Peluit Kereta Selepas Dini Hari

Herry Santoso
7 Min Read
Ilustrasi Peluit perdamaian (gambar: Tribun Jabar)
Ilustrasi Peluit perdamaian (gambar: Tribun Jabar)

Cerpen : Herry Santoso

jfID – WAJAHNYA mengingatkanku pada   Janette Milani si mahabintang dalam  Twilight Was Mired in The Rhine River  (Senja Terperosok di Sungai Rhine). Film box office selama tiga bulan berturut-turut sukses di bioskop Roma, Paris, London, dan New York, dan “sampahnya”  bisa dinikmati di medsos itu. Film itu sukses besar lantaran dukungan bintang jelita blesteran Italy – Swiss mirip perempuan yang duduk di sebelahku…

              ***

Wajahnya oval dengan dagu indah. Matanya selalu berbinar memancarkan aura optimisme yang dalam. Bibirnya sensual setiap kali ia bicara selalu basah, rekah bak buah delima. Lebih-lebih jika tertawa, waow…deretan gigi bak mutiara selalu melengkapi kecantikannya.. 

Palupi. Begitu orang-orang menyebutnya. Wanita yang selalu tampil modis dan trendy itu, awalnya kukenal saat dalam satu kereta yang membawa kami ke Jogja.

“Bapak mau ke Jogja ?” tanyanya terkesan bodoh. Karena siapapun orangnya yang ada di gerbong ini pasti ke Jogja.

“Iya. Anda ?”

“Kita satu tujuan, Pak, ” jawabnya sembari tersenyum. “Mau _sambang_ cucu, ya, Pak ?” lanjutnya sok tahu.

Ini pertanyaan yang paling tidak kusuka. Meskipun usiaku sudah kakek-kakek, tapi itu pertanyaan “menyakitkan” karena aku masih selalu _styles_ gaya kekinian.

“Bisa iya, bisa tidak, Non !” jawabku sekenanya.

“Nyonya, Pak, bukan Nona. Usiaku sudah 45, lho, “

“Oh, iya ?” aku tercengang.

“Dikira berapa sih, Pak ?”

“Dua-lima.”

“Heheeee….” ia terkekeh.

“Kok ketawa ? ” sergahku,  “Aku bicara apa adanya dan….”

“Dan sekarang balik kutanya,  usia Bapak berapa, ayo ?”

“Enam dua, tapi aku masih merasa  empat dua, hahaa…” aku mencoba melucu.

“Tapi meski usia Bapak segitu, tampak masih keren, kok.  Sungguh !” ucapnya lagi yang membuatku benar-benar besar kepala bahkan ada riak kecil  melecut di dada. 

“Anda, eh…”

“Namaku Palupi, Pak. Bukan Anda.  Panjangnya Dian Tri Palupi. “

“Oh iya, sebuah nama yang indah dan bermakna. Anda pasti anak nomor tiga. Ya, kan ?”  tebakku yang membuatnya sejenak tertegun sebelum mengangguk patah-patah.

Kereta terus meluncur merobek rembang petang.  Kulirik Palupi membenarkan krah blusnya agar lebih ke atas.

“Kedinginan, ya, Lup ?”  tanyaku. Bibirnya sedikit pucat dan gemetar.

“I…iya. Saya tidak tahan AC yang terlalu dingin, Pak…” akunya jujur. Bergegas aku menarik tas di atas kepala dan mengeluarkan mantel ekslusif warna hijau toska seraya menawarkannya.

“Bapak penuh perhatian. Bapak baik, sekali…” gumamnya.

“Karena dulu aku juga pernah punya istri.”

“Oh, ya ? Sekarang ?” mata itu lurus menatapku.

“Sudah kedaluwarsa.”

“Maksudnya…?”

“Barangku sudah kedaluwarsa.”

“Hii…Bapak genit, ” ia mencubit pangkal lenganku.

“Maksudku, ibarat barang, aku ini sudah terlalu lawas, sudah kedaluwarsa,  gitu, lho… !”

“Yang lawas itu biasanya justru  branded, aku suka, ” ucapnya tanpa beban yang membuat suasana jadi cair dan familier.

“Kamu, sendiri, ya, Lup ?” 

“Kan sama, Bapak !”

“Heh. Maksudku, mengapa tidak bersama suami ? “

“Suami ? “

“Iya, suami, kamu punya suami, kan ?”

“Eh, pernah, pernah punya, “

“Anak ?”

“Belum pernah.” ia berterus terang.

“Belum pernah ?”

“Iya, kenapa ?”

“Maklumlah…”

“Makkumlah gimana ?”  

“Maklumlah,  kamu tampak cantik sekali. Kamu seksi _bingit,_   dan kamu….” suaraku tersendat ragu. Khawatir ia tersinggung dengan sanjunganku yang sedikit nakal itu.

“Aku kenapa lagi, Pak ?”

“Dan kamu sempat membuatku terpesona. Jujur, aku menyukaimu. Kamu marah jika kukatakan hal ini ke padamu ?” 

“Tidak. Aku merasa tersanjung, Pak…”

” _Alhamdulillah…_   Memangnya kamu tidak malu duduk berdampingan denganku ?” 

“Kenapa harus malu ?”

“Lihatlah, orang di sekeliling kita selalu memandang kemari. Mungkin dalam hati bilang, pasangannya kok laki-laki tua,”

“O,o. Bung Karno saja saat jatuh cinta pada Neoko Nemoto, usia 66 kok. Wanitanya 21. Tapi romantis, penuh cinta kasih,” ucapnya. Aku terkesima dengan  ucapannya itu. 

Malioboro Expres  terus melesat menembus gulita malam. Stasiun Madiun sudah lewat. Kini melaju di double track arah Solo-Balapan. 

Palupi tertidur. Ia tak segan menyandarkan kepalanya di pundakku. Dengan mantel hijau toska yang kuberikan ia tampak lebih cantik. Kubiarkan ia pulas. Permukaan wajahnya terlihat begitu teduh.  Mungkin terasa hangat dengan balutan mantel dan (maaf) dekapan tanganku yang melingkar di bahunya. 

Menjelang Solo-Balapan, Palupi terbangun. Sejenak ia tergagap, begitu menyadari ia tersandar di bahuku. 

“Maaf, ya, Pak…”

“Nggak apa-apa kok,”

“Bapak nggak _sare_ ?”

“Belum, ngantuk. “

“Kenapa ? Karena ada di dekatku ?”

“Bukan,”

“Lalu ?”

“Karena…” suaraku tercekat di kerongkungan, tapi segera kusambung lagi,  “Karena ada imajinasi liar yang merasuki benakku.”

“Tentang apa, Pak ?”

 “Andaikan kamu jadi istriku…” lanjutku jujur.

Palupi tertunduk, seraya mengangkat wajahnya dan menatapku.

“Sungguh ?” katanya.

“Kamu tidak marah ?” balasku.

Ia menggeleng perlahan.

“Andai aku….”

“Andai apa, Pak ?”

“Andaikan aku mencintaimu ?”

Ia tersenyum manis. Manis sekali. Kurengkuh tubuhnya ke arahku. Kupandangi dalam-dalam wajah ayu itu. Palupi nenejamkan matanya ….

Deeett…..! Kami terjingkat. Klakson kereta merobek suasana hati. Palupi tersipu, dan menangkupkan kedua telapak tangannya di wajahnya. Mukanya memerah. Menahan geli…***

___________________

Kediri, 13 November 2019

Tentang Penulis: Herry Santoso, Intelektual produktif yang menulis Fiksi dan Non Fiksi.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article