Tiban, Seni Ekstrem Ngalap Berkah Turunnya Hujan

Herry Santoso
4 Min Read
Seni Ekstrem, Seni Tiban, duel dengan Cambuk ritual minta turun hujan (Foto: Herry Santoso)
Seni Ekstrem, Seni Tiban, duel dengan Cambuk ritual minta turun hujan (Foto: Herry Santoso)

Tradisi Ekstrem

jfID – DUEL cambuk sampai kulit mengelupas berdarah-darah. Itulah kesenian unik sekaligus ekstrem, bernama Tiban. Adapun seni tiban sendiri bertujuan sebagai media “ngalap berkah” pada Yang Maha Kuasa agar cepat turun hujan di kemarau panjang ini.

Sungguh luar biasa, kesenian ekstrem ini tumbuh subur di daerah Blitar, Tulungagung, Trenggalek. dan Kediri.
“Dulu kesenian ini sempat dilarang. Karena kerap menimbulkan malapeta, lantaran kecurangan. Salah satu pemainnya meramu ujung cambuknya (upat-upat) dengan serbuk beling (pecahan kaca). Tak ayal, lawan tanding yang terkena lecutan kulitnya bisa mengelupas menyisakan cacat permanen. ” ujar Sukarji (65) yang berprofesi sebagai tukang gambuh (pawang) tiban, pada penulis.

Sejak Zaman Majapahit

Konon kesenian tiban ada sejak zaman Majapahit, yang kemudian diaktualisasi oleh Sunan Kalijaga di zaman kerajaan Islam.
“Walisongo memodifikasi seni tradisional ekstrem ini agar bisa bersenyawa dengan agama (Islam) di Tanah Jawa, ” imbuh Sukarji. Penambahan itu misalnya, diadakan pembacaan dzikir dan kenduri sebelum pergelaran tiban dimulai.

Isi doanya, agar Gusti Allah cepat menurunkan hujan hingga kekeringan yang disertai gelombang udara panas ini tidak berlarut-larut.

Uji Nyali Para Jawara

Tiban, berasal dari kata tiba (jatuh). Secara harfiah, agar segera jatuh hujan.

Tetapi tontonan itu sekaligus sebagai ajang “uji nyali” para jawara, lelaki sejati. Para lelaki yang pernah melakukan “gemblengan” agar tidak mempan cambukan sekuat apapun lecutannya.

Sedangkan sarana yang digunakan berupa pecut (cambuk) dari lidi enau (aren). Satu cambuk lidi besar untuk menangkis, sedangkan satunya lagi cambuk kecil untuk menyambuk lawan secara bergantian sebanyak 3 kali cambukan.

Kalau terampil memainkan cambuk untuk menangkis deraan lawan, lecutannya selalu meleset tidak mampu mendarat di tubuh lawannya lantaran sebuah tangkisan yang trengginas (tepat, cepat dan reflekstif). Akan tetapi jika kurang terampil begitu dilecut akan mendarat, kulit akan mengelupas mengucurkan darah, lantaran setiap pemain wajib bertelanjang dada !

Cambukan tidak boleh didaratkan ke wajah, tetapi sebaik-baiknya cambukan mendarat di sekitar dada, atau punggung lawan.

Mengeluarkan Asap dan Percikan Bunga Api

“Entah ilmu kebal apa yang dipunyai jawara, hingga ada yang dicambuk cuma mengepulkan asap dan percikan bunga api. Bukan main…” ujar Eko (45) yang benar-benar tertegun setelah melihat dengan mata kepala sendiri. Aneh, ajaib, kulit tubuhnya bak lempengan baja.

Ketertegunan belum berakhir di situ. Keajaiban selanjutnya setelah Sang Pawang menjilati luka kulit mengelupas bagi pemain yang kalah “sakti”. Sungguh ajaib, lukanya beberapa saat kemudian sudah rapat dan mengering.
“Semua lantaran kekuatan ilmu magis, Pak. ” tutur Kelvin (38), yang tidak cukup nyali naik ring karena merasa masih “hijau” (pemula).

“Apakah Anda pernah naik ring ?”usut penulis.
“Sering, tapi untuk kelas yunior, ” imbuhnya sembari menyingkap kaosnya memamerkan luka memanjang bekas cambukan.

Uniknya, para jawara diikuti oleh suporter masing-masing secara berombongan. Banyak jago dari luar kota seperti Banyuwangi, Ponorogo, bahkan Wonogiri, dan Gunung Kidul (DIJ). Itulah kesenian unik yang hingga kini masih lestari dan rutin digelar di tengah kemarau panjang dan kekeringan alam yang meranggas.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article