Meretas Rutinitas dan Stagnasi dalam Pendidikan Kita

Syahril Abdillah
6 Min Read
Gambar ilustrasi dunia Pendidikan (foto: beritatagar.id)
Gambar ilustrasi dunia Pendidikan (foto: beritatagar.id)

Oleh : Herry Santoso

Jurnalfaktual.id, – NADIM MAKARIM, sah dilantik sebagai Menteri Pendidikan Nasional. Diharapkan ia menjadi agen pembaharu ( agent of reform ) dalam dunia pendidikan kita yang selama ini ditengarai “jalan di tempat”.

Setiap kali ganti menteri tak lebih cuma seremoni rutinitas : bongkar-pasang kurikulum, pabrik permen, yang ujung-ujungnya stagnan dan monotonitas, bahkan segala kebijakannya hanya menambah beban tugas guru di lapangan. Pendek kata dunia pendidikan kita selalu menjadi “kelinci percobaan” (experiment rabbit) para ilmuwan hebat di negeri ini meski belum tentu yang terbaik.

Yang menjadi tanda tanya besar terhadap Mendiknas baru adalah: Mungkinkah Nadim Makarim benar-benar mampu “mengawinkan” pendidikan dengan teknologi dan pertumbuhan ekonomi kreatif ?

Sebab berbicara pendidikan di Indonesia tidak akan sama dengan teori akademis, meski berbasis kekinian sekalipun. Ruh pendidikan di Indonesia adalah senyawa antara ilmu pengetahuan (knowledge), budaya (culture), keterampilan (skill), dan budi pekerti (character). Meramu keempat dimensi itulah yang kadang membuat kebijakan kementerian kurang tepat sasaran (untuk tidak mengatakan gagal).

Kebijakan kementerian pendidikan kita acapkali terjebak oleh euforia politik, yang justru bias dengan ruh yang menjiwai dunia edukasi sebagai mana di atas, yang pada gilirannya bila penetrasi regulasi gagal sering mencari kambing hitam, dan korbannya pelaku/kondisi di lapangan misalnya : faktor guru, faktor orang tua, faktor lingkungan, dan seterusnya.

Perubahan Sistem

Yang kerap memghadirkan permasalahan justru perubahan sistem, dari model konvensional ke model baru. Karena perubahan tersebut berdampak pada operasional di lapangan acap mengalami kepincangan. Mengapa ? Sebab dalam satu sisi guru dan peserta didik belum siap menerima perubahan yang gegas dan cepat tersebut, misalnya sistem pendidikan yang berbasis internet atau IT seperti saat pertama kali diterapkan ujian berbasis komputasi (online), banyak sekolah yang justru terseok-seok mengejar kekurangan (baca : ketertinggalan). Alhasil sistem tersebut tidak berjalan mulus. Begitu pula saat diadakan UKG (Uji Kompetensi Guru), cenderung tidak berjalan mulus lantaran banyak guru yang masih gaptek, yang pada gilirannya seolah UKG merupakan momok untuk mengajustivikasi “kebodohan” guru. Padahal guru yang gagal di UKG belum tentu guru yang dungu. Ia justru sarat pengalaman mengajar, bahkan aktor dalam penanaman nilai-nilai berbasis karakter (budi pekerti) pada peserta didik.

Akibat “latahisme” dalam teknologi cyber tersebut terjadi beberapa ketimpangan. Pertama, terabaikannya segala bentuk konservatifisme, dan hanya menghargai yang baru. Fenomena ini tidak bisa dipandang sepele, karena sejatinya kekuatan pendidikan di sekolah-sekolah sampai saat ini masih tetap berada pada guru-guru yang “gaptek”.

Kedua, karena diberlakukannya sistem cyber tersebut, penerimaan ASN pun tidak memenuhi target, khusus di dunia pendidikan banyak guru GTT yang tidak lulus padahal mayoritas sudah mengabdi puluhan tahun, dan ketiga, banyak pemerintahan di daerah yang tidak mampu menjembatani kebutuhan perangkat lunak tersebut untuk dianggarkan di APBD dan didrop ke sekolah-sekolah. Akhirnya pihak sekolah sendiri yang berusaha memenuhi kebutuhan dengan menarik sumbangan pada walimurid.

Apa yang disebut terakhir jelas bertentangan dengan larangan untuk tidak menarik iyuran bagi siswa. Inilah yang menyebabkan pendidikan biaya tinggi ( high cost education ) hingga saat ini. Lebih jauh lagi, kenyataannya anggaran pendidikan secara nasional 20% dari APBN sampai saat ini belum muncul dab terpenuhi.

Pendidikan Paralel dengan Pertumbuhan Ekonomi Kreatif

Siapapun pasti kebingungan untuk memahami jargon tersebut. Apakah lulusan pendidikan formal harus ber-output pada pertumbuhan ekonomi kreatif, ataukah sebaliknya. Tetapi profil Nadim Makarim sendiri adalah pelaku ekonomi kreatif yang berbasis IT, contoh, Gojek.

Apabila lulusan sekolah (sebut : SMA sederajad) ber-output ekonomi kreatif sangatlah tepat. Sebab lulusan SMA (sederajad) saat ini menjadi “kartu mati” di pasar kerja. Tetapi sungguhpun demikian, harus ada perubahan kurikukum sejak sedini mungkin yaitu mulai sekolah dasar untuk menuju berbasis ekonomi kreatif. Hal tersebut sudah diterapkan di negara-negara maju laiknya Jepang, Tiongkok, Korea Selatan, dan di Barat (Eropa-Amerika).

Untuk Indonesia perlu kajian mendalam, karena segmentasi pendidikan kita dibedakan menjadi tiga yaitu (1) struktur kota (2) struktur pedesaan dan (3) struktur kawasan terpencil. Jangan-jangan program yang akan dihela oleh Mendiknas nanti hanya akan mentok menjadi pilot project saja. Kalau seperti itu kenyataannya maka semua regulasi hanya akan menjadi kalungan puisi indah tanpa kenyataan, dan itu merupakan petaka buat bangsa. Nah.

Herry Santoso, adalah pemerhati masalah sosial, politik, budaya, dan pendidikan tinggal di Blitar Jawa Timur.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article