan lingkungan yang mendukung perkembangan akademik dan mental para mahasiswa kedokteran tanpa merusak kesejahteraan mereka?
Penutup
Kasus Dokter Aulia Risma Lestari adalah cerminan dari sisi kelam dunia pendidikan medis yang sering kali tidak terlihat.
Meskipun pendidikan kedokteran memerlukan disiplin dan dedikasi tinggi, penting untuk mengakui bahwa kesehatan mental para mahasiswa juga harus dijaga.
Lingkungan pendidikan yang sehat dan mendukung tidak hanya akan menghasilkan dokter-dokter yang kompeten, tetapi juga dokter-dokter yang kuat secara mental dan emosional.
Tragedi ini seharusnya menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk lebih peduli terhadap tekanan psikologis yang dihadapi oleh mahasiswa kedokteran, serta berusaha untuk mengubah budaya pendidikan yang ada agar lebih manusiawi.