NATUNA, OH NATUNA

Herry Santoso
8 Min Read
Pertahanan Laut Natuna oleh Angkatan Laut RI (Foto: Dok. Koarmando I)
Pertahanan Laut Natuna oleh Angkatan Laut RI (Foto: Dok. Koarmando I)

Beranikah Indonesia vs Tiongkok ?

jfID – JAKARTA kebakaran jenggot. Puluhan kapal nelayan China diback up oleh China Coast Guard (kapal penjaga pantai) merangsek masuk ZEE (Zona Ekonomi Ekslusif) Indonesia di kawasan Laut Natuna Utara.  Pertanyaannya adalah : Beranikah Indonesia konfrontasi langsung melawan China Tiongkok ?

Terlepas berani atau tidak, China adalah negara “sahabat”. Ia memiliki nilai investasi besar di negeri ini sekiar 3,5 miliar dolas AS dengan jumlah proyek 555 titik. Dengan demikian, China adalah  PMA terbesar ketiga di Indonesia setelah AS dan Jepang.

Sehingga dalam berpolemik masalah China yang masuk ke ZEE kita harus memiliki dua garis demarkasi yang jelas yaitu antara kepentingan ekonomi, dan ketegangan Natuna. Sebab, kerap ditengarai oleh dunia internasional China termasuk salah satu “negara usil”di dunia, di samping  Israel, Korea Utara, dan AS. Kita tahu, China juga punya masalah dengan Taiwan, Hongkong, AS, India (masalah Tibet), dan banyak lagi. Sungguhpun Hongkong bagian daripada China, tetapi pulau itu punya otoritas pemerintahan sendiri.

Bukan tanpa sebab, mengapa China suka menjahili tetangga ? Faktor utama agresivitas China tersebut adalah faktor demografi, di mana Negeri Tirai Bambu itu memiliki populasi (jumlah penduduk) terbesar di dunia yakni 1,4 miliar jiwa. Di sisi lain China negara terluas wilayahnya hampir 2 kali lipat Indonesia. 

Dengan potret di atas wajar jika China cenderung “menghalalkan segala cara” untuk memberi makan rakyatnya. Wajar pula jika China selalu bikin gara-gara terutama terhadap negeri tetangga yang menpunyai kekayaan alam melimpah laiknya Indonesia.

Sebab sbagaimana kita ketahui,  LCS (Laut China Selatan) — sekarang Laut Natuna Utara –, memiliki deposit sumber energi di dasar laut yang amat besar. Selain itu potensi kekayaan laut lainnya (terutama ikan) benar-benar membikin China “ngiler” hingga dengan lancang berani menggiring dan melindungi kapal-kapal nelayannya untuk mencuri kekayaan laut kita tersebut.

Hanya RI yang Berani

Hanya Indonesia yang berani secara fisik meladeni China jika benar-benar ia menggunakan agresi militer. Sedangkan tetangga lainnya semisal Vietnam, Filipina, Brunei,  atau Thailand hanya berani melakukan “psywar” semata.

Padahal kekuatan China dibanding kita ibarat mentimun dengan durian.  Menurut GFP (Global Fire Power) militer China ranking ke ketiga dunia,vdan kita hanya ranking 16 dari 177 negara. China mempunyai personel militer 2,7 juta, sementara Indonesia hanya sekitar 800 ribu (termasuk tentara teritorial). Sementara anggaran militer China memiliki besaran belanja pertahanan (2019) 224 miliar dolar AS / Rp 3.136 triliun rupiah (dengan asumsi nilai tukar Rp 14.000,-), sedangkan Indonesia hanya punya anggaran pertahanan sekitar 7 miliar dolar / Rp 131 triliun saja.

Untuk alutsista China punya 3.187 ekor pesawat militer baik untuk jet tempur  maupun pesawat transpor. Sementara Indonesia cuma 451 unit pesawat militer baik penempur maupun transpor. 

Untuk Angkatan Laut (AL) lagi-lagi China lebih perkasa dibandibg kita lantaran didukung 714 kapal perang dari berbagai kelas, sedang Indonesia cuma 221 unit saja.

