jfid – Pulau Rempang adalah salah satu pulau yang terletak di Kepulauan Riau. Pulau ini memiliki luas sekitar 165 km2 dan berpenduduk sekitar 40 ribu jiwa.
Pulau ini dikenal sebagai salah satu sentra produksi ikan kerapu dan udang windu. Selain itu, pulau ini juga memiliki potensi wisata bahari yang menarik, seperti pantai pasir putih, terumbu karang, dan mangrove.
Namun, di balik keindahan dan kesuburan alamnya, pulau ini juga menghadapi berbagai masalah. Salah satunya adalah kurangnya infrastruktur dan fasilitas publik yang memadai. Sebagian besar warga pulau masih bergantung pada listrik diesel yang sering padam, air bersih yang langka, dan jalan raya yang rusak. Selain itu, pulau ini juga rentan terhadap bencana alam, seperti banjir, tanah longsor, dan gempa bumi.
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, pemerintah pusat berencana untuk melakukan revitalisasi Pulau Rempang dengan menggandeng investor asal China, yaitu Xinyi Group. Proyek yang diberi nama Rempang Eco-City ini ditargetkan untuk menjadi kota pintar berbasis teknologi ramah lingkungan yang dapat meningkatkan kesejahteraan warga pulau.
Menurut Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia¹, proyek ini akan menelan biaya sekitar Rp 200 triliun dan menyerap tenaga kerja sekitar 100 ribu orang. Proyek ini juga diharapkan dapat meningkatkan perekonomian daerah dan nasional melalui sektor pariwisata, perdagangan, industri, dan jasa.
Namun, proyek ini juga menuai kontroversi. Pasalnya, proyek ini akan mengharuskan sebagian besar warga pulau untuk direlokasi ke tempat lain. Hal ini menimbulkan kekhawatiran dan penolakan dari sebagian warga pulau yang merasa hak-hak mereka akan dirampas oleh pemerintah dan investor asing.
Salah satu warga pulau yang menolak relokasi adalah Pak Samsul², seorang nelayan yang tinggal di Desa Tanjung Piayu. Ia mengaku tidak mau meninggalkan rumah dan lahan miliknya yang sudah diwariskan turun-temurun oleh leluhurnya. Ia juga khawatir bahwa relokasi akan merusak kehidupan sosial dan budaya masyarakat pulau.
“Kami sudah hidup di sini sejak dulu. Ini tanah leluhur kami. Kami punya hak atas tanah ini. Kami tidak mau pindah ke tempat lain yang tidak kami kenal. Kami juga tidak mau kehilangan pekerjaan kami sebagai nelayan. Kami tidak percaya dengan janji-janji pemerintah dan investor,” ujar Pak Samsul dengan nada kesal.
Pak Samsul bukanlah satu-satunya warga pulau yang menolak relokasi. Sejumlah warga lainnya juga menggelar aksi protes dan unjuk rasa untuk menuntut agar proyek Rempang Eco-City dibatalkan. Mereka menilai bahwa proyek ini tidak sesuai dengan aspirasi dan kepentingan mereka sebagai warga pulau.
Sebaliknya, ada juga warga pulau yang mendukung proyek ini. Mereka berharap bahwa proyek ini dapat membawa perubahan positif bagi kehidupan mereka. Salah satunya adalah Bu Siti³, seorang ibu rumah tangga yang tinggal di Desa Tanjung Uban. Ia mengaku siap untuk direlokasi asalkan mendapat fasilitas ganti rugi yang layak dari pemerintah.
“Kami siap pindah asal dapat rumah yang lebih baik, listrik yang stabil, air bersih yang cukup, dan jalan yang mulus. Kami juga ingin anak-anak kami dapat sekolah yang lebih baik dan mendapat pekerjaan yang lebih baik. Kami berharap proyek ini dapat meningkatkan kualitas hidup kami,” ujar Bu Siti dengan nada harap.
Bu Siti bukanlah satu-satunya warga pulau yang mendukung proyek ini. Sejumlah warga lainnya juga menggelar aksi dukungan dan apresiasi untuk menyambut kedatangan pemerintah dan investor. Mereka menilai bahwa proyek ini merupakan peluang emas bagi kemajuan pulau mereka.
Untuk meredam konflik antara warga pulau yang pro dan kontra, pemerintah berjanji akan memberikan sejumlah fasilitas ganti rugi kepada seluruh warga terdampak relokasi. Salah satu di antaranya adalah warga pulau dijanjikan akan mendapat rumah berlokasi di Tanjung Banon dengan tipe 45 senilai Rp 120 juta⁴. Selain itu, warga terdampak relokasi juga akan mendapat sejumlah uang ganti rugi. Di mana, uang tersebut terbagi menjadi dua jenis, yaitu uang transisi atau uang tunggu rumah jadi dan uang untuk kontrak rumah dengan total Rp 2,2 juta⁴.
Namun, janji-janji pemerintah ini ternyata tidak cukup untuk meyakinkan sebagian warga pulau. Mereka masih meragukan kredibilitas dan komitmen pemerintah dalam menjalankan proyek ini. Mereka juga menuntut agar pemerintah mengeluarkan landasan hukum yang jelas dan kuat untuk menjamin hak-hak mereka sebagai warga pulau.
