Oleh : Herry Santoso
jfID – Inggris Ngamuk membombardir Surabaya baik lewat laut, darat, dan udara tetapi tak pernah bikin remuk semangat arek-arek Surabaya !
Perbandingan jumlah pejuang Surabaya dengan pasukan Sekutu mencapai empat banding satu. Namun, jumlah korban Indonesia mencapai 5 persen dari keseluruhan pejuang, sedangkan Inggris “hanya” kehilangan 1 persen tentaranya. Tetapi, dalam angka 1 persen itu sudah termasuk dua orang jenderalnya yang terkenal pongah.
Sejak tiba mendarat Surabaya, prajurit-prajurit Sekutu dari Brigade 49 begitu tinggi semangat dan percaya dirinya. Hal itu lantaran ia membawa serta Brigade Gurkha, dan SAS sebagai resimen elitnya.
Mereka baru saja mengalahkan pasukan Jepang, dari pertempuran Birma sampai Semenanjung Malaya.
Wajar jika, Brigjen Mallaby terima telegram dari Winston Churchill, PM Inggris, “How long it took to conquer Surabaya, General ?” (Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menakhlukkan Surabaya, Jenjeral ? ). Dengan pongahnya Mallaby menjawab sangat mencengangkan, “My estimed is no more than sex, Sir,” ( Menurut perkiraan saya tidak lebih butuh enam jam, Tuan).
Tetapi atas semangat arek-arek Surabaya yang tak sejengkal pun rela tanah tumpah darahnya dikuasai, tentara Inggris dan Nica, terseok-seok, selama 23 hari jadi bulan-bulanan arek-arek Surabaya yang cuma *bondho nekad* (bonek) !!
Heroisme 2020
Kini kembali negera dan bangsa tercinta ini diuji oleh “makhluk halus” yang bernana Covid 19.
Makhluk yang tak kasat mata itu ingin menghancurksn dunia, termasuk Indonesia. Pertanyaannya adalah, masih relevankah semangat heroisme 1945 itu diaplikasikan saat ini demi memberantas
Virus corona ?
Betapa Ibu pertiwi bercucuran airmata, melihat kenyataan saban hari ada orang meninggal dunia akibat virus corona. Betapa pula dokter, para medis, dan ilmuwan kewalahan mengatasi pasien Covid 19. Mereka tidak kenal waktu, bahkan tidak tahu masih selamatkah dia esok hari ?
Singsingkan Lengan Baju
Untuk itu, seharusnya kita sadar bahwa saat ini kita teruji kembali semangat persatuan dan kesatuan, solidariritas, kesetiakawanan, bahkan etos gotongroyong kita ?
Lihatkah, kaum dhuhafa, kaum the lower class, kaum cilik, kaum marhaen yang hidup di kolong-kolong jembatan, di bantaran kali, di gerbong kereta api, dengan menggantungkan nasib dari mengorek-korek sampah, kuli angkut, ojol, atau buruh cuci, dan banyak lagi. Mereka seharian belum tentu kenyang, atau berangkat tidur tanpa perut keroncongan. Jangankan untuk beli masker Rp 10.000,- / biji, untuk makan nasi sayur kangkung pun belum tentu terpenuhi.
Lain halnya dengan orang kaya, orang berkecukupan, bebas keluar-masuk toko swalayan, mall, atau restoran bergengsi, menggunakan kartu kredit, atau uang elektronik lainnya.
Mereka tidak peduli terhadap kaum pejuang dan suhada yang harus menyelamatkan ribuan manusia dari keganasan Covid 19. Orang mampu puas selagi ia bisa pamer baju, pamer mobil, pamer eksistensi, dan pamer jatidiri.
Di mana heroisme Surabaya 1945 dulu, di mana semangat Bandung Lautan Api itu, atau Hampir Malam di Jogja, atau Palagan Ambara ? Terakhir di mana letak-letak relevansi narasi keimanan yang kerap membordir postingannya di media sosial dengan aksi konkretnya.
Saya khawatir, gen pahlawan itu telah pergi, telah mati, karena idividualistik, konsumerisme, dan westernisasi.
Sekaligus saya khawatir gen semangat gotong royong itu juga mati lantaran demokratisi, politisasi, atau dimangsa kaum borjuisme, feodalisne, dan liberalisme sejati.
Semoga tulisan sederhana ini mampu melecut kembali Semangat Surabaya 1945 ataupun apa namanya, dalam membangun kebersamaan melawan Covid 19. Mari kita mulai sekarang, atau esok, atau lusa, atau memang menunggu lonceng kematian berdentang di padang Kurusetra tanpa perlawanan ?? Naudzubillah….***