Sabuk Janur Kuning, Pohon Awar-Awar, dan Kidung Jimat, Kearifan Lokal Jawa yang Masih Dipercaya 

Herry Santoso
4 Min Read
Ilustrasi masyarakat Jawa Kuno, (foto: tangkapan layar google)
Ilustrasi masyarakat Jawa Kuno, (foto: tangkapan layar google)

jfID – Di tengah hiruk-pikuk yang membarengi merajalelanya Covid 19 di negeri ini, khususnya di etnik Jawa. Muncul kepercayaan masyarakat yang sulit dihilangkan yaitu bersabuk janur kuning dan menanam pohon awar-awar agar terbebas dari keganasan wabah laiknya virus corona.

Orang Jawa menganggap pandemi Covid 19 sebagai pageblug yaitu fenomena alam yang ditandai dengan datangnya wabah yakni berjangkitnya suatu penyakit secara massal dan sulit dikendalikan.

Orang Jawa pra-mellenial menyikapi dengan tatacara adat yang terkesan nyeleneh ( imposible). Bahkan diam-diam banyak orang berkultur metropolis pun yang bergegas mempraktikkan “laku” tersebut.

Mengapa harus janur kuning dan awar-awar ? Secara simbolis etimologis orang Jawa selalu mengekspresikan kearifan kolal melalui simbol-simbol yang disebut sanepa. Janur dari akronim jumudhule nur sedangkan kuning memberikan makna kudu hening. Secara harfiah dapat dimaknai agar muncul Nur Illahi maka kita harus hening dan  konsentrasi ( mengisolasi diri) serta (tidak lupa) bersujud pada Yang Maha Kuasa (Allah) serta penuh  “kehati-hatian” (emergency). Sedangkan pohon awar-awar (ficus septica) memiliki simbolisasi sebagai penawar ( tawar, tawa, netral ), yang artinya sebagai media penetral racun, sekaligus mikroorganisne, dan virus agar tidak bisa masuk ke keluarga kita. Untuk itu, pohon awar-awar tersebut oleh etnik Jawa di tanam di kedua sudut halaman. Tumbuhan tersebut jika malam hari akan mengeluarkan aroma (gas) penetralisir racun.

Tolak Balak

Kearifan lokal etnik Jawa tersebut digeneralisasi secara turun-temurun (descending downward) dan dipercaya kebenarannya punya daya tangkal magis yang ampuh terhadap suatu wabah atau pandemi yang saat ini sedang terjadi yakni Covis 19.

Masih satu lagi kearifan lokal yang konon bisa menebar aura sakti untuk mengatasi wabah yaitu berupa kidung (tembang) Jawa berjenis Dhandhanggula. 

Jenis tembang macapat ini dipercaya oleh masyarakat Jawa  diciptakan oleh Sunan Kalijaga dan mempunyai daya magis yang luarbiasa. Adapun liriknya sebagai berikut :

Ana Kidung

Ana kidung rumeksa ing wengi

Teguh hayu luputa ing kelara luputa bilahi kabeh

Jin setan datan purun peneluhan tan ana wani

Miwag panggawe ala gunaning wong luput

Geni atemah tirta malung adoh tan ana ngarah mring mami

Guna duduk pan sirna

Terjemahan bebas : Ada lagu berkumandang di tengah malam /  yang menjadikan kuat imunitas dan selamat / terbebas dari penyakit / terbebas dari petaka / jin dan setan pun tidak mau / segala jenis sihir tidak berani mendekat / apalagi perbuatan jahat / guna-guna sirna / api jadi air / pencuri pun menjauh dari kita / segala marabahaya akan lenyap.

Nah, dari klenik Jawa yang sarat filosofi kehidupan tersebut pada gilirannya menjadi warisan budaya yang adhiluhung sungguhpun zaman semakin melejit sundul langit. Lebih-lebih tatkala orang-orang kian dilanda kepanikan, berbagai kearifan lokal akan kembali bermunculan dan menjadi khazamah budaya yang plural  sebagai perekat nasional kebangsaan (nation and character building) di antara kebyar kehidupan metropolistik yang secara substansial ditandai life style utilitas pengagungan kebendaan kaum borjuis yang paradoks dengan kehidupan kerakyatan terutama rakyat bawah ( the lower class ) yang berlumur kebersahajaan. 

————-ooo———–

Tentang Penulis: Herry Santoso adalah pemerhati masalah sosial-politik dan budaya koordinator jurnalis jurnalfaktual.id Jawa Timur menetap di Blitar.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article