Banyak Orang Timur Tengah Jadi Atheis, Tuhan Sudah Tidak Dipercaya?

Noer Huda By Noer Huda - Content Creator
4 Min Read
Banyak Orang Timur Tengah Jadi Atheis, Tuhan Sudah Tidak Dipercaya?
Banyak Orang Timur Tengah Jadi Atheis, Tuhan Sudah Tidak Dipercaya?
- Advertisement -

jfid – Tren mengejutkan tentang peningkatan jumlah orang yang menyatakan diri sebagai ateis atau tidak memiliki keyakinan terhadap agama di Timur Tengah menjadi perbincangan yang mendalam dalam beberapa tahun terakhir.

Kawasan yang selama ini diidentikkan dengan landasan agama monoteistik yang kuat, kini menghadapi pergeseran signifikan dalam lanskap kepercayaan dan keyakinan.

Menurut survei yang dilakukan oleh BBC International pada tahun 2019, terjadi peningkatan yang cukup mencolok dari 8% pada tahun 2013 menjadi 13% penduduk Timur Tengah yang tidak mengidentifikasi diri dengan agama tertentu.

Bahkan, di Iran, survei ‘Iranian’s Attitudes Toward Religion (2020)’ menyatakan bahwa hampir setengah dari 40 ribu responden mengklaim sebagai ateis, sebuah angka yang mengejutkan di tengah budaya yang kuat mengenai agama.

Ad image

Penurunan jumlah penganut agama juga terlihat di negara-negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam seperti Turki.

Data dari laporan Konda pada tahun 2019 menunjukkan bahwa persentase penduduk yang mengidentifikasi diri sebagai Muslim turun dari 55% menjadi 51% dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

Yang menarik, penurunan ini tidak disertai dengan peralihan ke agama lain, melainkan menjadi ateis.

Fenomena serupa juga terlihat di Mesir, negara Arab terbesar, di mana laporan dari Universitas Al-Azhar Kairo pada tahun 2014 mengungkapkan bahwa sekitar 10,7 juta penduduk menyatakan diri sebagai ateis, mencakup sekitar 12,3% dari total populasi negara tersebut.

Berbagai alasan telah diusulkan oleh para analis dan peneliti untuk menjelaskan tren ini. Salah satunya adalah politisasi agama oleh pemerintah di sebagian negara Timur Tengah, seperti yang terjadi di Arab Saudi.

Agama digunakan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dan mengendalikan masyarakat.

Hal ini mendorong sebagian penduduk yang kritis menolak dan melihat agama sebagai alat politik semata.

Selain itu, pengaruh media sosial dan internet juga memegang peran penting. Akses mudah dan interaksi di dunia maya memperkenalkan pandangan yang berbeda dari ajaran resmi agama.

Hal ini memberikan ruang bagi keraguan dan kritik terhadap keyakinan yang telah diajarkan secara resmi.

Kegagalan partai dan tokoh Islam pasca Arab-Spring juga menjadi faktor yang tidak bisa diabaikan. Revolusi tahun 2011 di beberapa negara Arab menjanjikan perubahan politik dan ekonomi yang lebih baik.

Namun, banyak partai dan tokoh Islam yang tidak mampu memenuhi harapan tersebut, mengecewakan masyarakat dan meredupkan kepercayaan pada agama sebagai solusi.

Selain itu, pandangan negatif terhadap agama juga dipengaruhi oleh berbagai kejadian kekerasan dan konflik yang terkait dengan agama.

Penghancuran tempat ibadah, pembantaian minoritas, serta tindakan terorisme yang dilakukan atas nama agama telah menciptakan citra negatif terhadap agama itu sendiri.

Hal ini memicu jarak emosional antara individu dan keyakinan agama yang dianut secara tradisional.

Namun demikian, menjadi ateis di Timur Tengah tidaklah mudah. Mereka berhadapan dengan risiko besar, mulai dari isolasi sosial hingga ancaman hukuman mati berdasarkan hukum syariah.

Banyak di antara mereka yang terpaksa menyembunyikan identitas dan berpura-pura beragama demi menjaga keselamatan diri.

Peningkatan jumlah ateis di Timur Tengah bukan hanya sekadar statistik, melainkan juga sebuah pergeseran yang menantang tradisi dan norma yang telah tertanam dalam masyarakat selama berabad-abad.

Fenomena ini tidak hanya mencerminkan perubahan dalam keyakinan, tetapi juga kompleksitas perubahan sosial yang tengah terjadi di kawasan yang kaya akan sejarah dan budaya ini.

- Advertisement -
Share This Article