Xi Jinping dan Al-Qur’an Versi China: Upaya Sinifikasi atau Penindasan?

Rasyiqi By Rasyiqi - Writer, Saintific Enthusiast
15 Min Read
- Advertisement -

jfid – Sebagai seorang penyanyi, John Mayer dikenal memiliki suara yang lembut dan melodi yang indah. Salah satu lagu yang populer dari penyanyi asal Amerika Serikat ini adalah “XO”, yang merupakan cover dari lagu Beyoncé.

Dengan menggunakan gitar akustik, John Mayer memberikan sentuhan yang berbeda dari versi aslinya, yang lebih bernuansa pop dan elektronik. Banyak yang mengapresiasi kreativitas John Mayer dalam menginterpretasikan ulang lagu tersebut, meskipun ada juga yang lebih menyukai versi Beyoncé.

Namun, bagaimana jika yang dimodifikasi bukanlah sebuah lagu, melainkan sebuah kitab suci? Bagaimana jika yang melakukan modifikasi bukanlah seorang seniman, melainkan seorang pemimpin negara? Bagaimana jika tujuan modifikasi bukanlah untuk mengekspresikan diri, melainkan untuk menyesuaikan dengan ideologi tertentu?

Inilah yang dilaporkan akan dilakukan oleh Presiden China, Xi Jinping, terhadap Al-Qur’an, kitab suci umat Islam. Menurut beberapa sumber, pemerintah China berencana untuk membuat Al-Qur’an versi China, yang menggabungkan nilai-nilai Islam dan Konfusianisme, ajaran filsafat yang berkembang di China sejak zaman kuno. Rencana ini merupakan bagian dari proyek sinifikasi agama, yang bertujuan untuk membuat agama-agama yang ada di China sesuai dengan sosialisme dan budaya China .

Ad image

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan sinifikasi agama? Apa alasan di balik rencana modifikasi Al-Qur’an? Apa dampaknya bagi umat Islam di China, khususnya di Xinjiang, wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Islam? Dan apa tanggapan dari dunia internasional terhadap isu ini?

Sinifikasi Agama: Sejarah dan Konteks

Sinifikasi agama adalah proses adaptasi agama-agama asing ke dalam konteks sosial, budaya, dan politik China. Proses ini bukanlah hal yang baru, melainkan telah terjadi sejak berabad-abad yang lalu, ketika agama-agama seperti Buddha, Tao, Kristen, dan Islam masuk ke China melalui jalur perdagangan dan diplomasi.

Salah satu contoh sinifikasi agama yang paling terkenal adalah Buddhisme, yang berasal dari India. Ketika Buddhisme menyebar ke China, ajaran-ajarannya mengalami berbagai penyesuaian dengan budaya dan filsafat China, seperti Taoisme dan Konfusianisme.

Misalnya, konsep nirwana dalam Buddhisme diinterpretasikan sebagai kesatuan dengan Tao, prinsip kosmik yang menjadi dasar Taoisme. Selain itu, Buddhisme juga mengadopsi beberapa praktik ritual, simbol, dan legenda dari tradisi lokal China.

Sinifikasi agama juga terjadi pada agama Kristen, yang pertama kali dibawa oleh para misionaris Katolik dari Eropa pada abad ke-16. Salah satu tokoh yang berperan dalam proses ini adalah Matteo Ricci, seorang Yesuit Italia yang belajar bahasa dan budaya China.

Ricci berusaha untuk menemukan titik temu antara Kristen dan Konfusianisme, dan menganggap bahwa Konfusius adalah seorang nabi yang mendapat wahyu dari Tuhan. Ricci juga mengizinkan para penganut Kristen di China untuk tetap melakukan ritual penghormatan kepada leluhur, yang merupakan bagian penting dari Konfusianisme.

