jfid – Indonesia akan menggelar pemilihan umum presiden (pilpres) pada tahun 2024. Pilpres ini diprediksi akan diikuti oleh tiga pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres), yaitu Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan.
Ketiga capres ini memiliki latar belakang, visi, misi, dan basis pendukung yang berbeda-beda. Namun, ada satu hal yang menjadi sorotan dalam kontestasi politik ini, yaitu peran agama.
Agama merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku politik masyarakat Indonesia. Sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim, agama Islam memiliki pengaruh besar dalam dinamika politik di Indonesia.
Namun, Indonesia juga merupakan negara yang mengakui keberagaman agama dan kepercayaan, serta menjamin kebebasan beragama bagi warganya. Oleh karena itu, hubungan antara agama dan politik di Indonesia tidak selalu harmonis, melainkan sering kali menimbulkan konflik dan kontroversi.
Salah satu fenomena yang muncul menjelang pilpres 2024 adalah munculnya kaum oposan yang apa-apa selalu dikaitkan dengan agama. Kaum oposan ini adalah kelompok-kelompok yang menentang pemerintah atau capres tertentu dengan menggunakan argumen-agumen agama, khususnya Islam.
Kaum oposan ini mengklaim bahwa mereka adalah pembela agama dan nilai-nilai Islam, serta menuduh pemerintah atau capres lain sebagai pengkhianat atau penista agama. Kaum oposan ini juga sering kali menghasut massa dengan isu-isu sensitif yang berkaitan dengan agama, seperti penistaan agama, komunisme, liberalisme, sekularisme, pluralisme, LGBT, dan sebagainya.
Kaum oposan ini bukanlah fenomena baru dalam sejarah politik Indonesia. Sejak masa kemerdekaan hingga reformasi, Indonesia telah mengalami berbagai gelombang gerakan politik Islam yang berusaha mengubah sistem politik dan negara Indonesia sesuai dengan ideologi mereka.
Beberapa contoh gerakan politik Islam yang pernah ada di Indonesia adalah Masyumi, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Komando Jihad, Laskar Jihad, Front Pembela Islam (FPI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan sebagainya¹². Meskipun gerakan-gerakan ini memiliki tujuan, strategi, dan taktik yang berbeda-beda, namun mereka memiliki kesamaan dalam hal menggunakan agama sebagai alat legitimasi dan mobilisasi politik.
Lalu, bagaimana pola pikir kaum oposan ini? Apa pandangan politik mereka? Dan bagaimana mereka terbentuk? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita perlu melihat dari berbagai sudut pandang teoritis yang ada. Salah satu teori yang dapat digunakan adalah teori politik John Rawls.
Rawls adalah seorang filsuf politik Amerika yang terkenal dengan konsep keadilan sebagai kewajaran (justice as fairness). Rawls mengajukan dua prinsip keadilan yang harus dipenuhi oleh sebuah masyarakat adil, yaitu prinsip kebebasan (liberty principle) dan prinsip perbedaan (difference principle).
Prinsip kebebasan menyatakan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama terhadap sistem kebebasan dasar yang kompatibel dengan sistem kebebasan untuk semua orang. Prinsip perbedaan menyatakan bahwa ketidaksetaraan sosial dan ekonomi harus diatur sedemikian rupa sehingga menguntungkan pihak yang paling tidak beruntung dalam masyarakat
Rawls juga mengembangkan konsep alasan publik (public reason) sebagai cara untuk menyelesaikan konflik antara doktrin-doktrin komprehensif (comprehensive doctrines) yang berbeda dalam masyarakat pluralis. Doktrin komprehensif adalah pandangan hidup atau ideologi yang mencakup pandangan tentang nilai-nilai, kebenaran, dan makna hidup. Doktrin komprehensif dapat bersifat agama, moral, atau filosofis.
Rawls menyadari bahwa dalam masyarakat pluralis, tidak mungkin ada kesepakatan mengenai doktrin komprehensif yang benar atau salah. Oleh karena itu, ia mengusulkan agar dalam berdebat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan dasar masyarakat, seperti konstitusi, hak asasi manusia, dan keadilan sosial, kita harus menggunakan alasan publik yang dapat diterima oleh semua warga negara yang rasional dan wajar. Alasan publik adalah alasan yang didasarkan pada fakta-fakta umum, prinsip-prinsip rasional, dan nilai-nilai politik yang bersifat netral.
