Islam yang Terjebak pada Perjuangan Emosional dan Sloganistis

Syahril Abdillah
3 Min Read
Gambar Ilustrasi Peradaban Islam (foto: Istimewa)
Gambar Ilustrasi Peradaban Islam (foto: Istimewa)

Jurnalfaktual.id, | “Kaifa yuflihu kaumun fa’alu biamliya iha kada.” Begitulah sikap tegas Nabi (Rosulullah Muhammad) kepada orang-orang yang mengalahkan beliau di perang uhud. Lalu Tuhan menurunkan satu ayat, “Laisa laka minal amri syayun au yatuuba ‘alaihim au yu’adz-dzibahum fa-innahum zhaalimuun.” Yang artinya, Itu bukan menjadi urusanmu (Muhammad) apakah Allah menerima tobat mereka, atau mengazabnya, karena sesungguhnya mereka orang-orang zalim. (QS. 3:128). 

Turunnya ayat ini suatu sanggahan atau peringatan kepada baginda yang mulia Muhammad SAW jika menstigma seseorang itu bukan wilayahnya. Sementara yang terjadi hari ini, yang mengaku paling setia pengikut Rosulullah malah dengan mudah mencaci maki bahkan mengkafirkan seseorang. Jika yang mulia Muhammad tidak di perbolehkan untuk menstigma seseorang apalagi ummatnya. 

Saya perhatikan penganut  Islam hari ini terjabak pada suatu identitas, dimana seseorang yang dianggap tidak sama dan menyimpang maka itu layak disebut penista agama. Jika seperti ini terus cara berfikir dan sikap ummat islam maka perjuangan islam hari ini menjadi sebuah perjuangan yang emosional dan sloganistis.

Saya tidak akan menyinggung terlalu jauh terkait kasus penodaan agama yang terjadi akhir-akhir ini. Tapi kejadian itu, diakui atau tidak kini menyeret pada suatu perpecahan dan membuat gaduh di beberapa daerah. 

Kedepan saya berharap para penganut islam mampu menerima segala bentuk perbedaan dan tidak mudah menstigma seseorang. Selanjutnya mampu bersifat menggugah, merangsang dan mendidik bagi tiap-tiap pribadi sehingga islam benar-benar menjadi rahmatan lilalamin. Sehingga islam tidak terjebak pada perjuangan yang emosional dan loganistis.

Abdurrahman wahid atau yang kita kenal dengan Gus Dur dalam mengurai pemikiranya melihat perbedaan selalu menggunakan adagium “perbedaan pendapat para pemimpin adalah rahmat bagi umat” (ikhtilâf al-a’immah rahmatu al ummah). Kalau kita pegang adagium ini, maka yang dilarang hanyalah perpecahan dan pertentangan saja di antara kita.

Jangan mendangkalkan pengetahuan hanya karena hasrat kebencian apalagi hanya karena kepentingan politik yang orientasinya pada kekuasaan semata. “politik dalam bentuk yang paling buruk adalah perebutan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri ( politics at its worst is aselfish grab for power, glory and riches).”-peter merkl- 

Selanjutnya saya coba mengutip dari catatan harian Ahmad Wahib yang terkenal dengan judul pergolakan pemikiran islam. “meski kita mengatakan diri sebagai penganut islam, belum tentu bahwa pemikiran kita telah berjalan sesuai dengan islam.”

Tentang Penulis: Wafi, adalah Intelektual dan Pemikir peradaban Islam.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article