Namun, sinifikasi agama tidak selalu berjalan mulus dan harmonis. Terkadang, terjadi konflik dan pertentangan antara agama-agama yang berbeda, atau antara agama dan negara. Sejarah China penuh dengan contoh-contoh perang saudara, pemberontakan, dan revolusi yang dipicu oleh faktor agama, seperti Perang Salib Tiongkok (1644-1662), Pemberontakan Taiping (1850-1864), dan Revolusi Xinhai (1911-1912).

Pada masa Republik Rakyat China yang didirikan pada tahun 1949, pemerintah komunis yang berkuasa mengambil sikap yang represif terhadap agama-agama. Agama dianggap sebagai candu yang membutakan rakyat dan menghalangi kemajuan sosialisme. Banyak tempat ibadah yang ditutup, dihancurkan, atau dijadikan tempat lain.

Banyak pemimpin dan pengikut agama yang ditangkap, ditahan, atau dibunuh. Banyak kitab suci dan artefak agama yang disita, dirusak, atau dibakar. Salah satu periode yang paling kelam adalah Revolusi Kebudayaan (1966-1976), yang dipimpin oleh Mao Zedong, yang bertujuan untuk menghapus semua unsur tradisional, borjuis, dan asing dari masyarakat China.

Baru pada akhir tahun 1970-an, setelah kematian Mao dan berakhirnya Revolusi Kebudayaan, pemerintah China mulai memberikan kelonggaran terhadap agama-agama. Pada tahun 1978, Konstitusi China mengakui kebebasan beragama sebagai hak asasi manusia, meskipun dengan batasan-batasan tertentu.

Pada tahun 1982, Dewan Negara China membentuk Administrasi Urusan Agama, yang bertugas untuk mengawasi dan mengatur aktivitas agama di China. Pada tahun 1986, Undang-Undang Perlindungan Kebebasan Beragama di China disahkan, yang memberikan jaminan hukum bagi warga China untuk memeluk dan menjalankan agama sesuai dengan keyakinan mereka.

Namun, kebijakan pemerintah China terhadap agama-agama tetap bersifat ambivalen dan pragmatis. Di satu sisi, pemerintah China mengakui peran positif agama dalam membangun moral, stabilitas, dan harmoni sosial. Di sisi lain, pemerintah China juga khawatir akan potensi negatif agama dalam menimbulkan konflik, separatisme, dan ekstremisme. Oleh karena itu, pemerintah China berusaha untuk mengendalikan dan membimbing agama-agama agar sesuai dengan kepentingan nasional dan ideologi sosialisme.

Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah China untuk mencapai tujuan ini adalah dengan melakukan sinifikasi agama, yang didefinisikan sebagai “proses pembauran agama dengan budaya China, khususnya dengan nilai-nilai inti sosialisme”.

Sinifikasi agama dianggap sebagai strategi untuk mengatasi “masalah asing” yang dihadapi oleh agama-agama di China, yang sering dianggap sebagai produk impor yang tidak cocok dengan kondisi lokal China.

Sinifikasi agama menjadi salah satu prioritas utama dari pemerintahan Xi Jinping, yang naik ke tampuk kekuasaan pada tahun 2012. Pada tahun 2015, Xi Jinping menyampaikan pidato penting tentang sinifikasi agama dalam Konferensi Kerja Agama Nasional, yang dihadiri oleh para pejabat tinggi negara dan partai, serta para pemimpin agama.

Dalam pidatonya, Xi Jinping menekankan bahwa sinifikasi agama adalah “tuntutan yang tak terelakkan dari perkembangan agama di China”, dan bahwa “kita harus memandu agama untuk beradaptasi dengan masyarakat sosialis”. Xi Jinping juga mengingatkan bahwa “kita harus waspada terhadap upaya-upaya asing untuk menginfiltrasi agama di China, dan menolak pengaruh ideologi ekstrem”.

