Islamofobia: Gejala Eropa yang Kembali ke Zaman Kegelapan

ZAJ
By ZAJ
4 Min Read
Islamofobia: Gejala Eropa yang Kembali ke Zaman Kegelapan
Islamofobia: Gejala Eropa yang Kembali ke Zaman Kegelapan

jfid – Eropa, benua yang mengklaim sebagai pusat peradaban dunia, ternyata masih menyimpan penyakit lama yang menggerogoti jiwa-jiwanya.

Penyakit itu bernama islamofobia, yaitu ketakutan, kebencian, atau diskriminasi terhadap Islam, Muslim, dan budaya Islam.

Islamofobia bukanlah fenomena baru, tapi sudah ada sejak zaman perang salib, ketika para ksatria Eropa berusaha merebut tanah suci dari tangan Muslim.

Namun, islamofobia semakin membara di abad ke-21 ini, seiring dengan meningkatnya ketegangan politik, ekonomi, dan sosial di Eropa.

Islamofobia di Eropa muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari serangan fisik, verbal, hingga online terhadap properti, tempat ibadah, dan orang-orang Muslim, khususnya yang menunjukkan identitas agamanya seperti wanita yang mengenakan hijab atau niqab.

Selain itu, islamofobia juga tampak dalam kebijakan atau undang-undang yang secara tidak langsung menarget atau berdampak buruk bagi Muslim, dan membatasi kebebasan beragama mereka, seperti larangan mengenakan simbol agama dan budaya yang terlihat, hukum melawan penutupan wajah, dan larangan membangun masjid dengan menara.

Tidak hanya itu, islamofobia juga terlihat dalam pernyataan publik oleh sebagian wartawan dan politisi, dari seluruh spektrum politik, yang menstigmatisasi Muslim sebagai kelompok dan mengabaikan kontribusi positif mereka bagi masyarakat dan negara tempat mereka tinggal.

Islamofobia di Eropa dipicu oleh kecemasan publik terhadap imigrasi dan integrasi minoritas Muslim ke dalam budaya mayoritas di Eropa. Ketegangan ini diperparah oleh dampak krisis ekonomi tahun 2007 dan munculnya politisi nasionalis populis.

Ketegangan ini juga diperburuk oleh serangan teror yang dilakukan oleh ekstremis Muslim. Dalam iklim keberagaman yang semakin berkembang di Eropa, minoritas Muslim digambarkan sebagai orang-orang yang tidak berhak dan ingin memisahkan diri dari masyarakat lain.

Kebijakan pemerintah gagal menjamin hak yang sama bagi semua orang, sehingga sebagian besar minoritas Muslim menghadapi pengangguran, kemiskinan, dan partisipasi sipil dan politik yang terbatas, yang semuanya memperburuk diskriminasi.

Minoritas sering dijadikan kambing hitam di saat krisis ekonomi dan politik. Islam dan sekitar 20 juta Muslim yang tinggal di Uni Eropa digambarkan oleh sebagian orang sebagai ancaman bagi cara hidup Eropa, bahkan di negara-negara di mana mereka telah hidup selama berabad-abad.

Mitos tentang “Islamisasi” atau invasi Eropa telah dipelihara oleh partai-partai xenofobik dan populis yang sedang naik daun di seluruh Eropa.

Ironisnya, Eropa yang menganggap dirinya sebagai pelopor hak asasi manusia, demokrasi, dan toleransi, ternyata melanggar nilai-nilai tersebut dengan mengucilkan dan mengkriminalisasi warga negaranya sendiri yang berbeda keyakinan.

Eropa yang mengaku sebagai pewaris peradaban Yunani dan Romawi, ternyata melupakan warisan intelektual dan budaya yang mereka terima dari Islam dan Muslim. Eropa yang mengklaim sebagai pelopor ilmu pengetahuan dan teknologi, ternyata mengabaikan sumbangan dan pengaruh Islam dan Muslim dalam bidang-bidang seperti matematika, astronomi, kedokteran, dan arsitektur.

Eropa yang mengaku sebagai pelopor seni dan sastra, ternyata menutup mata terhadap kekayaan dan keindahan Islam dan Muslim dalam bidang-bidang seperti puisi, musik, kaligrafi, dan seni rupa.

Dengan demikian, islamofobia adalah tanda bahwa Eropa sedang menuju ke abad kegelapan, yaitu masa di mana Eropa kehilangan cahaya pengetahuan, kebudayaan, dan kemanusiaan.

Islamofobia adalah tanda bahwa Eropa sedang menutup diri dari dunia dan dari masa depan yang lebih baik. Islamofobia adalah tanda bahwa Eropa sedang buta.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article