Marxisme-Eksistensial, Eksistensialisme-Marxian

Heru Harjo Hutomo By Heru Harjo Hutomo
6 Min Read
- Advertisement -

jfid – Suatu kali saya berseloroh pada seorang kawan yang terlalu fundamental terkait dengan iman marxisme yang ia yakini. “Marx dan Kierkegaard, yang dalam novel Josten Gaarder disimbolkan oleh anggur merah dan biru, barangkali mengilhami lagu rakyat Bojo Loro,” seloroh saya ketika melihat kawan itu serius dalam membahas individu yang merupakan bentukan belaka dari masyarakat.

Saya pun mencoba mendendangkan lagu itu dengan versi sendiri: “Abang Biru lampune disko/ Endhas ngelu mikir bojo loro/ Bojo sing enom njaluk disayang/ Sing tuwo kurang duit blonjo.” Lazimnya, beristri dua orang bukanlah hal yang gampang untuk dilakukan—bahkan sampai-sampai PKI pun konon melarang para kadernya untuk melakukannya dimana Iramani, nama pena kawan Nyoto, bersitegang dengan Dipa.

Seperti halnya melumat teori pertentangan kelas dalam marxisme. Logikanya, seandainya kita marxis, kita mesti memberdayakan isteri muda daripada isteri tua yang secara pengalaman jauh lebih mapan. Tapi entah kenapa, paradigma kebudayaan kita seolah memaksa untuk, bagaimana pun, berpihak pada isteri pertama yang konon sudah tak lagi berlatar syahwat, tapi mesakke (kasihan). Pada ranah ini, relasi antara suami dan isteri pertama sudah pada tahap eksistensial yang mencakup prinsip faktisitas yang dirangkum oleh Nietzsche dengan sepenggal slogan “amor fati” (cinta nasib). Sedangkan relasi dengan isteri muda, sang suami berada pada tahap faktor determinan: ekonomi—dimana konsekuensi tak dapat memenuhinya pastilah cerai karena biasanya perkawinan kedua ini berlangsung secara sirri yang tak bersandarkan pada hukum negara.

Pertentangan antara isteri muda dan isteri tua laiknya pertentangan antara marxisme dan eksistensialisme yang dahulu pernah dirujukkan oleh Jean-Paul Sartre, dalam Le Marxisme est un Humanisme, tapi gagal. Sartre, dalam terang Heidegger (Letter on Humanism), telah salah dalam memahami eksistensialisme Heideggerian yang tak mengenal kepura-puraan ide besar sosialisme maupun komunisme. Kita tengok saja kontradiksi kehidupan Sartre yang, selain seorang eksistensialis, adalah juga seorang marxis: meluangkan sebagian besar waktunya di café dengan segala keborjuisannya, kumpul kebo dengan de Beauvoir, dst. Padahal, Marx pun konon sampai harus, barangkali, makan sehari sekali ketika menganalisis modal demi kemenangan kaum proletar. Dengan kata lain, Sartre tak dapat memecahkan ketegangan antara isteri muda (marxisme) dan isteri tua (eksistensialisme).

Ad image

Saya kira sebenarnya upaya Sartre untuk merujukkan kedua “isteri” itu, seandainya berhasil, akan cukup mengubah paradigma sosial dan kebudayaan di dunia yang bagaimana pun mesti, secara dekonstruktif, berada dalam kesetaraan laiknya sepasang sepatu (Sepatu, Heru Harjo Hutomo, https://www.idenera.com).

Upaya untuk merujukkan isteri muda (marxisme) dan isteri tua (eksistensialisme) pernah pula dilakukan oleh sebuah grup band ternama Amerika: Audioslave. Band yang merupakan peleburan dua band yang memiliki aliran berbeda secara musikal dan bertentangan secara tematik ini datang dari dua latar-belakang ideologis yang berbeda: Rage Against The Machine dengan rap core dan lirik-lirik politisnya (marxisme) serta Soundgarden dengan grunge dan suasana kemuraman apolitisnya (eksistensialisme).

Pertobatan seorang Tom Morello atas kesilaman marxismenya cukup kentara baik pada tataran visual maupun auditif. Pada tataran visual, ia jarang lagi menggunakan gitar Telecasternya yang banyak dipakai di album pertama RATM yang cukup revolusioner. Dengan Audioslave gitaris yang tak mainstream dalam bermain gitar ini menggunakan Stratocaster dengan tulisan “Soul Power.” Tak pelak, tulisan yang menghiasi gitarnya tersebut seolah telah mengindikasikan imannya pada materialisme, baik dialektis maupun historis, runtuh. Permainannya pun tak lagi seberisik dan seeksperimental ketika masih menjadi gitaris RATM. Bersama Audioslave permainan gitarnya terdengar begitu minimalis, manis, dan melankolis sebagaimana suasana yang dihasilkan oleh lagu Like A Stone ataupun Be Youself.

Dapat disimpulkan, dengan corak dan suasana musikal yang dihasilkan oleh Audioslave, Tom Morello, Tim Commoerford, dan Brad Wilk yang kesemuanya berkecenderungan Marxian ketika bersama RATM, tertobatkan oleh sesosok Chris Cornell yang merupakan seorang eksistensialis yang kaffah, lahir dan batin. Dengan kata lain, merujukkan isteri muda dan isteri tua, marxisme dan eksistensialisme, bukanlah hal yang semudah membalikkan telapak tangan. Hal ini terbukti dengan bubarnya Audioslave dengan bunuh dirinya sang vokalis, Chris Cornell. Barangkali, atas terbentuk dan terbubarkannya Audioslave, kita menjadi sadar diri bahwa masyarakat tanpa kelas adalah ibarat hasrat yang sia-sia dan otentitas beserta kebebasan individualnya hanya akan dijumpai di akhirat—atau dalam terang Heidegger dalam Being and Time, ketika manusia mati. Bukankah kematian adalah peristiwa yang khas yang tak dapat diwakilkan?

(Heru Harjo Hutomo: penulis kolom, peneliti lepas, menggambar dan bermain musik)     

- Advertisement -
Share This Article