Sejak pidato tersebut, pemerintah China telah mengeluarkan berbagai kebijakan, regulasi, dan program untuk mendorong sinifikasi agama. Beberapa langkah yang diambil antara lain adalah:

Membentuk komite sinifikasi agama untuk masing-masing agama resmi yang diakui oleh pemerintah China, yaitu Buddha, Tao, Islam, Katolik, dan Protestan. Komite-komite ini bertugas untuk merumuskan rencan dan pedoman untuk melaksanakan sinifikasi agama sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masing-masing agama.

Menerbitkan dokumen-dokumen resmi yang menjelaskan visi, misi, dan tujuan sinifikasi agama, serta memberikan contoh-contoh praktis dan konkret dari sinifikasi agama. Misalnya, pada tahun 2018, pemerintah China menerbitkan “Rencana Lima Tahun untuk Sinifikasi Agama Buddha dan Tao (2018-2022)”, yang mencakup berbagai aspek seperti doktrin, organisasi, pendidikan, budaya, dan karya sosial.

Mengadakan berbagai kegiatan dan acara untuk mempromosikan dan mendukung sinifikasi agama, seperti seminar, konferensi, lokakarya, pameran, festival, dan kompetisi. Misalnya, pada tahun 2019, pemerintah China mengadakan “Festival Budaya Islam China”, yang menampilkan berbagai karya seni, musik, tari, dan kuliner yang mencerminkan integrasi antara Islam dan budaya China.

Membangun dan merenovasi tempat-tempat ibadah agar sesuai dengan gaya arsitektur dan estetika China, serta memasang simbol-simbol nasional dan partai, seperti bendera, lambang, dan slogan, di tempat-tempat ibadah. Misalnya, pada tahun 2019, pemerintah China merenovasi Masjid Niujie, masjid tertua di Beijing, dengan menambahkan elemen-elemen seperti atap bergaya Cina, pilar merah, dan lentera.

Mendorong dan memfasilitasi dialog dan kerjasama antara agama-agama yang berbeda, serta antara agama dan negara, untuk menciptakan suasana yang harmonis, toleran, dan inklusif. Misalnya, pada tahun 2019, pemerintah China mengadakan “Konferensi Dialog Antaragama Dunia”, yang dihadiri oleh lebih dari 200 tokoh agama dari berbagai negara, yang membahas topik-topik seperti perdamaian, pembangunan, dan keragaman.

Al-Qur’an Versi China: Motivasi dan Implikasi

Salah satu agama yang menjadi sasaran utama dari sinifikasi agama adalah Islam, yang memiliki sekitar 20 juta pengikut di China, terutama di wilayah Xinjiang, Ningxia, Gansu, Qinghai, dan Yunnan. Islam masuk ke China sejak abad ke-7, melalui para pedagang, utusan, dan tentara yang berasal dari Timur Tengah, Asia Tengah, dan Asia Selatan. Islam juga mengalami proses sinifikasi seiring dengan waktu, seperti terlihat dari berbagai aliran, sekte, dan tradisi yang berkembang di China, seperti Hui, Uighur, Salar, Dongxiang, dan Bao’an.

Namun, Islam juga menghadapi berbagai tantangan dan tekanan di China, baik dari dalam maupun dari luar. Dari dalam, Islam mengalami krisis identitas, otoritas, dan kesatuan, akibat dari perbedaan etnis, bahasa, budaya, dan politik antara kelompok-kelompok Muslim di China. Dari luar, Islam mengalami diskriminasi, marginalisasi, dan penindasan, akibat dari persepsi negatif, ketakutan, dan kecurigaan terhadap Islam sebagai agama yang asing, radikal, dan berbahaya.

Pemerintah China, di bawah kepemimpinan Xi Jinping, berusaha untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi oleh Islam di China dengan cara melakukan sinifikasi agama. Salah satu langkah yang diambil adalah dengan membentuk “Komite Sinifikasi Agama Islam” pada tahun 2017, yang terdiri dari para ulama, cendekiawan, dan pejabat Muslim yang loyal terhadap pemerintah China. Komite ini bertugas untuk merumuskan rencana dan pedoman untuk melaksanakan sinifikasi Islam di China, termasuk dalam hal doktrin, organisasi, pendidikan, budaya, dan karya sosial.

