jfid – Konflik antara Israel dan Palestina kembali memanas sejak awal Oktober 2023, ketika Hamas melancarkan serangan roket ke wilayah Israel. Israel membalas dengan melakukan serangan udara dan darat ke Jalur Gaza, yang dikendalikan oleh Hamas.
Serangan-serangan tersebut telah menewaskan lebih dari 7.000 warga Palestina, sebagian besar adalah warga sipil, dan menghancurkan infrastruktur dan fasilitas kemanusiaan di Gaza.
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB), yang bertugas menjaga perdamaian dan keamanan internasional, gagal mengambil tindakan efektif untuk menghentikan kekerasan dan memberikan bantuan kemanusiaan kepada warga Palestina.
Hal ini disebabkan oleh penggunaan hak veto oleh Amerika Serikat (AS), salah satu dari lima negara anggota tetap DK PBB, yang mendukung Israel sebagai sekutunya.
Hak veto adalah hak untuk membatalkan rancangan resolusi yang sudah diputuskan dari suara terbanyak hasil voting negara anggota DK PBB. Hak veto dimiliki oleh lima negara anggota tetap DK PBB, yaitu AS, China, Rusia, Prancis, dan Inggris.
Hak veto ini muncul akibat pendirian PBB usai Perang Dunia II, ketika kelima negara tersebut merupakan pemenang perang dan ingin menjaga tatanan politik pascaperang.
Hak veto telah menjadi kontroversi sejak lama, karena dianggap menghalangi proses demokratis dan mengesampingkan kepentingan negara-negara anggota tidak tetap DK PBB, yang berjumlah sepuluh.
Hak veto juga sering digunakan untuk melindungi kepentingan nasional atau sekutu dari negara anggota tetap DK PBB, tanpa memperhatikan dampak kemanusiaan dari keputusan tersebut.
Dalam kasus konflik Israel-Palestina, AS telah menggunakan hak vetonya sebanyak 43 kali sejak tahun 1972 untuk memblokir resolusi yang mengkritik atau menentang Israel.
AS berpendapat bahwa Israel berhak membela diri dari serangan Hamas, yang dianggap sebagai kelompok teroris, dan bahwa resolusi PBB tidak seimbang dan tidak mengakui hak Israel untuk eksis.
Namun, pendapat ini ditentang oleh banyak negara anggota PBB lainnya, termasuk Indonesia, yang mengecam tindakan Israel sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia dan genosida terhadap bangsa Palestina.
Mereka mendesak Israel untuk menghentikan serangan, mengizinkan koridor kemanusiaan, dan mencabut perintah bagi warga sipil untuk meninggalkan wilayah Gaza utara yang terkepung⁴. Mereka juga mendukung solusi dua negara, yaitu pembentukan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat di samping Israel, sesuai dengan batas wilayah tahun 1967.
Pada 27 Oktober 2023, Majelis Umum PBB, yang terdiri dari 193 negara anggota PBB, mengeluarkan resolusi untuk menghentikan kekerasan yang meningkat sangat drastis dan memakan korban sangat banyak dari masyarakat Palestina sekaligus mendesak Israel untuk memberikan ruang bagi bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan masyarakat Palestina saat ini.
Resolusi ini didukung oleh 156 negara, ditolak oleh 6 negara, dan abstain oleh 25 negara. Namun, resolusi ini tidak mengikat dan tidak memiliki kekuatan hukum, karena hanya DK PBB yang memiliki wewenang untuk mengambil tindakan paksa.
Krisis kemanusiaan Palestina dan peran organisasi antar pemerintah internasional seperti PBB menjadi sorotan dunia. Banyak pihak yang mempertanyakan efektivitas dan relevansi PBB dalam menyelesaikan konflik global, terutama yang melibatkan hak veto negara anggota tetap DK PBB.
Di sisi lain, ada juga yang berharap PBB dapat berperan lebih aktif dan adil dalam menjembatani dialog dan diplomasi antara Israel dan Palestina, serta memberikan perlindungan dan bantuan kepada warga Palestina yang menderita.