jfid – Dua pakar hukum tata negara, Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar, menggugat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah syarat usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden.
Putusan itu dinilai tidak memenuhi syarat formil dan substansial, serta menjadi pintu masuk bagi Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, untuk menjadi cawapres pendamping Prabowo Subianto.
Putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dimaksud adalah putusan yang mengabulkan sebagian permohonan para pemohon untuk menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pasal itu mengatur syarat usia minimal capres dan cawapres, yaitu 40 tahun untuk capres dan 35 tahun untuk cawapres.
Dalam putusannya, MK memaknai bahwa syarat usia minimal tersebut berlaku pada saat pendaftaran capres dan cawapres, bukan pada saat pemungutan suara.
Artinya, seseorang yang berusia 39 tahun saat mendaftar sebagai capres, tetapi akan berusia 40 tahun saat pemungutan suara, tetap memenuhi syarat.
Demikian juga untuk cawapres, seseorang yang berusia 34 tahun saat mendaftar, tetapi akan berusia 35 tahun saat pemungutan suara, tetap memenuhi syarat.
Putusan MK ini menjadi kontroversial karena dianggap menguntungkan Gibran Rakabuming Raka, yang lahir pada 1 Oktober 1988.
Dengan demikian, Gibran akan berusia 35 tahun pada 1 Oktober 2023, atau sekitar dua minggu sebelum pemungutan suara Pilpres 2024 yang rencananya digelar pada 15 Oktober 2023.
Sebelumnya, Gibran tidak memenuhi syarat usia minimal 35 tahun pada saat pendaftaran capres dan cawapres, yang ditetapkan pada 8 November 2023.
Gibran sendiri telah mendaftarkan diri sebagai cawapres pendamping Prabowo Subianto, yang kembali mencalonkan diri sebagai capres setelah kalah dalam Pilpres 2019.
Pasangan Prabowo-Gibran akan bersaing dengan dua pasangan lain, yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD.
Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar, yang merupakan dua pakar hukum tata negara yang berpengalaman dan berintegritas, merasa perlu menggugat putusan MK tersebut.
Mereka mengajukan permohonan uji formil ke MK pada 3 November 2023, dengan nomor registrasi 145/PUU-XXI/2023.
Permohonan ini melengkapi laporan etik yang mereka ajukan ke Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) pada 31 Oktober 2023.
Dalam permohonan uji formil, Denny dan Zainal meminta MK membatalkan atau menyatakan putusan 90 tidak pernah ada. Mereka juga meminta penundaan pelaksanaan putusan tersebut sampai putusan final dibacakan. Alasan mereka mengajukan permohonan ini adalah karena putusan 90 tidak memenuhi syarat formil dan substansial.
Syarat formil adalah syarat yang berkaitan dengan proses pembuatan putusan, yang harus sesuai dengan aturan hukum dan etika.
Denny dan Zainal menilai bahwa putusan 90 melanggar syarat formil karena melibatkan Ketua MK Anwar Usman, yang merupakan paman Gibran Rakabuming Raka. Anwar Usman menikah dengan Idayati, adik Presiden Jokowi.
Menurut Denny dan Zainal, Anwar Usman seharusnya mengundurkan diri dari mengadili perkara yang melibatkan kepentingan keluarganya, sesuai dengan Pasal 17 ayat (5) dan (6) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Jika tidak, maka putusan yang dihasilkan menjadi tidak sah.
Denny dan Zainal juga mengacu pada putusan MKMK yang menyatakan adanya pelanggaran etik berat dalam pembuatan putusan 90. MKMK menemukan adanya intervensi dari kekuatan lain yang memengaruhi Anwar Usman.
MKMK juga menemukan adanya perbedaan pendapat yang tajam di antara hakim MK, yang membuat putusan 90 tidak memiliki landasan hukum yang kuat.
Syarat substansial adalah syarat yang berkaitan dengan isi putusan, yang harus sesuai dengan konstitusi dan prinsip-prinsip hukum.
Denny dan Zainal menilai bahwa putusan 90 melanggar syarat substansial karena bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1), Pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 1 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Denny dan Zainal berpendapat bahwa putusan 90 melanggar pasal-pasal tersebut karena mengubah syarat usia minimal capres dan cawapres yang telah ditetapkan oleh UU Pemilu, yang merupakan produk legislasi dari rakyat melalui DPR.
Putusan 90 juga mengabaikan kepentingan rakyat untuk mendapatkan pemimpin yang berpengalaman, berintegritas, dan berkompeten. Putusan 90 juga menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketimpangan perlakuan bagi para calon capres dan cawapres.
Denny dan Zainal mengharapkan MK dapat membatalkan atau menyatakan putusan 90 tidak pernah ada, agar Pilpres 2024 dapat berlangsung secara adil, demokratis, dan konstitusional.
Mereka juga mengharapkan MK dapat menjaga kredibilitas dan independensinya sebagai lembaga penjaga konstitusi. Mereka berharap MK tidak terpengaruh oleh kepentingan politik atau dinasti tertentu.
Sidang lanjutan perkara ini dijadwalkan pada Senin, 11 Desember 2023, di Gedung MK. Denny dan Zainal akan hadir secara daring untuk menyampaikan argumen dan bukti mereka.
Sementara itu, pihak terkait, yaitu Presiden, DPR, KPU, dan Bawaslu, juga diundang untuk memberikan tanggapan. Sidang ini akan dipimpin oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra, mengingat Anwar Usman telah diberhentikan dari jabatannya oleh MKMK.
Apakah putusan 90 akan dibatalkan atau dinyatakan tidak pernah ada? Apakah Gibran akan tetap menjadi cawapres Prabowo?
Bagaimana nasib Pilpres 2024? Semua itu akan terjawab dalam sidang MK yang menarik untuk diikuti.