jfid – Radikalisme Islam memang seolah sudah bernasib biru. Di samping Sang Imam Besar-nya telah membiru di bui, banyak pengikut setianya juga kandheg dan tinggal menunggu waktu untuk mempertanggungjawabkan segala tingkah-lakunya selama ini. Beberapa pentolan teroris yang mengemas agenda-agendanya dengan klaim keislaman pun sudah tertangkap, bahkan mati sebagaimana yang mereka cita-citakan.
Tangis yang biru seolah adalah wujud kegamangan akan masa depan gerakan-gerakan Islam yang selama ini identik dengan intoleransi, radikalisme, dan terorisme. Populisme kanan yang selama ini juga ikut menyuburkan radikalisme sangat kentara seperti kehilangan figur atau jagoan yang cukup bernyali untuk semena-mena pada sesama.
Seperti sebuah ungkapan bahwa seekor ular hanya akan mati ketika kepalanya diremukkan, demikian pula gerakan-gerakan Islam yang selama ini semarak menghiasi ruang-ruang publik bangsa Indonesia, ia hanya serupa kopat-kapit ekor sang ular atau gerakan-gerakan yang konyol dan membingungkan. Tapi meskipun tak dapat membunuh, gerakan-gerakan itu cukup membikin gatal kepala seperti halnya kutu rambut. Perang mereka absurd, mengarah dan menyasar siapa saja laksana sinar matahari yang tak memandang pengangguran ataupun orang gedongan.
Di hari ini tangis biru mereka seolah adalah sebentuk rasa frustasi untuk mencari figur baru yang mau untuk menjadi “orang suci” lagi “luhur” dan bernyali untuk melecehkan dan merendahkan sesama dengan kompensasi tempik-sorak dan penahbisan “pahlawan.” Sayangnya, para kandidat seusai Rizieq Shihab, seperti Munarman, Bahar bin Smith, Ustadz Yahya Waloni, yang selama ini menjual omong besar, sama-sama kandheg dan membiru di bui.
Maka tinggallah “laskar emak-emak” yang selama ini mengelu-elukan mereka seolah tak lagi berani wirang dan menyatakan mundur dari posisi bintang politik sabun yang digadang-gadangkan. Sementara, dahulu yang tenar dengan istilah “generasi micin,” tumbuh menjadi laskar-laskar bingung yang mengilfiltrasi sana-sini untuk membuat tokoh-tokoh agama lainnya tampak tak sesuci, tak seluhur, dan tak sebernyali Rizieq Shihab cs.
Pada bulan Desember 2021, Nahdlatul Ulama memiliki hajat untuk memilih pemimpinnya. Saya tak akan membahas hajat yang akan digelar di Lampung ini. Yang menarik bagi saya, akankah aspirasi dan agenda gerakan-gerakan Islam yang telah kandheg itu, karena kebingungan akut dan patah-hati mereka pada figur-figurnya yang tengah bersekolah kembali, berupaya menapaki jalan Nahdlatul Ulama yang selama ini dikenal lempang dan terkesan tak ada ujungnya? Atau mereka justru mencoba masuk dan ikut bermain untuk menitipkan beban keislaman beserta spiritualitas semu pada figur yang cocok?
Dua kemungkinan itu, selama kewaspadaan tetap terjaga, tak akan mungkin terjadi mengingat kiprah Nahdlatul Ulama di Indonesia dan di kancah internasional selama ini. Tapi, mengingat sejarah politik Nahdlatul Ulama yang beberapa kali dikibuli politisi-politisi Masyumi dan anak-keturunannya, rasa iba pada tangis biru gerakan-gerakan Islam yang telah kandheg, yang selama ini memang cukup kental dengan karakter orang-orang Nahdliyin, perlulah dikoreksi agar tak menjadikan getun di kemudian hari. Jalan Nahdlatul Ulama masih panjang dan seakan tanpa ujung, maka biarlah gerakan-gerakan Islam dan spiritualitas semu itu terlihat duduk rapi meratapi ulah sendiri.