jfid – Menulis itu bisa menjadi pekerjaan utama bagi yang sungguh berminat dan memiliki alasan yang kuat untuk dijadikan motivasi pendorong semangat menulis.
Tapi untuk menjadi penulis yang serius pun diperlukan banyak pengetahuan, mulai dari mengenal bahasa tutur yang baik dan tepat untuk digunakan dalam merangkai cerita atau laporan, hingga menulis essai atau opini dan fiksi yang menarik dan menawan.
Tak sedikit pilihan untuk menjadi penulis setelah seseorang memasuki masa pensiun dari pekerjaan pokoknya semula. Bisa saja awalnya hanya sekedar untuk mengisi waktu luang — karena sudah tak lagi mempunyai pekerjaan tetap, sementara untuk menikmati dana pensiun yang sudah melimpah — tak nikmat kalau diumbar tak karuan juntrungannya — maka dipilihlah pekerjaan menulis, meski harus mulai dari titik nol misalnya. Seperti untuk menguasai peralatan yang diperlukan untuk menulis itu sendiri hingga keperluan lainnya yang tidak bisa diabaikan.
Seperti buku, referensi bacaan dan sumber pengetahuan lain misalnya, memang harus dimiliki dan ditata sedemikuan rupa, sehingga keberadaannya tak cuma mendukung, tapi juga dapat menambah dan semangat melakukan pekerjaan untuk menulis sesuatu yang kita anggap menarik serta perlu juga untuk diketahui oleh orang lain.
Ada juga kawan yang memilih pekerjaan sebagai penulis, karena membayangkan masa depan umat manusia di masa mendatang kelak pasti memerlukan sejumlah catatan, dokumen sejarah atau semacam kesaksian dari perjalanan waktu yang memiliki keunikannya sendiri pada masa kini untuk dikenang atau sekedar untuk diketahui pada puluhan tahun kemudian.
Pendek kata, ketekunan pekerjaan seorang penulis mampu menjelajah semua khazanah ilmu dan pengetahuan yang tidak terbatas luasnya.
Mulai dari ciri kehidupan pribadi yang gandrung dilakukan banyak orang pada masa kini, kelak akan menjadi bahan kajian menarik, seperti dahulu adanya kecenderungan orang menonton pertunjukan wayang kulit, atau drama maupun pementasan teater, atau pembacaan puisi (poetri reading) yang kini mulai ditinggalkan atau dilupakan banyak orang.
Pendek kata, rentangan historis yang bisa dijadikan obyek penulusuran jauh lebih panjang dari rentangan sejarah itu sendiri.
Padahal suatu fenomena atau kecenderungan dari cara melakoni hidup ini secara umum misalnya pada 20 tahun silam jelas memiliki semacam lompatan yang sangat fantastik untuk diurai kembali pada 20 tahun kemudian. Karenanya, untuk menjadi penulis yang memiliki wawasan jauh ke depan, memiliki peluang untuk ditekuni juga.
Sementara ada juga kawan-kawan penulis yang menekuni pekerjaan menulis, karena melihat peluang yang sangat terbuka, misalnya dibanding untuk berdesakan berebut pekerjaan di perkantoran yang dia anggap kurang menantang secara kreatif maupun keseriusan menekuni dunia keilmuan.
Alasannya, karena untuk menjadi penulis yang baik itu harus menjadi pembaca sekaligus juga jadi pendengar yang baik pula. Setidaknya dengan cara menulis dia yakin untuk tidak perlu ikut berebut bicara seperti yang cenderung lebih dominan terjadi pada semua forum diskusi atau seminar.
Pendek kata, pilihan pekerjaan untuk menjadi penulis pun boleh saja sebagai pilihan antara — bukan pokok — ya sekedar iseng untuk mengisi waktu luang saja. Apalagi untuk mereka yang sudah purna tugas dari kedinasan tempatnya semula bertugas.
Motivasinya pun, bisa saja untuk sekedar menjaga daya nalar dan pikiran tidak anjlok. Pikun atau pelupa. Sebab untuk menulis itu sangat tidak mungkin tidak membaca. Mungkin saja yang harus dibaca itu bujan buku atau alkitab, tetapi pengalaman hidup diri sendiri atau kisah yang dituturkan oleh orang lain itu yang akan dijadiikan obyek tulisan.
Bagi penulis sendiri pekerjaan menulis itu sebagai upaya untuk tetap menjaga akal tetap sehat. Sebab dalam proses menulis itu diperlukan konsentrasi penuh, tidak cuma dalam teknis atau cara penulisannya, tapi juga sejak memilik topik, judul hingga hentakan kata pertamanya sudah perlu diperhitungkan daya tarik atau daya pukaunya, supaya pembaca bisa menikmati tulisan itu dengan rasa enak dan perlu. Jadi persis ketika hendak melahap makanan atau pun minuman, bukan saja rasanya yang harus enak, tapi kita yang melahap makanan itu pun paham, memang perlu untuk menambah gizi atau energi bagi tubuh kita.
Persoalannya kemudian memang menjadi penulis belum mendapat penghargaan atau pengakuan yang layak dari masyarakat. Karena itu persoalannya harus kita balik, mengapa kita harus berharap pada penghargaan dari masyarakat.
Karena kalau itu motivasinya ingin jadi penulis, mungkin bisa dibatalkan saja. Sevab menulis itu harus dapat diyakini juga sebagai bagian dari ibadhah. Jadi imbalannya yang lebih penting itu adalah dari Allah.
Sebab, jika pekerjaan seorang penulis itu harus dapat menjadi sumber penghidupan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, maka menjadi penulis itu diposisikan sebagai pekerjaan belaka, bukan ibadhah.
Bila menulis itu terlanjur diposisikan sebagai pekerjaan belaka, maka konsekuensi logisnya hasil dari pekerjaan itu harus mempunyai nilai upah pula. Maka itu, dalam posisi dilematis serupa ini — antara ibadhah atau murni pekerjaan — pekerjaan seorang penulis tentunya bisa lebih bijak bersikap dibanding dengan orang kebanyakan.
Jadi menulis itu bisa dilakukan untuk menjaga akal tetap sehat. Karena dalam proses menulis emosi, kesabaran, ketekunan dan kecermatan serta nilai-nilai kemanusiaan harus tetap dikedepankan. Mulai dari selera bahasa yang bererika serta moral yang terjaga hingga akhlak yang tercermin dalam kesinambungan narasi yang tersusun dengan mempertimbangkan selera orang banyak. Hingga tidak egoistik.
Banten, 4 Juni 2022
Penulis: Jacob Ereste adalah Penulis Freelance dan telah menerbitkan buku Menggugat Wanita, Sastra dan Budaya Kita Bina Cipta Bandung 1986.
Paparan ini dibuat khusus untuk bahan diskusi terbatas Atlantika Institut Nusantara dan Forum Jurnalis Indonesia Bersatu di Tangerang, pada 5 Juni 2022