Antropologi Nusantara: Catatan Tentang Tumbuh dan Matinya Sebuah Kebudayaan 

Heru Harjo Hutomo
5 Min Read

jfID – Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah seekor binatang. Dan berbagai tata aturan, hukum, undang-undang, hadir untuk memanusiakannya. Ada beberapa keuntungan atas disahkannya sebuah undang-undang (UU). Seperti halnya UU Pemajuan Kebudayaan ataupun UU Desa, selain negara mengakui eksistensi (rekognisi) sebuah komunitas yang secara kultural telah berlangsung secara turun-temurun, negara juga menjamin serta melestarikannya. Di tengah gempuran berbagai ideologi dan gaya hidup di zaman mutakhir ini perlu kiranya negara hadir dalam rangka menjaga keberlangsungannya. Secara kultural, orang memang memerlukan sebentuk parameter sekaligus kantong budaya di mana sebuah kultur itu tak sekedar dihidupi, tapi juga dipelajari, diteliti untuk menjaga hidupnya sebuah identitas.

Taruhlah kultur Jawa dengan eksistensi keratonnya, selain berfungsi sebagai semacam pusat kebudayaan, ia memiliki pula fungsi lain sebagai pandam sekaligus pandom sebuah kebudayaan ketika dalam pusaran arus zaman kontemporer orang dengan mudahnya mengalami sebuah disorientasi. Pada titik ini saya berbicara tentang konsekuensi kelam atau penyalahgunaan yang mungkin terjadi di balik prinsip keberagaman-dalam-kesatuan. Demikian pula dengan terbit dan disahkannya UU Pesantren beberapa waktu yang lalu.

Bagaimana pun, meski pesantren merupakan khazanah khas nusantara yang hidup dalam budaya mayor Jawa misalnya, ia tetap memiliki perbedaan dengan budaya Jawa yang menjadi budaya mayornya. Dengan kata lain, kenusantaraan pesantren berbeda dengan kenusantaraan keraton. Eksistensi pesantren merupakan sebuah keniscayaan apabila kebudayaan nahdliyin, yang tak sekedar hidup dan dihidupi di lingkungan pesantren belaka, ingin tetap berlangsung. Ketika sebuah masyarakat mengalami sebentuk disorientasi kultural, dengan adanya pesantren sebagai kantong kebudayaan nahdliyin tersebut, hal itu tak akan berlangsung secara permanen.

Kebudayaan yang dihidupi oleh sebuah masyarakat, khususnya yang jauh dari kantong kebudayaannya, wajar andaikata mengalami sebentuk pasang-surut. Hal ini berkaitan dengan apa yang dikenal sebagai “krisis identitas” yang tumbuh atas pola interaksi yang semakin hari semakin cair, melumat berbagai batasnya. Seumpama ketika kita hidup di zaman, untuk meminjam istilah Marshall McLuhan, the global village seperti sekarang ini. Orang yang tumbuh dalam kultur nahdliyin tentu terkadang terseret arus pusaran zaman sehingga melupakan sistem nilai yang diajarkan al-Qur’an ataupun diteladankan oleh nabi Muhammad: satu-satunya alasan kekerasan adalah ketika kamu diusir dari rumahmu . Atau sebuah ajaran Jawa yang berhubungan dengan tanah dan perempuan: sadumuk bathuk sanyari bumi yen perlu tak belani sampek mati.

Tersebab tradisi hidup yang silang-sengkarut dan bertumpang-tindih di zaman desa global dewasa ini, orang dapat terjebak dengan pola hidup yang sudah menyimpang dari pola hidup yang seharusnya dipegang oleh penganutnya. Di sinilah kemudian kita perlu memahami logika “trend” dan hegemoni. Bagi Gramsci, hegemoni adalah penjajahan halus di mana—melalui berbagai gelembukan—orang secara sukarela menyediakan dirinya sendiri untuk dijajah. Adapun trend adalah salah satu mekanisme di mana hegemoni tersebut menancapkan taringnya. Trend berjenggot ataupun perselingkuhan, karena hegemoni, dapat terjadi secara massif dan sukarela (secara sadar diri) tanpa sedikit pun mempertanyakan ideologi apa yang secara diam bekerja di baliknya.

Sebagaimana yang pernah saya analisis dalam Atas Nama Jenggot (http://jalandamai.org), kini kalangan salafi telah mengalami berbagai transformasi yang bahkan orang nahdliyin sekalipun sampai dapat dikibuli. Mereka di hari ini seperti tanpa rasa malu berlalu-lalang di mall, di café atau bahkan ikut dalam pusaran konsumerisme dan hedonisme, entah apapun alasannya. Atau yang tengah viral beberapa hari yang lalu, dengan beredarnya sebuah video yang memperlihatkan mereka, kalangan taliban itu, untuk membedakannya dengan kalangan santri (Santri Sang Ruci, Heru Harjo Hutomo, http://jalandamai.org/santri-sang-sufi.html), berunjuk-gigi di jalanan dengan fashion laiknya kalangan nahdliyin—sarung, songkok, ikat kepala (udheng), dan surjan (pakaian khas Mataram)—dan memakai gelar “sayyidina” pada sholawat yang mereka nyanyikan.

Dengan adanya UU Pesantren, di mana di dalamnya dimuat pula beberapa kriteria tentang apa yang disebut sebagai pesantren, fenomena tak tahu malu tersebut dapat dipertanyakan secara hukum. Atau ketika logika ini ditarik lebih lanjut, eksistensi sebuah pondok keagamaan—untuk tak menyebutnya sebagai pesantren—yang menyimpang dari UU Pesantren, yang jelas-jelas menyebarkan radikalisme keagamaan misalnya, dapat dibubarkan. Tentu sejak hari ini, sejak disahkannya UU Pesantren, kita mesti berpikir bahwa santri dan taliban memang nyata berbeda.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article