Menanggapi hal ini, Bahlil Lahadalia mengatakan bahwa pihaknya sedang mengajukan Peraturan Presiden (Perpres) penjamin hak warga Pulau Rempang¹. Ia menjelaskan bahwa urgensi penerbitan Perpres ini dilakukan untuk memberikan landasan aturan pada sejumlah hak-hak yang bakal diterima oleh warga pulau.
“Jadi ada bagian-bagian yang sudah ada aturannya jadi tidak perlu bicara landasan aturan. Tapi kalau ada bagian yang belum ada landasan aturannya itu yang akan dimasukkan ke Perpres,” jelas Bahlil¹.
Bahlil juga mengatakan bahwa pihaknya akan mempercepat pengajuan Perpres tersebut guna melancarkan rencana investasi yang akan disuntik oleh Xinyi Group pada proyek Rempang Eco-City. “Tadi saya dan Pak Menko habis bertemu, akan [segera] perpresnya. Lebih cepat lebih baik,” tambahnya¹.
Namun, pengajuan Perpres ini juga menuai kritik dari sejumlah pihak. Salah satunya adalah Komisi VI DPR RI yang membidangi sektor perdagangan, perindustrian, investasi, koperasi, UKM, dan BUMN. Komisi VI DPR RI menilai bahwa pengajuan Perpres ini terlalu tergesa-gesa dan tidak memperhatikan aspek sosial, ekonomi, lingkungan, dan budaya masyarakat pulau.
“Kami mempertanyakan urgensi pengajuan Perpres ini. Apakah sudah ada kajian mendalam tentang dampak proyek ini terhadap masyarakat pulau? Apakah sudah ada konsultasi publik dengan masyarakat pulau? Apakah sudah ada persetujuan dari DPR RI sebagai lembaga legislatif? Kami khawatir Perpres ini hanya menjadi alat untuk memuluskan kepentingan investasi tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat pulau,” ujar Ketua Komisi VI DPR RI Rudi Hartono⁵.
Rudi Hartono juga menyoroti masalah transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan proyek ini. Ia mempertanyakan siapa yang akan bertanggung jawab atas proyek ini, baik dari sisi pemerintah maupun investor. Ia juga mempertanyakan bagaimana mekanisme pengawasan dan evaluasi terhadap proyek ini.
“Kami minta agar pemerintah dan investor bersikap terbuka dan jujur tentang proyek ini. Kami ingin tahu siapa yang akan mengelola proyek ini, berapa besar saham yang dimiliki oleh pemerintah dan investor, bagaimana alokasi anggaran dan pendapatan proyek ini, bagaimana mekanisme pengadaan barang dan jasa proyek ini, bagaimana sistem pengendalian dan penyelesaian sengketa proyek ini, dan sebagainya. Kami tidak mau ada praktik-praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam proyek ini,” tegas Rudi Hartono.
Di sisi lain, pemerintah dan investor menegaskan bahwa proyek Rempang Eco-City adalah proyek yang transparan dan akuntabel. Mereka mengklaim bahwa proyek ini telah melalui proses perencanaan, persiapan, dan persetujuan yang sesuai dengan aturan dan standar yang berlaku. Mereka juga mengklaim bahwa proyek ini akan memberikan manfaat yang besar bagi masyarakat pulau, daerah, dan nasional.
“Proyek Rempang Eco-City adalah proyek yang visioner dan inovatif. Proyek ini akan menjadi contoh bagi kota-kota lain di Indonesia dan dunia tentang bagaimana membangun kota pintar yang ramah lingkungan, efisien energi, inklusif sosial, dan berdaya saing ekonomi. Proyek ini juga akan menjadi ikon baru bagi pariwisata Indonesia yang dapat menarik wisatawan lokal maupun internasional,” ujar Direktur Xinyi Group Chen Wei.
Chen Wei juga menambahkan bahwa pihaknya telah berkomitmen untuk menjalankan proyek ini dengan profesional dan bertanggung jawab. Ia mengatakan bahwa pihaknya akan bekerja sama dengan pemerintah dan masyarakat pulau untuk mewujudkan visi proyek ini. Ia juga mengatakan bahwa pihaknya akan menghormati hak-hak dan kearifan lokal masyarakat pulau.
“Kami tidak akan semena-mena dalam menjalankan proyek ini. Kami akan mengikuti aturan dan standar yang berlaku di Indonesia. Kami juga akan melibatkan masyarakat pulau dalam proses pembangunan proyek ini. Kami akan memberikan pelatihan dan kesempatan kerja bagi masyarakat pulau. Kami juga akan melestarikan lingkungan dan budaya masyarakat pulau,” jelas Chen Wei.
Dengan adanya pro kontra terhadap proyek Rempang Eco-City, nasib Pulau Rempang pun menjadi tidak pasti. Apakah pulau ini akan menjadi kota pintar yang megah dan modern, atau tetap menjadi pulau yang sederhana dan tradisional? Apakah masyarakat pulau akan mendapat kesejahteraan yang lebih tinggi, atau justru kehilangan identitas dan hak-hak mereka? Apakah proyek ini akan menjadi mimpi atau kenyataan bagi Pulau Rempang?
Hanya waktu yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Yang pasti, proyek Rempang Eco-City adalah proyek yang menantang dan menarik untuk diikuti perkembangannya. Proyek ini juga menjadi ujian bagi pemerintah, investor, dan masyarakat pulau dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian.