Religiusitas Tanpa Celana Dalam: Ketika Agama dan Moralitas Tak Selalu Sejalan

Rasyiqi
By Rasyiqi
7 Min Read
Religiusitas Tanpa Celana Dalam: Ketika Agama Dan Moralitas Tak Selalu Sejalan
Religiusitas Tanpa Celana Dalam: Ketika Agama Dan Moralitas Tak Selalu Sejalan

jfid – Kehidupan beragama seringkali menjadi subjek kontradiksi yang menggelitik. Banyak yang berpendapat bahwa keilmuan agama seharusnya menjamin pikiran yang suci, tetapi sayangnya, sebagian besar kita adalah manusia biasa.

Ya, setiap orang memiliki pikiran mesumnya sendiri atau bahasa kerennya, burung kadang tak bilang-bilang untuk terbang.

Dalam keseharian, seringkali terdengar bahwa keilmuan agama dan tingkat spiritualitas seseorang akan mencerminkan kualitas pikiran dan moralitas yang lebih tinggi. Namun, dunia nyata seringkali menghadirkan gambaran yang lebih kompleks.

Saya sudah dua tahun hidup di lingkungan desa saya, yang saya anggap sakral dalam hal moral, bahkan dari saking sakralnya, nyaris dosa besar jika tidak pakai songkok atau penutup kepala. Saya pernah di sanksi di sekolah hanya karena foto bersama teman perempuan sekelas. Hingga terpaksa harus pindah sekolah. Saat sudah pindah sekolah pun tak luput dari sanksi moral mulai dari digunjing tetangga bahkan disindir di tengah pengajian (Haflatul Imtihan).

Jadi, tulisan ini bukan untuk balas dendam, sekedar renungan dari diary pribadi yang mungkin cocok untuk anda baca. Di sekolah baru, memang tak pakai songkok, tidak ada embel-embel berlebihan, tetapi tidak norak dan munafik.

Sebagai contoh, mari kita perhatikan kisah seorang (satu dari banyak contoh) santriwati yang nyantri di pesantren X. Ini bukan jepang ya, dimana perawan adalah aib, jadi keperawanan harus dilepaskan dulu sebelum menikah. Tapi ini masih di sekitarmu.

Ketika liburan pondok tiba, ia terlibat dalam interaksi yang melampaui batas (anda bayangkan), dengan teman sesama santri, atau bahkan dengan seorang warga yang mungkin dianggap sebagai individu kurang terdidik dan berpendidikan.

Mungkin anda bertanya, emang ada begitu? Jawaban saya: banyak! Jangankan kontrol di luar batas pagar pesantren, di dalam pesantren, di sekolahan atau di tempat kajian, sudah pernah terjadi, gak baca berita?

Fenomena ini tidak terang benderang, seperti perempuan yang menjajakan diri di Wonokromo atau gang doli, tapi santriwati tersebut seolah-olah ‘jual diri’, hal seperti itu seperti sudah biasa, karena ia masih nyantri. Santriwati, di pondok ngaji, liburan jual diri.

Salah satu oknum, yang hampir setiap malam memperawani santriwati mengatakan “kalau punya anak nggak usah masukkan ke pondok kalau cuma ikut-ikutan, tidak aman, malah rusak.”

Saya hampir tidak percaya, pada awalnya, tapi itu fakta, ada buktinya. Masa iya hal itu terjadi di lingkungan desa yang dikenal agamis? Saya flashback ke beberapa tahun yang lalu, bahwa di salah satu pesantren di Madura, berhubungan seksual antar santri dan antara santri dengan ustadz sudah lumrah dengan dalih sudah ‘nikah’ tanpa wali atau nikah mut’ah.

Phenomena semacam ini membuka tabir dari ironi moralitas dalam masyarakat yang seringkali menonjolkan religiositas. Kenapa perilaku asusila seringkali dianggap sebagai sesuatu yang dapat dilewati atau bahkan diabaikan? Mungkin karena terperangkap dalam kungkungan konvensi, atau karena pandangan mata tertutup terhadap realitas yang mengganggu kenyamanan.

Saya pernah hidup di lingkungan yang bebas, dimana ‘selangkangan’ available dan banyak kesempatan hanya untuk sekedar ‘bercocok tanam’, satu-satunya kontrol diri adalah akal sehat dibalik iman yang nyaris habis.

Sebaliknya, di lingkungan yang berbalut agamis, justru orang-orang itu meletakkan akal sehatnya di lubang anus. Begitu iman rapuh, pertahanan diri pun rapuh.

Dalam sudut pandang psikologis, konflik internal antara nafsu dan akal sehat mungkin menjadi pendorong perilaku semacam ini. Lingkungan juga memainkan peran penting; tekanan sosial dan pengaruh sekitar dapat melunturkan tekad dan prinsip. Di sinilah mungkin keterbatasan pendekatan agama muncul.

Pertanyaan mendasar muncul: Apakah agama telah menjadi landasan yang rapuh? Fenomena ini seperti muslim yang nggan makan babi karena haram, tapi ia masih narkoba.

Penyelidikan lebih dalam mengindikasikan bahwa mungkin diperlukan pengetahuan tambahan yang mencakup aspek logika dan kemanusiaan untuk melengkapi pembelajaran agama. Hukum halal haram hanyalah sebagian kecil dari landasan moral. Tantangannya adalah untuk memadukan prinsip-prinsip spiritual dengan nilai-nilai kehidupan modern.

Daripada kasus pelecehan seksual, masih lebih banyak pelucutan seksual dan ini jarang atau bahkan tidak pernah terungkap, itu adalah panggilan untuk perubahan yang mendesak. Dikuatkan dengan hasil penelitian Komnas Anak tahun 2008 bahwa 62,7% remaja SMP di kota besar sudah tidak perawan, dan saat ini sudah bergeser ke desa. Percaya saya, hati-hati anak perempuanmu!

Perlindungan anak-anak harus menjadi prioritas utama, dan pembiaran tidak boleh lagi dibiarkan berkembang. Agama harus menjadi pilar yang menguatkan moralitas, bukan hanya sebagai serangkaian aturan dan ritual. Sebab tak mungkin Headquarter menciptakan lagu “Tuhan Sisakan Perawan untuk Generasi Kami,” jika tidak ada fenomena semacam ini.

Akhirnya, kita harus mengakui kompleksitas dari fenomena ini. Menuntut bahwa agama bekerja sendirian dalam memandu kehidupan sehari-hari mungkin terlalu… Eh, sebenarnya fenomena ini sudah sejak d

ulu sih, hanya saja dulu tidak ada internet, informasi belum seterbuka saat ini, mungkin orang-orang tua kita sebenarnya adalah yang paling bejat. Rumput tetangga pun diembat.

Nampaknya, di permukaan saja yang agamis, urusan selangkangan adalah fenomena yang tak pernah habis. Atau mungkin bahwa lebih buruk dari jepang, korea, china, thailand atau negara-negara barat lainnya. Moral agama doesn’t work.

Jadi, para penceramah atau guru-guru agama ketika ceramah tidak hanya membahas makan babi saja yang haram, tapi soal Pendekatan holistik yang mencakup pendidikan moral dan etika, logika, bersama dengan pemahaman mendalam tentang ajaran agama, dapat menjadi kunci untuk memahami dan mengatasi tantangan moral dalam masyarakat yang semakin kompleks ini.

10/01/2021

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email faktual2015@gmail.com

Share This Article