Bunuh Diri Jurnalis

Rasyiqi By Rasyiqi - Writer, Saintific Enthusiast
4 Min Read
Gambar Ilustrasi Bunuh Diri (Foto: Shutertock.com)
Gambar Ilustrasi Bunuh Diri (Foto: Shutertock.com)

Kritik Pemikiran Jurnalisme Ma’rifatullah

Tulisan Jurnalisme Ma’rifatullah bagi saya membuka ruang diskusi baru, dimana saat ini jarang jurnalis yang berani mengkritik dirinya sendiri. Minimal mengkritik medianya sendiri.

Era digital, dunia seperti dilipat, banyak media baru tumbuh dan tumbang. Jurnalis ditantang untuk beradaptasi dengan perubahan, juga medianya, tapi ia tidak sekedar menjadi pemburu berita, pekerja, tapi lebih dari sekedar itu untuk tidak melupakan kebenaran.

Jurnalisme modern telah menyebabkan dosa-dosa dan hampa terhadap perasaan (dehumanisasi), ia bersemayam dalam frame dosa-dosa kapitalisme dan imperialisme yang belum bisa lepas dari watak eksploitasinya. Ketahuilah bahwa media sedang memainkan peran penting dalam perubahan masyarakat. Jurnalis (dan juga media) seringkali hanya memberitakan pengungkapan masalah, tanpa peduli dalam pemecahan masalah.

Ad image

Banyaknya media, tidak menghasilkan perubahan apa-apa dan semakin regresif. Pemberitaan di media justru lebih fokus pada individu bukan kritik terhadap sistem secara utuh. Media tidak mampu menjalankan fungsi sebagai social control.

Jurnalis tidak membangun loyalitas kepada perusahaan pers, tapi kepada publik. Artinya perusahaan pers sebagai forum publik, dimana wartawan dengan pemberitaannya, membuka ruang bagi pembaca untuk berkomentar, memperkaya informasi, menyampaikan hak jawab, atau bahkan koreksi sambil menjadi watchdog yang mengkritisi kebijakan pemerintah dan perilaku masyarakat.

Jurnalisme sufistik belajar dari premis bahwa pers adalah cermin tingkat kematangan dan kedewasaan politik. Kita tidak menganut “jazz journalism” yang hanya mengolah berita sensasional, bukan
“adversary jounalism” yang senang menentang kebijaksanaan pemerintah, bukan pula “government-say-so journalism” yang hanya memberitakan apa saja yang
dikatakan pemerintah, bukan pula “checkbook jounalism” yang untuk memperoleh bahan berita memberi imbalan kepada sumber berita, pun bukan “alcohol
journalism” yang tidak menghormati “privacy” seseorang.

Sikap sebagai seorang jurnalis yang independen saatnya ditunjukkan dengan jelas. News value sebagai perioritas utama yang harus dikejar. Tugasnya, membangun masyarakat. Sebagai pilihan, apakah anda ingin menjadi pers masyarakat atau menjadi pers pemerintah?.

Perusahaan pers harus menyiapkan iklim yang suci dari kepentingan selain profesionalitas bisnis. Perusahaan pers didirikan bukan untuk menjadi lintah yang justru menggerogoti independensi pers dan jurnalis itu sendiri, dan ini memang sulit. Karena untuk menerapkan jurnalisme sufistik, tidak hanya bicara kewajiban dan larangan. Tapi meninggalkan yang tidak penting, memutus hubungan yang hanya akan menghambat/menghalangi antara mereka dengan apa yang diinginkan dan dituju. Sebab yang dituju tidak lain adalah kebenaran.

Jurnalis membersihkan hatinya, ia dapat dengan jelas merasakan kebenaran melalui nurani dan akalnya. Baik atau buruk, jelas di matanya atau ia sedang berusaha mencari perbedaannya (baik atau buruk). Jurnalis tidak merasa selalu benar, ia merasakan dirinya sebagai pencari kebenaran yang lebih rendah dari kebenaran itu sendiri. Jurnalis juga mengendalikan dirinya sendiri, dan memberi nasihat baik kepada publik dan selalu hati-hati dengan apa yang ditulis (re-check).

Jurnalisme tidak boleh sekedar berlindung dibalik jargon ‘netral’, ‘tidak berpihak’, ‘obyektif’ atau ‘independen’ atau sebagainya. Tidak dapat dipungkiri, banyak media dipengaruhi oleh selera pemiliknya atau redakturnya. Jika mereka mengerti dan bertanggungjawab jawab atas esensi jurnalisme, itu bagus. Tapi jika sebaliknya? alih-alih, media dibangun bukan atas dasar itu. Tapi kepentingan untuk dijadikan ‘alat’ semata.

Tentang Penulis: Rasyiqi, Pendiri jurnalfaktual.id dan menjabat sebagai Redaktur Pelaksana.

Share This Article