Perawat Ruang Isolasi Covid-19, Sang Pejuang Sejati

Herry Santoso By Herry Santoso
3 Min Read

Oleh : Herry Santoso

jfID – RUPANYA sebagian bangsa kita sudah terlalu jauh mengidap “penyakit” individualistis. Sebagai perwujudannya tidak pernah berpikir untuk “menghargai” petugas yang khusus merawat PDP Covid-19.

Saya ingat kasus di Sewakul, Bandarho, Ungaran Barat, Kabupaten Semarang yang terang-terangan menolak jenazah Nuria Kurniasih perawat kesehatan korban paparan virus corona, 9 April 2020 lalu. Jenazahnya ditolak dimakamkan di tanah kelahirannya tersebut.

Sungguh peristiwa yang menyayat kalbu. Pahlawan kesehatan yang bertugas di garda depan dengan taruhan nyawa tersebut tidak dihargai di negeri sendiri.

Ad image

Padahal petugas di ruang isolasi Covid 19 itu sendiri selalu berdoa agar si pasien sembuh dan dirinya selamat sebelum memasuki “ruang maut” itu.

Dengan sabar dan berdebar-debar ia mengganti slang infus, mengukur suhu tubuh, mengontrol tensi, meminumkan obat, bahkan memotivasi untuk menyemangati si pasien agar tidak putus asa.

Bangsa Feodal

Entah mengapa sebagian orang kita menjadi bangsa feodalis. Sebagai manifestasinya adalah suka merendahkan orang lain, pengagungan material, demi kepentingannya sendiri, tidak peduli pada orang lain, dan tidak menghargai karya dan bantuan orang lain.

Yang parah suka mencela pemerintah, tidak mencintai negeri sendiri, dan suka adu domba serta provokatif. Benarkah bangsa kita menjadi bangsa yang tidak pernah bangga pada negerinya sendiri (a nation that is never proud of its own country) ?

Saya jadi ingat ketika Irak mengekspansi Kuwait (1979). Orang-orang borjuis (kalangan menengah ke atas) justru melakukan eksodus besar-besaran meninggalkan negerinya untuk lari ke luar negeri. Dengan mobil-mobil caravan mereka melintasi padang pasir menuju Emirat Arab, Arab Saudi, bahkan lari ke Roma, dan Paris.

Sementara Kuwait justru dijaga oleh pasukan tak berdaya dan orang-orang kelas bawah yang bukan saja cari makan tetapi cinta negerinya !

Padahal tanah airnya teraneksasi musuh, dan harga diri bangsanya terinjak-injak bangsa lain.

Kembali pada petugas di ruang isolasi, dengan penuh sukarela mereka terkantuk-kantuk dengan pakaian mirip astronot. Bahkan (mungkin pula) di ruang itu hidup ribuan bahkan jutaan virus yang siap mengurai (memapar) pada manusia di sekitarnya. Sungguh ironis ketika petugas ruang isolasi itu meninggal dunia, jenazahnya ditolak untuk dikubur di kampung halamannya. Sungguh keji, dan tak beradab bangsa ini. Kepribadian asli bangsanya yang berbudi luhur telah luntur, berubah menjadi pribadi yang individualistik, apatis, dan feodalistik.

Penulis adalah pemerhati masalah sosial, politik, dan budaya tinggal di Blitar, Jawa Timur.

Share This Article