Indonesia ‘Banci’ Secara Diplomatis dengan Israel

Rasyiqi By Rasyiqi - Writer, Saintific Enthusiast
6 Min Read
- Advertisement -

jfid – Yerussalem Post Menyebutkan dalam sebuah postingan, “Keengganan Indonesia untuk melegitimasi hubungan baik dengan Israel telah menjadi sebuah hal yang ketinggalan jaman secara politik, bodoh secara diplomatis, dan tidak masuk akal secara strategis.”

Indonesia, negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, memiliki hubungan bilateral dengan Israel yang tidak resmi, namun cukup intensif di bidang perdagangan, pariwisata, dan keamanan.

Meskipun demikian, Indonesia belum pernah mengakui kedaulatan Israel, karena mendukung perjuangan kemerdekaan Palestina.

Hubungan ini berawal dari pengakuan Indonesia terhadap Israel pada tahun 1950, sebelum kemudian berubah menjadi sikap anti-Israel di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno, yang mengusung politik pro-Arab sebagai bagian dari anti-kolonialisme.

Ad image

Sukarno juga menolak kehadiran Israel dan Taiwan dalam Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung, dan mengeluarkan resolusi yang mendesak negara-negara Asia dan Afrika untuk berpihak pada Arab dalam konflik Timur Tengah.

Namun, setelah Sukarno digantikan oleh Jenderal Soeharto, hubungan Indonesia dan Israel mulai berubah secara diam-diam, terutama melalui saluran Iran dan Turki, yang saat itu masih bersahabat dengan Israel.

Indonesia mulai membeli peralatan militer dari Israel, seperti seragam, radar, dan pesawat tempur Skyhawk.

Indonesia juga mengirimkan tim militer untuk belajar dari Israel tentang operasi khusus, intelijen, dan pengintaian.

Selain itu, Indonesia juga tertarik dengan drone buatan Israel, seperti IAI Searcher dan IAI Heron.

Hubungan militer ini kemudian meluas ke bidang lain, seperti telekomunikasi, tekstil, dan pertanian.

Israel juga menjadi semakin sah di mata Indonesia, dengan mengirimkan bantuan darurat untuk korban tsunami di Aceh tahun 2005, melatih paramedis di Indonesia tahun 2008, dan menyambut ribuan peziarah Indonesia setiap tahun.

Meskipun terganggu oleh konflik di Gaza tahun 2018 dan pandemi Covid-19, kunjungan ini diharapkan dapat dilanjutkan.

Di sisi diplomatik, hubungan Indonesia dan Israel juga berkembang, meskipun tidak resmi. Pada tahun 1993, Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin bertemu dengan Presiden Soeharto di Jakarta.

Pada tahun 2000, Menteri Kerjasama Regional Israel Shimon Peres juga mengunjungi Jakarta. Pada tahun 2003, mantan Presiden Indonesia Abdurrahman Wahid mengunjungi Israel.

Pada tahun 2013, Menteri Ekonomi Israel Naftali Bennett hadir di Bali untuk pertemuan Organisasi Perdagangan Dunia.

Dengan demikian, terlihat bahwa ada kecenderungan untuk memperbaiki hubungan Indonesia dan Israel, yang tentunya dipimpin dari atas, dan mencari jalan tengah antara dua tetangga Indonesia: Singapura, yang bersahabat dengan Israel sejak berdirinya tahun 1965, dan Malaysia, yang bermusuhan dengan Israel hampir selevel dengan Iran.

Namun, menurut Amotz Asa-el, di Jpost, banyak jalan tengah ini sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan sejarah, diplomasi, dan strategi saat ini.

Indonesia harus segera mengakui Israel, karena ada tiga alasan utama yang mendesaknya untuk melakukannya.

Pertama, pengakuan Israel adalah bagian dari posisi Indonesia di dunia. Ketika Indonesia memilih untuk menjadikan Israel sebagai teman gelap, yang hanya ditemui di tempat tersembunyi, Israel masih dijauhi oleh dua negara adikuasa, China dan Uni Soviet, serta blok Timur dan India.

Namun, sekarang sejarah itu sudah sangat jauh, bahkan terasa seperti prasejarah bagi generasi muda Israel.

Dalam 30 tahun terakhir, Israel telah menjalin hubungan diplomatik, komersial, dan budaya penuh dengan semua negara adikuasa.

Perdagangan dengan mereka pun berkembang pesat, dan sebagian bahkan bersifat strategis, seperti hubungan pertahanan dengan India atau pertukaran akademik dan infrastruktur dengan China.

Ini berarti, dengan mengucilkan Israel seperti yang dilakukan sekarang, Indonesia menempatkan dirinya di antara negara-negara yang tertinggal secara ekonomi, seperti Pakistan, Afghanistan, dan Bangladesh.

Indonesia, dengan 270 juta penduduk yang tersebar di lebih dari 17.000 pulau antara Oseania dan China, berpotensi menjadi negara adikuasa dunia. Mengakui Israel akan mendukung cita-cita itu.

Kedua, pengakuan Israel adalah bagian dari konteks Arab. Ketika Soeharto membentuk sikap Jakarta, Israel sedang berperang dengan seluruh dunia Arab, dan ia secara sadar menyerah pada tekanan Arab untuk tidak mengakui negara Yahudi itu.

Namun, sekarang Israel sudah secara resmi berdamai dengan lima negara Arab, termasuk yang terbesar, Mesir, dan sedang dalam proses normalisasi hubungan dengan negara keenam, Sudan. Secara kolektif, negara-negara ini merupakan rumah bagi setengah populasi dunia Arab.

Di mana posisi Indonesia ingin berada: bersama Mesir dan Uni Emirat Arab, atau di antara Suriah dan Yaman?

Ketiga, pengakuan Israel adalah bagian dari strategi Indonesia dalam menghadapi ancaman kekerasan Islamis.

Seperti hampir semua negara lain, Indonesia terancam oleh aksi terorisme yang dilakukan oleh kelompok radikal yang mengatasnamakan Islam.

Namun, tidak seperti negara lain, Indonesia berada dalam posisi, sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, untuk menginspirasi rekonsiliasi besar antara Islam dan umat manusia lainnya.

Itulah panggilan strategis Indonesia, dan para pemimpinnya tahu hal ini. Itulah sebabnya, Perjanjian Abrahamic berikutnya akan ditandatangani antara domain Muslim terbesar di dunia, dan satu-satunya negara Yahudi.

Berdasarkan uraian tersebut, Indonesia banci secara diplomatis dengan Israel, tidak jelas di jalur mana.

- Advertisement -
Share This Article