jfid – Kemerdekaan, dalam khazanah budaya Jawa, disebut sebagai kamardhikan yang berakar kata mardhika. Sebenarnya, istilah itu berkaitan pula dengan istilah mardi yang bermakna ikhtiar atau upaya. Di Banyuwangi terdapat salah satu aliran spiritual yang berbasiskan budaya Jawa dan sufisme. Aliran itu terkenal dengan sebutan Purwa Ayu Mardi Utomo (PAMU).
Di lingkaran nahdliyin, secara akademis aliran ini pernah dikenal luas berkat salah satu catatan Abdurrahman Wahid yang berjudul “Kematian Seorang Pangeran.” Dapat dikatakan, barangkali, catatan inilah awal mula keterlibatan beberapa orang NU dalam hal advokasi pada kalangan kapitayan—meskipun saat ini kebanyakan dari mereka sudah mandiri atau memilih dhewek (“Dhewek” dan Teologi Ketakmanjaan Jawa, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).
Namun keterlibatan orang-orang yang berlatarbelakang nahdliyin sebenarnya sudah terjadi jauh sebelum Abdurrahman Wahid mencatatkan pengalaman ataupun kepeduliannya pada kalangan kapitayan. Sebab, PAMU ataupun PDKK, yang sama-sama merupakan warisan peristiwa Perang Jawa atau Perang Dipanegaran yang terjadi pada tahun 1825-30, juga kumandang dengan nama Arab tarekat Akmaliyah dimana beberapa kyai NU pun, bahkan di lingkaran strukturalnya, menjadi salah satu pengikutnya (“Sunyata,” dlm. K.Ng.H. Agus Sunyoto Eksemplar Moral dan Intelektual, Santriwikrama, Malang, 2021).
Dalam esainya itu, secara khusus Abdurrahman Wahid ditunggu kedatangannya oleh sesepuh PAMU di Banyuwangi. Dan konon, dalam catatannya itu, Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa sesepuh itu sengaja mengundurkan saat kematiannya hanya untuk bertemu dengan sang cucu KH. Hasyim Asy’ari. Terlepas dari latar-belakangnya dan latar-belakang keluarganya, Abdurrahman Wahid tanpa rikuh pun singgah di Banyuwangi dan menemui sang sesepuh yang secara rendah hati mengenalkan pribadinya sebagai “Wong Jawa-Buddha.”
Dari peristiwa itu cukup menarik ketika sang sesepuh PAMU menunjukkan sikap yang “asor” atau merendah pada sang cucu kyai besar pendiri NU. Dengan mengatakan bahwa dirinya adalah wong Jawa-Buddha seolah-olah sang sesepuh itu ingin menunjukkan perlakuan orang-orang yang mengklaim sebagai Islam pada diri dan para pengikutnnya—sebuah perlakuan yang ternyata masih lestari hingga kini: memandang rendah orang lainnya.
Namun bukan kesadaran seorang Abdurrahman Wahid dan para pengikutnya atas eksistensi orang-orang kapitayan yang ingin saya paparkan di sini. Pun bukan kemampuan sang sesepuh itu dalam mengundurkan saat kematiannya. Yang menarik adalah bagaimana mungkin seorang yang tak terkenal, kecuali di lingkaran sendiri, sampai dapat mengundang seorang yang besar dan terkenal dimana, barangkali, kaumnya acap merendahkan dirinya dan para pengikutnya.
Apakah sang sesepuh PAMU itu hanya ingin menasehati secara halus seorang Abdurrahman Wahid, yang saat itu sudah terkenal sebagai salah satu pemimpin umat Islam, yang terkenal dengan kemampuannya untuk tanggap ing sasmita, bahwa ada baiknya balikkanlah tudinganmu ke dirimu sendiri?
Konon, di pesantren berlaku sebuah adagium untuk tak melihat siapa yang berkata, tapi lebih pada apa yang dikatakannya. Meskipun hanya seorang sepuh yang tak terkenal kecuali di lingkaran sendiri, sang sesepuh itu seperti ingin menunjukkan tentang siapakah Abdurrahman Wahid. Sebab, di lingkaran kejawen atau kearifan-kearifan lokal lainnya, berlaku sebuah keyakinan bahwa seseorang tak mungkin bertemu atau berjodoh dengan sebuah aliran spiritual ketika tak ada “wiji” atau benih yang mengalir di nadinya.
Atas hal itu, pada suatu waktu, secara bangga Abdurrahman Wahid pernah mengatakan bahwa dirinya adalah masih keturunan Ki Ageng Pengging, sang murid Syekh Siti Jenar. Atau versi lain, ia masih keturunan Syekh Siti Jenar lewat jalur Pangeran Panggung, anak Sunan Kalijaga dengan salah satu isterinya yang merupakan anak perempuan Syekh Siti Jenar. Dengan demikian, ketika seumpamanya seorang Abdurrahman Wahid ikut-ikutan merendahkan para penganut aliran PAMU ataupun Akmaliyah lainnya, berarti ia juga merendahkan para leluhurnya, yang otomatis juga dirinya sendiri.
Secara ideologis ataupun kultural, jauh sebelum Sunan Kalijaga menjadi pula seorang ahli tata ruang, konon Syekh Siti Jenar sudah memerankan peran itu. Selain mengadopsi tata mandala di era Majaphit sebagai sebuah tata geopolitik, konon ayah Syekh Bardud itu juga menjadi arsitek pembangunan pesantren yang mesti dekat dengan sungai (Gebang Tinatar dan Gelar Santri di Balik Nama Besar Ronggawarsita, Heru Harjo Hutomo, https://etnis.id).
Maka, dengan berkaca pada persinggungan PAMU dengan seorang Abdurrahman Wahid, kemerdekaan yang kini tengah kita rayakan sudah semestinya juga berlatar ke depan dimana istilah kemerdekaan berkaitan dengan istilah mardi atau ikhtiar. Dengan demikian, istilah merdeka ternyata adalah sebuah kata kerja yang musykil untuk diukur. Ketika seseorang mengatakan kata merdeka, berarti ia memilih untuk dhewek atau memiliki otonomi diri dan tak terombang-ambing laiknya buih di samedera biru. Sebab, di balik istilah mardhika atau merdeka ternyata tersimpan pula pengertian kardi yang berarti kehendak.
Heru Harjo Hutomo: Penulis, perupa dan pemusik, penulis buku Jalan Jalang Ketuhanan: Gatholoco dan Dekonstruksi Santri Brai (2011), Ma-Hyang: Melibatkan yang Silam Pada yang Mendatang (2020), Kahanan: Melongok dari yang Tak Pokok (2021), Sangkan-Paran (2021).