Lalu di mana letak keunggulan kita ? Jawabnya, hampir semua personel militer Indonesia memiliki skill-standart jauh di atas militer China, lantaran pasukan reguler (pasukan biasa) Indonesia rata-rata sama dengan kemampuan pasukan elite dunia. Itu padukan biasa. Sedangkan pasukan elite kita sebut saja Koppassus, menjadi nomor satu di dunia. Belum Kopka, Taifur, Denjaka, dan Paskhas. Untuk Koppasus menurut Global Fire Power (2018) mentereng di ranking tingkat 1 dunia mengalahkan SAS (Inggris), US Seal dan Alpha Group (AS), Spetsnaz (Rusia), Dragon Commando (China), atau Sayeret Matkal (Israel).  Inilah yang sangat disegani Beijing untuk konfrontasi langsung dengan TNI.

Selebihnya, meski cuma sedikit alutsista TNI jauh lebih modern dibanding China yang rata-rata dikonotasikan sebagai “like a biscuit patch” (layaknya kaleng biskuit). AlutsistaIndonesia masih lebih gahar dibandibg China, dan terbukti di dunia internasional Koppasus berkali-kali sukses membebaskan penyanderaan kelas dunia maupun operasi militer di luar negeri laiknya pembebasan KM. Sinar Kudus oleh perompak Somalia, peristiwa pesawat Garuda ‘Wiola’ di Bangkok, dan juga suksesnya Pasukan PBB dari Indonesia Garuda.

Deregulatory Effect

Di sisi lain dengan ditunjuknya Menteri Kelautan baru Edy Prabowo, terbit “deregulasi” baru pula yang bertolak belakang dengan regulasi Susi Pudji Astuti. Edy meregulasi larangan ekspor bibit lobster (benur). Sehingga para eksportir dan nelayan merasa kembali “merdeka” setelah katup ekspor disumbat Susi.

Dari longgarnya beberapa regulasi baru Menteri Kelautan tersebut, China selalu mencuri kesempatan dalam kesempitan dan seolah mendapatkan angin segar, lantaran tidak mungkin kapal-kapal nelayannya yang ketahuan mencuri ikan akan ditenggelamkan seperti zamannya Susi. 

Agaknya pula, apa yang dilonggarkan oleh Edy Prabowo tersebut sekaligus sebagai upaya penanaman investasi politik ke depan di kubu Prabowo Subianto yakni meraihi “simpati” daru masyarakat nelayan. Sebab dengan berbagai pelonggaran tersebut nelayan akan lebih bebas dalam mencari hajat hidupnya. Dengan demikian, satu point plus buat kubu Prabowo Subianto di Pilpres nanti (2024). Sebab tidak tertutup kemungkinan pula nantinya kubu Prabowo akan tetap berbagi (baca : berkoalisi) dengan partai berkuasa saat ini. Ini yang disebut “political effect”.

Mengapa pula dalam kasus Natuna Menhan Prabowo justru bersikap “feminin” tidak segarang ketika ia mengritisi Jokowi saat debat capres dulu yakni soal lemahnya pertahanan ?

Diprediksi sikap Prabowo tersebut adalah (1) masih mencari strategi yang tepat untuk melumpuhkan China (2) karena kasus Natuna bukan tragedi “kapal perang” melainkan cuma kasus kapal nelayan biasa yang dikawal kapal dari Kementerian Kelautan China (3) sikap hati-hati Prabowo agar tidak terpancing dan terseret ke konflik militer yang lebih luas dan (4) ingin menggiring China ke meja perundingan karena Prabowo yakin jika hal tersebut digelar ke Mahkamah Hukum Internasional, Indonesia pasti menang sebab batas kontinen Indonesia sesuai ZEE itu sudah diakui oleh PBB.

Yang berbahaya adalah jika sikap “cool” Prabowo tersebut sebagai trik politik yang tak nampak (shadow power ) untuk “melemahkan” Jokowi  : itu akibat warisan kesembronoan Jokowi yang terlalu “welcome” pada China.   Tetapi yang disebut terakhir sangat tidak mungkin, karena Prabowo Subianto adalah seorang patriot sejati yang segala detak nadinya berirama nasionalisme kebangsaan ! ***

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article