Lomba Gerak Jalan yang ‘Mahmud’ di Gapura: Tuyul Hingga Bugil, Seni atau Visualisasi ‘LGBT’?

Rasyiqi
By Rasyiqi
6 Min Read

jfid – Selamat datang di Kecamatan Gapura, tempat di mana semuanya bisa terjadi, bahkan ketika semua orang berpikir mereka sedang merayakan kemerdekaan dengan serius. Takdir memutuskan bahwa tradisi gerak jalan menjelang 17 Agustus di sini akan menjadi peluang bagi kreativitas yang luar biasa. Ekspresi rasa sukacita karena telah merdeka dari penjajah membuat lupa bahwa penjajahan terus terjadi melalui cara-cara soft power, hegemoni, brain wash dalam berbagai bentuk dan tools yang beragam.

Mungkin di daerahmu tidak termasuk dalam pembahasan tulisan ini, tapi jika iya, artinya kamu sudah selangkah lagi menuju keterbelakangan akal pikiran, pengetahuan, keadaan dan wisdom.

Seiring dengan musim semi, kostum bunga berguguran digantikan oleh laki-laki yang mengenakan gaun-gaun elegan ala cherrybelle. Tidak ada yang tahu apakah mereka lebih mirip penyanyi pop atau penghuni salon kecantikan, eh pemain teater kuburan. Namun, satu hal yang pasti adalah semangat nasionalisme telah dihapus dari daftar akun pikiran mereka.

Sambil bergerak-gerak seperti vampir di sepanjang jalan, ada yang mengenakan kostum yang terinspirasi oleh bencong pendopo. Apakah mereka mengenakan pakaian serupa dengan idolanya atau hanya menyamakan tampilan mereka dengan sekumpulan potongan puzzle yang kehilangan petunjuk, namun mengarah pada promosi cover majalah LGBT. Tetap menjadi misteri yang tak terpecahkan. Apakah sendang melakoni seni teater atau sekedar pengejawantahan dari Gapura Undercover; transaksi kelamin.

Tentu saja, kita tidak bisa melewatkan peserta yang memilih untuk hanya mengenakan celana dalam dan kain pelapis tanpa tujuan yang jelas. Jika ini adalah upaya kreatif untuk mengungkapkan kebebasan, maka mereka pasti telah memberikan inspirasi baru bagi kita semua – kecuali jika inspirasi itu adalah inspirasi kebingungan, inspirasi kebodohan, erotisme, birahi menguasai isi kepala mereka yang diimpor dari TikTok.

Di tengah-tengah kerumunan aneh ini, ada seorang lelaki bernama Mahmud, yang telah menjadi perbandingan yang menarik. Mahmud, meskipun mungkin sakit jiwa dan bertelanjang dada, masih lebih beradab daripada sebagian besar peserta gerak jalan. Mengapa? Karena Mahmud adalah orang gila yang paling tidak paham soal etika dan estetika, dan itulah sebabnya dia tidak terlibat dalam pertunjukan yang merendahkan martabat kemerdekaan ini.

Saya sempat berharap akan ada persembahan yang indah dengan melodi lagu nasional di latar belakang. Tapi nampaknya, lagu-lagu nasional telah menghilang ke negeri yang jauh, mungkin bersamaan dengan rasa malu yang tersisa di penonton. Suara riuh dari teriakan “ikeh-ikeh kimoci” dan gerakan joget-joget semakin mendekatkan kita pada pertunjukan sirkus modern, di mana pakaian terbuka adalah norma.

Yang membuat acara ini lebih “menarik” adalah bahwa berlangsungnya dekat kantor megah MWCNU, organisasi yang mengusung keagamaan. Terbayanglah para kiai duduk dalam keheningan penuh, mungkin bertanya pada diri sendiri apakah mereka telah memasuki dimensi lain atau hanya sedang terjebak dalam mimpi aneh.

Mungkin saatnya bagi NU untuk bangkit dari keheningannya dan mengambil sikap. Dalam era di mana semangat nasionalisme tercerabut dari acara peringatan kemerdekaan, dari Gapura, dijalanan hanya simbol-simbol terpasang dalam makna yang terpasung. Sebuah pernyataan tegas atau tindakan akan membantu mengembalikan makna yang hilang. Karena tak cukup doa agar Indonesia merdeka, tapi membutuhkan tetes darah. Ini adalah kesempatan bagi NU untuk menunjukkan bahwa kebebasan yang mereka usung tidaklah absurd dan sembarangan tapi bajingan.

Ketika laki-laki mengenakan gaun dan menari dengan riang di depan kantor NU, mungkin saatnya bagi para kiai untuk berkumpul dan memimpin jalannya peringatan kemerdekaan yang bermakna. Apakah kita ingin menyerahkan semangat bangsa ini kepada “ikeh-ikeh kimoci” dan gerakan tuyul yang berarti penghinaan pada nurani itu sendiri.

Lelucon ini, sebaiknya dipuji dengan kata-kata yang paling najis. Agar kita belajar dari kegilaan Kecamatan Gapura bahwa dalam upaya merayakan kemerdekaan dengan lebih bodoh lagi. Kita juga bisa merayakan lelucon itu dan tampil konyol tanpa peduli pada nilai-nilai yang seharusnya kita junjung, ditempat lain, dipanggung lain, di waktu yang berbeda.

Jadi, selamat merayakan “kemerdekaan” yang lebih aneh dari imajinasi paling liar kita, dan mari berharap NU akan mengambil sikap demi menjaga harga diri dan makna kemerdekaan itu. Mahmud mungkin lelaki bertelanjang dada, tetapi dalam hal ini, mungkin kita semua sedang berada dalam kondisi yang lebih gila dari yang dibayangkan sebagai orang gila. Tonton sendiri videonya disini. Wajar?

Walaupun tidak semua peserta gerak jalan adalah termasuk dalam kritik saya diatas. Saya masih objektif dalam hal ini.


Anda punya pendapat lain, silahkan kirim karya ke redaksi jurnalfaktual.id

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article