jfid – Mungkin banyak yang berpikir (atau sekedar memekik dalam hati) terhadap segenap peristiwa yang mengundang gelombang protes di ruas-ruas jalan raya terkhusus dari kalangan mahasiswa di tengah polemik pandemi Covid-19 bahwa apa yang mereka lakukan semata hanya untuk ugal-ugalan dan tidak komprehensif, semata-mata hanya menciptakan kemacetan di jalan dan mengganggu ketertiban berlalu lintas serta di luar koridor kebermanfaatan.
Secara sekilas, kita bisa saja berasumsi demikian apalagi konstruksi sosial kekinian memberi efek domino pada bangunan paradigma kita dalam memandang suatu perkara. Kecenderungan melihat sebuah fenomena dengan mengedepankan perasaan emosi yang mendalam tanpa melalui proses klarifikasi atas fenomena yang terjadi atau lebih tepatnya memiliki cukup pengetahuan terhadap fenomena tersebut menjadi capaian tersendiri dari hadirnya Post-Truth.
Mengurai sedikit fenomena maraknya gelombang aksi protes dari kalangan mahasiswa pada scope wilayah Makassar khususnya selama pandemi ini, terdapat beberapa ihwal yang patut dievaluasi atau sekedar direfleksikan. Seiring pagelaran aksi demonstrasi, fokus bahasan atau isu sentral bertumpuh pada variabel masalah yang hampir sama di masing-masing kampus; kebijakan uang kuliah di masa pandemi Covid-19.
Metode dan strategi dirumuskan sebagai upaya menekan angka korban yang terpapar, berikut upaya preventif ataupun pemulihan kembali beberapa sektor yang drop secara drastis. Serangkaian upaya tersebut kiranya patut diapresiasi. Melandainya kurva angka reproduksi dari Covid-19 merupakan harapan bersama. Terlepas dari itu, bukan berarti langkah dan upaya yang ditempuh oleh pemerintah harus pula terlepas dari pengamatan dan analisa publik khususnya dalam hal pengambilan keputusan yang terejawantahkan ke dalam bentuk kebijakan.
Menyitir Koestler, Shore dan Wright (1997:5), bahwa kebijakan seperti “the ghost in machine”, sebuah kekuatan yang meniupkan kehidupan dan tujuan ke dalam mesin pemerintahan dan menghidupkan tangan yang sudah mati dari suatu birokrasi. Kendati kebijakan lahir di tengah konteks gejolak Covid-19, tak ada yang dapat memastikan bahwa relasi kuasa baik melalui pikiran maupun tubuh tidak terlibat (Kajian Kekuasaan Foucault) terlebih lagi pada perkara kebijakan di sektor pendidikan tinggi.
Dari Relasi Kuasa, Hegemoni hingga Resistensi
Pada kasus ini, yang menjadi lokus tersendiri adalah polemik yang ramai dalam diskursus mahasiswa, yakni kebijakan uang kuliah di masa pandemi. Dalam polemik kebijakan, relasi kuasa membelah diri menjadi dua bentuk yakni bentuk relasi kuasa dengan pikiran dan tubuh. Sugiharto (dalam Antomo, 2013: 40) menyebutkan bahwa bentuk relasi Michel Foucault merupakan landasan berpikir atau kognitif masyarakat pada suatu zaman. Artinya, masyarakat pada zaman tertentu diatur, dikontrol, didominasi, distigmatisasi oleh banyak kekuasaan yang nantinya akan membuat landasan berpikir masyarakat mengikuti pembuat kuasa dalam waktu dan tempat tertentu.
Sementara itu, tubuh merupakan salah satu media untuk mengoperasikan kekuasaan. Sesuai dengan teori kuasa atas tubuh milik Foucault, terdapat dua varian kuasa atas tubuh dalam suatu kebijakan, adalah tubuh sosial dan tubuh individu. Keduanya berbentuk manipulasi, kontrol dan objektivikasi terhadap tubuh yang disebarkan melalui varian politik ruang, kapitalisme, panoptikon dan peraturan.