Salah satu aspek yang menjadi fokus dari komite ini adalah Al-Qur’an, kitab suci umat Islam, yang dianggap sebagai sumber utama dari ajaran dan hukum Islam. Menurut beberapa laporan, komite ini berencana untuk membuat Al-Qur’an versi China, yang akan menggabungkan nilai-nilai Islam dan Konfusianisme, serta menghapus atau mengubah ayat-ayat yang dianggap bertentangan dengan ideologi sosialisme dan kepentingan nasional China .

Rencana ini didasarkan pada beberapa motivasi, antara lain:

Meningkatkan pemahaman dan penerimaan terhadap Islam di kalangan masyarakat China, yang mayoritas beragama Buddha atau tidak beragama, dengan menunjukkan kesamaan dan kesesuaian antara Islam dan budaya China, khususnya Konfusianisme, yang dianggap sebagai inti dari identitas nasional China.

Mencegah dan mengatasi masalah-masalah yang timbul akibat dari pengaruh asing, terutama dari Timur Tengah, yang dianggap sebagai sumber dari radikalisme, ekstremisme, dan terorisme, yang mengancam stabilitas dan keamanan China, khususnya di wilayah Xinjiang, yang sering mengalami konflik dan kekerasan antara kelompok etnis Uighur dan Han.

Membangun dan memperkuat loyalitas dan ketaatan terhadap pemerintah dan partai, yang dianggap sebagai penjaga dan pelindung kepentingan rakyat China, termasuk umat Islam, dengan menekankan bahwa agama adalah urusan pribadi yang tidak boleh mengganggu atau bertentangan dengan urusan negara dan sosialisme.

Namun, rencana ini juga menimbulkan berbagai implikasi, antara lain:

Menyebabkan kontroversi dan kecaman dari umat Islam, baik di dalam maupun di luar China, yang menganggap bahwa Al-Qur’an adalah firman Allah yang tidak boleh diubah atau dimodifikasi oleh manusia, apalagi oleh pemerintah yang tidak berwenang dan tidak berkompeten dalam hal agama .

Menyebabkan ketegangan dan konflik antara pemerintah dan umat Islam, khususnya di wilayah Xinjiang, yang merasa bahwa hak dan kebebasan mereka untuk menjalankan agama sesuai dengan keyakinan mereka terancam dan terbatas oleh kebijakan-kebijakan represif dan diskriminatif dari pemerintah, seperti larangan berpuasa, berjilbab, berdoa, dan belajar Al-Qur’an .

Menyebabkan kritik dan protes dari dunia internasional, terutama dari negara-negara Barat dan Islam, yang menganggap bahwa pemerintah China melanggar hak asasi manusia dan kebebasan beragama, serta melakukan pelanggaran berat terhadap minoritas Muslim di China, seperti penahanan massal, penyiksaan, pemaksaan kerja, sterilisasi, dan genosida budaya .

Kesimpulan

Sinifikasi agama adalah proses adaptasi agama-agama asing ke dalam konteks sosial, budaya, dan politik China, yang telah terjadi sejak berabad-abad yang lalu, dan menjadi salah satu prioritas utama dari pemerintahan Xi Jinping. Salah satu agama yang menjadi sasaran utama dari sinifikasi agama adalah Islam, yang memiliki sekitar 20 juta pengikut di China, terutama di wilayah Xinjiang.

Salah satu langkah yang dilaporkan akan dilakukan oleh pemerintah China dalam rangka sinifikasi Islam adalah membuat Al-Qur’an versi China, yang akan menggabungkan nilai-nilai Islam dan Konfusianisme, serta menghapus atau mengubah ayat-ayat yang dianggap bertentangan dengan ideologi sosialisme dan kepentingan nasional China.

- Advertisement -
Share This Article