jfid – Menunaikan ibadah haji adalah impian setiap Muslim. Sebagai salah satu rukun Islam, haji menjadi kewajiban bagi mereka yang mampu secara fisik dan finansial.
Namun, bagaimana jika seseorang harus berutang untuk mewujudkan impian ini? Pertanyaan ini kerap muncul di kalangan umat Muslim, mengingat biaya haji yang tidak sedikit.
Ulama kharismatik KH Yahya Zainul Ma’arif, atau lebih dikenal dengan Buya Yahya, memberikan pandangannya terkait hal ini.
Ibadah Haji dan Utang: Apakah Sah?
Menurut Buya Yahya, sahnya ibadah haji tidak bergantung pada sumber dana yang digunakan, termasuk jika dana tersebut berasal dari utang. Selama semua syarat dan rukun haji terpenuhi, maka haji tersebut tetap sah.
Buya Yahya menjelaskan bahwa syarat dan rukun haji yang dipenuhi dengan uang hasil utang tidak mempengaruhi keabsahan haji itu sendiri. Artinya, tidak ada halangan bagi seseorang untuk menunaikan haji meskipun harus berutang.
Namun, Buya Yahya juga memberikan penekanan penting: seorang Muslim seharusnya tidak memaksakan diri untuk berhaji jika harus berutang. “Sebab, selagi Anda belum punya uang, Anda tidak wajib naik haji.
Selagi Anda tidak wajib naik haji, Anda tidak berdosa,” ujar Buya Yahya. Pesan ini penting untuk dipahami, bahwa kewajiban haji datang hanya ketika seseorang mampu. Memaksakan diri hingga berutang bisa menimbulkan beban finansial yang berat setelah pulang dari Tanah Suci.
Walimatus Safar: Tradisi Sebelum Berangkat Haji
Tradisi menggelar acara walimatus safar atau tasyakuran sebelum berangkat haji adalah kebiasaan yang banyak dijumpai di Indonesia. Namun, apakah tradisi ini diperbolehkan dalam Islam? Apakah termasuk bid’ah yang tidak dianjurkan?
Buya Yahya menjelaskan bahwa walimatus safar adalah bentuk syukuran yang hukumnya boleh-boleh saja dan tidak termasuk bid’ah.
“Walimatus safar artinya begini, dia dapat gembira, urusannya beres mau haji, (akhirnya menggelar) syukuran haji. (Hukumnya) boleh-boleh saja, gak ada masalah, bukan sebuah bid’ah. Wong isinya juga bagi rezeki dan sebagainya kok, ngasih makan orang,” kata Buya Yahya.
Tradisi ini, menurut Buya Yahya, adalah ekspresi rasa syukur dan kegembiraan atas kesempatan menunaikan ibadah haji. Acara ini biasanya diisi dengan doa bersama, berbagi rezeki, dan memberikan makanan kepada kerabat dan tetangga.
Dalam konteks ini, walimatus safar bukanlah sesuatu yang harus dikhawatirkan sebagai bid’ah, selama tidak melanggar syariat Islam.
Menakar Kemampuan Finansial untuk Haji
Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab setiap calon jamaah haji adalah: apakah saya benar-benar mampu? Menakar kemampuan finansial adalah langkah pertama dan paling penting sebelum memutuskan untuk berhaji.
Islam sangat bijaksana dalam mengatur hal ini. Kewajiban haji hanya berlaku bagi mereka yang mampu, tanpa menambah beban utang yang bisa memberatkan di masa depan.
Buya Yahya menekankan pentingnya kesadaran diri dalam menilai kemampuan finansial sebelum berangkat haji.
Jangan sampai semangat untuk menunaikan rukun Islam ini membuat seseorang terjerumus dalam jeratan utang yang sulit dilunasi. Prinsip kehati-hatian ini sejalan dengan ajaran Islam yang tidak ingin membebani umatnya di luar kemampuan mereka.
Haji: Antara Keinginan dan Kemampuan
Keinginan untuk menunaikan haji adalah sesuatu yang mulia. Namun, keinginan ini harus diimbangi dengan kemampuan yang realistis. Banyak yang berpikir bahwa berutang untuk haji adalah bentuk pengorbanan yang sah.
Namun, Buya Yahya mengingatkan bahwa pengorbanan ini tidak seharusnya mengorbankan kesejahteraan finansial keluarga di masa depan.
Ada banyak cara untuk mempersiapkan diri menuju haji tanpa harus berutang. Menabung secara rutin adalah salah satunya. Di Indonesia, terdapat berbagai program tabungan haji yang bisa dimanfaatkan.
Program ini membantu calon jamaah haji untuk menabung dengan sistematis hingga mencapai jumlah yang dibutuhkan untuk biaya haji. Dengan cara ini, haji bisa direncanakan dengan baik tanpa harus berutang.
Kesimpulan
Dalam Islam, menunaikan ibadah haji adalah kewajiban bagi setiap Muslim yang mampu secara fisik dan finansial. Pandangan Buya Yahya memberikan pencerahan bahwa ibadah haji tetap sah meskipun dananya berasal dari utang, asalkan syarat dan rukun haji terpenuhi.
Namun, penting untuk diingat bahwa tidak ada kewajiban untuk berhaji jika kemampuan finansial belum mencukupi. Memaksakan diri untuk berhaji dengan berutang bisa menimbulkan beban yang berat di masa depan.
Selain itu, tradisi walimatus safar sebagai bentuk syukuran sebelum berangkat haji diperbolehkan dalam Islam dan tidak termasuk bid’ah. Tradisi ini adalah ekspresi rasa syukur dan kegembiraan atas kesempatan menunaikan ibadah haji dan diisi dengan berbagai kegiatan positif seperti berbagi rezeki dan doa bersama.
Dengan memahami pandangan Buya Yahya ini, umat Muslim diharapkan dapat menunaikan ibadah haji dengan tenang dan bijak, tanpa harus memaksakan diri hingga berutang.
Persiapan yang matang dan perencanaan keuangan yang baik adalah kunci untuk menunaikan ibadah haji dengan khusyuk dan penuh berkah. Semoga setiap Muslim yang berniat berhaji diberikan kemudahan dan kemampuan oleh Allah SWT untuk menunaikan rukun Islam yang kelima ini.