Baik pikiran maupun tubuh, keduanya menjadi media pengoperasian kekuasaan yang mewujud ke dalam bentuk kebijakan dan keduanya pun terus dilanggengkan dan dielaborasi hingga membentuk sebuah hegemoni.
Antonio Gramsci sebagai pencetus hegemoni memberikan pendefinisian khusus terkait hakekat hegemoni, yakni suatu kekuasaan maupun dominasi dari nilai kehidupan yang ada di masyarakat yang mendoktrin kelompok masyarakat lainnya agar mengikuti apa yang diinginkan oleh kelompok tersebut.
Ide atau aktivitas yang pada dasarnya irasional dalam sebuah kebijakan akan tetapi terus direproduksi melalui dukungan relasi kuasa dan hegemoni sehingga tampil sebagai diskursus yang rasional bahkan membuat masyarakat beratensi tinggi terhadap kebijakan tersebut. Secara eksplisit, kondisi inilah yang dinamakan sebagai fetisisme atas kebijakan yang ditopang kekuasaan. Kebijakan dan kekuasaan mampu memaksa masyarakat sebagai objek utama untuk percaya tanpa unsur keraguan. Kecenderungan demikian sebagai bentuk penguasaan pikiran dan tubuh masyarakat tanpa disadari.
Namun terdapat pula kelompok masyarakat yang mencoba menentang (counter) hegemoni yang hadir pada sebuah kebijakan. Seperti halnya kebijakan pendidikan tinggi dalam hal ini kebijakan tentang keringanan uang kuliah di masa pandemi. Melalui kacamata masyarakat awam, tentu keringanan uang kuliah ini seharusnya disambut baik namun justru sebaliknya terjadi. Kebijakan ini disambut dengan serangkaian aksi protes dari kalangan mahasiswa khususnya di salah satu PTKIN di Makassar.
Kebijakan terkait keringanan yang dikeluarkan oleh pimpinan universitas dinilai masih sangat kurang oleh mahasiswa berdasarkan hasil riset yang dilakukan. Meskipun gelombang protes berhasil mengubah yang awalnya 10% menjadi 20%, akan tetapi keputusan demikian masih tidak mengakomodir item yang dibayarkan oleh mahasiswa dan cenderung ditetapkan secara sepihak. Keringanan 20% diperuntukkan bagi seluruh mahasiswa pada PTKIN tersebut tanpa mempertimbangkan angkatan dan jumlah SKS yang diambil mahasiswa.
Bagi pimpinan universitas, keputusan tersebut telah final dan tidak bisa diganggu gugat lagi. Kondisi demikian menggambarkan pola relasi kuasa dan hegemoni bekerja secara jelas dalam arena kekuasaan. Relasi kuasa dalam bentuk pikiran dan tubuh dipraktekkan melalui peningkatan jumlah dari 10% ke 20% sehingga mahasiswa yang memandangnya secara tidak kritis akan terpengaruh dan masuk dalam kerangka hegemoni melalui seperangkat analogi “daripada 10% mending 20% atau lebih baik ada daripada tidak ada sama sekali”. Sampai di sini, hegemoni kekuasaan dalam kebijakan nampak berhasil.
Akan tetapi, mahasiswa yang masih memutuskan untuk menolak keputusan tersebut dengan kritis dan analitis justru melakoni apa yang dibahasakan oleh Foucault, ‘where there is power, there is resistance’ dan menunjukkan resistensinya terhadap kekuasaan dalam sebuah kebijakan. Aksi demonstrasi merupakan salah satu bentuk resistensi mahasiswa terhadap kekuasaan dan sekaligus menolak untuk dikontrol karena bagi mereka, saat diri dikendalikan oleh sistem maka saat itu pula lah kita kehilangan diri.
Penulis: Askar Nur, Alumnus Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Alauddin Makassar, Presiden Mahasiswa UIN Alauddin Makassar periode 2018-2019.