Rawls juga membedakan antara dua ranah dalam masyarakat, yaitu ranah publik (public sphere) dan ranah privat (private sphere). Ranah publik adalah ranah yang berkaitan dengan urusan-urusan negara dan masyarakat secara keseluruhan, seperti hukum, kebijakan, dan institusi.
Ranah privat adalah ranah yang berkaitan dengan urusan-urusan individu dan kelompok-kelompok tertentu, seperti agama, keluarga, dan organisasi. Rawls berpendapat bahwa dalam ranah publik, kita harus menggunakan alasan publik sebagai dasar untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi. Sedangkan dalam ranah privat, kita bebas untuk menggunakan doktrin komprehensif kita sebagai dasar untuk hidup sesuai dengan keyakinan kita.
Dengan menggunakan teori Rawls ini, kita dapat menganalisis pola pikir kaum oposan yang apa-apa selalu dikaitkan dengan agama. Kaum oposan ini dapat dikatakan sebagai kelompok yang tidak menghormati prinsip-prinsip keadilan dan alasan publik yang diajukan oleh Rawls.
Kaum oposan ini cenderung menggunakan doktrin komprehensif mereka, yaitu agama Islam versi mereka, sebagai satu-satunya sumber legitimasi dan otoritas politik. Kaum oposan ini juga cenderung menolak pluralisme dan menganggap bahwa hanya mereka yang memiliki hak untuk menentukan kebenaran dan kebaikan bagi seluruh masyarakat. Kaum oposan ini juga cenderung mengabaikan ranah publik dan ranah privat, serta mencampuradukkan antara urusan agama dan urusan negara.
Pandangan politik kaum oposan ini dapat dikatakan sebagai pandangan politik Islam yang eksklusif dan intoleran. Pandangan politik Islam ini berbeda dengan pandangan politik Islam yang inklusif dan toleran yang diusung oleh sebagian besar umat Islam di Indonesia.
Pandangan politik Islam yang inklusif dan toleran mengakui bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam), yang menghargai keberagaman dan kemanusiaan. Pandangan politik Islam yang inklusif dan toleran juga mengakui bahwa Islam adalah agama yang memiliki prinsip-prinsip universal yang sesuai dengan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan keadilan sosial.
Pandangan politik Islam yang inklusif dan toleran juga mengakui bahwa Islam adalah agama yang memiliki ruang interpretasi yang luas dan dinamis, sehingga tidak ada satu pemahaman atau penerapan Islam yang absolut atau final.
Kaum oposan ini terbentuk karena berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Faktor internal meliputi faktor psikologis, sosial, dan ideologis. Faktor psikologis berkaitan dengan rasa ketidakpuasan, ketidakpercayaan, ketakutan, atau kemarahan terhadap pemerintah atau capres tertentu karena merasa tidak diwakili atau diperlakukan tidak adil.
Faktor sosial berkaitan dengan rasa solidaritas, identitas, atau afiliasi dengan kelompok-kelompok tertentu yang memiliki pandangan atau kepentingan politik yang sama. Faktor ideologis berkaitan dengan keyakinan atau komitmen terhadap doktrin komprehensif tertentu yang dianggap sebagai satu-satunya kebenaran atau kebaikan bagi seluruh masyarakat. Faktor eksternal meliputi faktor politik, ekonomi, dan budaya.
Faktor politik berkaitan dengan adanya kepentingan-kepentingan politik tertentu yang memanfaatkan atau memprovokasi kaum oposan untuk mengganggu atau menggagalkan pemerintah atau capres tertentu.
Faktor ekonomi berkaitan dengan adanya ketimpangan sosial dan ekonomi yang menyebabkan kesenjangan dan ketidakadilan antara berbagai kelompok masyarakat. Faktor budaya berkaitan dengan adanya pengaruh-pengaruh budaya asing yang dianggap mengancam atau merusak nilai-nilai agama dan nasionalisme.
Kaum oposan ini merupakan tantangan bagi demokrasi dan kebhinekaan di Indonesia. Kaum oposan ini dapat menimbulkan konflik, kekerasan, dan radikalisme yang dapat mengancam stabilitas dan keamanan nasional. Kaum oposan ini juga dapat merusak citra Islam sebagai agama damai dan toleran yang diakui oleh dunia internasional.