Sastra Membantu Melawan Lupa

Tjahjono Widarmanto
6 Min Read
Milan Kundera novelis Dunia, Berkebangsaan Republik Ceko. Tinggal dalam pembuangan di Prancis sejak 1975 dan dinaturalisasi pada tahun 1981. (Sumber foto: Wikipedia)
Milan Kundera novelis Dunia, Berkebangsaan Republik Ceko. Tinggal dalam pembuangan di Prancis sejak 1975 dan dinaturalisasi pada tahun 1981. (Sumber foto: Wikipedia)

Perjuangan manusia yang paling abadi adalah melawan lupa!
(Milan Kundera)

jfID – Melalui novelnya yang memukau, The Book of Laughter Forgetting, Milan Kundera memperingatkan bahwa manusia cenderung gampang lupa dan terlampau mudah dikelabui oleh ingatan. Karena gampang lupa dan acapkali dikelabui oleh ingatan maka perjuangan manusia paling abadi adalah melawan lupa. Melalui tokoh novel tersebut, bernama Mirek, Kundera menegaskan bahwa perjuangan melawan lupa merupakan kewajiban setiap manusia yang tak ingin membirkan sejarah dikuasai oleh para penguasa.

Perjuangan melawan lupa dalam konteks politik kuasa harus dimulai dari perjuangan membangkitkan ingatan dalam konsep kehidupan sehari-hari. Mulai dari hal-hal paling remeh temeh, sederhana sampai pada hal-hal besar dan penting dalam proses berkebudayaan dan berperadaban umat manusia.

Seorang sastrawan lain, Gabriel Garcia Marques, dalam novelnya yang cemerlang, One Hundred Years of Solitude (Seratus Tahun Kesunyian), menggambarkan perjuangan melawan lupa ini. Dalam novel ini diceritakan sebuah desa bernama Macando yang sekonyong-konyong diserang wabah lupa. Seluruh penduduk Macando tiba-tiba lupa, tiba-tiba terjangkit amnesia, ingatannya tak mampu merekam segala hal yang pernah diketahuinya. Tak sekedar amnesia, mereka pun terjangkiti oleh rasa takut (phobia) sehingga sulit tidur.

Anerraliano, sang tokoh utama novel tersebut, mendapat sebuah cara agar penduduk Macando tidak kehilangan akalnya. Ia mencatat dan menandai benda-benda berikut namanya. Dengan cat dan tinta ditandai dan dituliskan nama-nama benda yang ada di sekelilingnya, misalnya meja, kursi, kapak, pisau, arloji, dinding, almari, pintu dan benda-benda lainnya. Pun dengan binatang-binatang di sekitarnya ditandainya dengan namanya, misalnya sapi, ayam, babi, anjing, kambing, dan sebagainya. Tak hanya itu, karena cemas mereka hanya akan ingat nama benda dan binatang itu namun lupa kegunaannya, maka Anerraliano pun menuliskannya di bawah nama-nama tersebut kegunaannya. Melalui upaya ini, penduduk Macando berhasil memulihkan kembali ingatannya. Mereka berhasil mengalahkan wabah amnesia tersebut dan mengenali kembali realitas di sekelilingnya melalui  kata-kata.

Novel di atas mengisyaratkan bahwa manusia bisa lupa dengan persoalan-persoalan besarnya, bahkan pada kemanusiaannya sendiri. Saat manusia lupa akan persoalan-persoalan remeh temeh akan sanggup membuat kehidupan manusia macet dan tak bermakna. Apalagi jika lupa itu berkaitan dengan hal-hal mengenai makna, moral, dan nilai-nilai hidup itu sendiri, yang akan terjadi adalah kebangkrutan manusia.

Ingat atau mengingat tak sekedar menyimpan dan merekan sesuatu dalam otak. Plato mengistilahkan mengingat sebagai anamnesis, yang bermakna mengingat dan mengenang kembali dunia ide. Melalui konsep anamnesis ini, Plato mengajak manusia untuk memperoleh kembali pengetahuan sejati.

Konsep Plato tersebut kemudian dikembangkan oleh Agustinus yang mengistilahkan mengingat atau mengenang, sebagai memoria. Memoria merupakan semacam caahaya batin yang membimbing dan menuntun manusia untuk mengenal eksistensinya. Memoria mengajak manusia untuk mengingat kembali kedalamannya, sekaligus mengaktualkan dalam kehidupannya.

Khazanah filsafat Jawa menyebut konsep anamnesis dan memoria ini sebagai eling. Kata eling dalam filsafat Jawa memiliki kedalaman filosofis. Merupakan semacam pengetahuan atau tuntunan yang mengingatkan manusia akan kedalaman dan kesejatiannya melebihi pengetahuan inderawinya. Konsep tersebut dalam Serat Wedaran Wirid dituliskan sebagai ...”Satunggaling pirantos ingkang mboten kenging diapusi. Pakaryanipun kajawi suka eling, ugi nyimpen sadengah kedadosan-kedadosan ingkang tuwuh saking pakartining manah utawi wadag..”(rasa eling itu salah satu perangkat atau sarana yang tidak bisa dibohongi. Tugas dari rasa eling adalah mengingatkan, selain juga menyimpan semua kejadian yang tumbuh dari perngertian hati maupun pengalaman badaniah).

Konsep eling dalam filsafat Jawa ini pun memiliki konotasi etis. Manusia harus selalu eling yang mewujud dalam sikap berhati-hati (waspada) dalam menjalani laku hidupnya. Seperti diingatkan oleh Ki Ageng Sela dalam Pepali Ki Ageng Sela:

…pramila den ngati-ati
neng ndonya aja ketungkul
senajan ala sireki
nuli elinga ing batos…
(…karena itu berhati-hatilah
hidup di dunia ini, jangan melebihi batas
meski kamu itu jahat
segera sadarlah dalam batin)

Lalu apa yang bisa membuat manusia lupa diri, lupa terhadap sifat dan nilai-nilai kemanusiannya, lupa pada kewajiban moralnya sebagai manusia?

Banyak hal yang bisa memicu lupa. Di antaranya kekuasaan, keserakahan, ambisi, kedudukan, kejayaan, wanita dan berbagai kesukaan jasmaniah yang lain. Berbagai krisis kemanusiaan yang terjadi selama ini justru berlangsung saat kita lupa dan tidak sadar diri dininabobokan oleh nafsu-nafsu jasmaniah.

Sudah semestinya kita gaungkan kembali seruan Milan Kundera di awal tulisan ini: Perjuangan manusia yang paling abadi adalah melawan lupa! Seruan Kundera ini semoga selalu mengingatkan kita akan bahaya dan ancaman lupa!

Penulis: Tjahjono Widarmanto adalah sastrawan Indonesia yang tinggal di Ngawi

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article