jfid – Di Jawa sepertinya spiritualitas lebih dahulu hadir daripada religiositas. Dari berbagai catatan sejarah yang ada memang agama-agama besar yang hadir di nusantara adalah lebih pada bentuk mistisismenya. Setidaknya, hal ini berlaku bagi gelombang pertama kehadiran mereka.
Di Jawa, baik Hindu, Buddha, Islam, maupun agama-agama besar lainnya, tak pernah hidup semurni ataupun sepersis dari tempatnya berasal. Koentjaraningrat dan Ricklefs pernah mencatat bahwa spiritualitas, atau secara khusus ketuhanan (kapitayan), sudah menjadi kearifan perenial bangsa nusantara. Dalam bahasa Koentjaraningrat hal ini disebut sebagai mistisisme. Sementara dalam istilah Ricklefs hal ini disebut sebagai “kontinuitas-mistis” yang membuat Islam tak tampak sebagai “barang asing” ketika tampil dalam wajah tasawufnya di masa silam.
Dalam sebuah kesempatan, saya berkesempatan singgah di rumah Paman Dhoplang di pinggiran desa dan mencoba, satu hal yang malas saya lakoni sebenarnya, mengorek pandangan dan sikap keberagamaannya.
“Tuhan yang kau tanyakan itu terlalu jauh,” jawabnya ketika saya bertanya tentang kebertuhanannya meskipun saya tahu lelaki sepuh itu ikut acara maulidan, shalawatan, kenduri dan tahlilan ketika tetangganya memperingati kematian keluarganya.
Paman Dhoplang, tak sebagaimana kita yang dididik untuk berpikir dan belajar tentang Tuhan yang dikabarkan dalam kitab-kitab dan sengkarut di sekitarnya, ia meletakkanNya sebagai sebentuk penghayatan dan bukannya obyek pengetahuan sebagaimana Ibn ‘Arabi, obyek cinta dan kerinduan sebagaimana Rumi, dan obyek sesembahan sebagaimana Syekh Abdul Qadir al-Jailani.
“Bagaimana kau dapat bertanya demikian, sementara upayamu untuk bertanya pun adalah kuasa dari yang kau tanyakan juga?,” kilahnya seperti seorang Derridean yang membuat lidah kelu.
Dalam hal ini saya ingat Syekh Junaid yang konon lebih menyukai murid yang goblok dan tanpa pengetahuan sama sekali. Sebab, pada orang-orang seperti itu, apa yang dikenal dalam teologi sebagai “tremendum et fascinosum” lebih dapat terjadi.
Terkadang, di sinilah sebenarnya derajat spiritual manusia sama sekali tak berkaitan dengan seberapa pintar ia dalam ilmu keagamaan dan sikap keberagamaannya. Sebab, ketuhanan dan keagamaan adalah dua hal yang jelas dapat dibedakan dan tak mutlak berbanding lurus. Siapakah yang paling tahu tentang Tuhan kecuali Ia sendiri? Bukankah Syekh Abu al-Hasan al-Syadzili tak pernah menulis sebuah buku sebagaimana cucu muridnya, Syekh Ibn ‘Athaillah? Bukankah jamak dijumpai seorang yang dikenal sebagai seorang mursyid dalam tarekat seolah tampak jauh kalah ilmu keagamaan dan sikap keberagamaannya dibanding muridnya?
Taruhlah ketika kita melihat sesuatu atau berada di suatu tempat yang sama sekali asing bagi kita, tentu kita akan takut atau justru terpesona. Demikian pula Paman Dhoplang, ia memang sama sekali bukanlah sesosok muslim yang taat ketika ketaatan itu dapat diukur dengan seberapa rajin ia beribadah: shalat, mengaji, bersedekah uang, dst. Meskipun hanya hafal “Lawala kuata,” tapi begitu merasuk penghayatannya pada sepenggal doa itu, ia telah selamat melewati zaman perang yang berkali-kali: zaman penjajahan Belanda, Jepang, Madiun Affair, dan peristiwa ’65. Tapi sungguh berbeda kasusnya pada seorang ustadz tetangganya yang hafal al-Qur’an dan menguasai berbagai kitab dimana ketika ponselnya habis baterai atau wifi-nya mati, ia belingsatan tak karuan laiknya dunia mau kiamat. Maka, dalam hal inilah Paman Dhoplang tak pernah sok.
(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)