Sekda Halmahera Timur dalam Perintah Perjalanan Dinas yang Berimplikasi Korupsi

Rasyiqi
By Rasyiqi
8 Min Read

Abdurrahman Kelliobas, Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Mataram dan Masyarakat Halmahera Timur.

jfId – Analisis permasalahan penyalahgunaan wewenang dalam perintah perjalanan dinas yang berimplikasi korupsi di Daerah Halmahera Timur yang di duga melibatkan Sekretariat Daerah Halmahera Timur.

Isu hukum yang muncul dalam penelitian ini meliputi: kriteria penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi dana SPPD Fiktif, apakah penggunaan surat perintah perjalanan dinas dapat dikategorikan penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi.

Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa: 1) Kriteria Penyalahgunaan Wewenang dalam Tindak Pidana Korupsi tetap mengacu pada konsep Penyalahgunaan wewenang dalam hukum Administrasi, dan konsep penyalahgunaan wewenang dalam Tindak Pidana.

2) Penggunaan Surat Perintah Perjalanan Dinas dapat dikategorikan Penyalahgunaan Wewenang dalam Tindak Pidana Korupsi Apabila Pejabat pergi tetapi tidak di Tempat Tujuan, Pejabat pergi tetapi tidak sesuai dengan Surat Perintah Tugas dan Pejabat Tidak Pergi tetapi uang Perjalanan Dinas diambil. Tindakan pejabat tersebut telah memenuhi unsur penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Penanganan kasus dugaan korupsi dana Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif senilai Rp 1,5 miliar di Bagian Umum dan Perlengkapan Sekretaris Daerah (Setda) Kabupaten Halmahera Timur (Haltim) tahun anggaran 2016. Berdasarkan hasil audit BPK RI yang dinyatakan ada potensi kerugian negara.

Ditambah, sejumlah keterangan dan bukti yang menguatkan dugaan pidana korupsi yang di duga melibatkan sekda Moh. Abdu Nazar Sekda Haltim, berupa dukumen administrasi yang sudah terkumpul diproses penyidikan. Tindakan pejabat tersebut telah memenuhi unsur penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Unsur penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi sebagaimana yang sudah dijelaskan dalam ketentuan pasal 3 Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi selanjutnya disebut UUPTPK yang menyatakan: “Setiap orang yang dengan tujuan untungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00,- (satu miliar rupiah)”.

Penyalahgunaan wewenang dalam perintah perjalanan Dinas dengan sebuah alasan melaksanakan Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) Daerah Halmahera Timur yang di duga melibatkan Sekretariat Daerah Halmahera Timur sering menimbulkan laporan pertanggungjawaban fiktif sehingga tidak sedikit keuangan Negara yang tidak dapat dipertanggung jawabkan karena melekat kewenangan dari yang bersangkutan yang berhubungan dengan perintah tugas dalam melakukan perjalanan Dinas yang berhubungan dengan bidang tugas dan jabatannya.

Namun dalam fakta yang ada, Surat Perintah Perjalanan Dinas tersebut lebih banyak melibatkan para pejabat Kabupaten Daerah Halmahera Timur yang di duga melibatkan Sekretariat Daerah Halmahera Timur.

Apalagi, melibatkan pegawai golongan rendah atau bawahan dalam kaitannya dengan Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) fiktif tidak terlepas dari tugas atasan kepada bawahan yang menyiapkan biaya perjalanan dinas dalam hal ini jabatan Sekda dan bendahara daerah yang pengeluaran, menyiapkan surat perintah membayar, menyiapkan surat perintah tugas (SPT), menyiapkan dokumen pertanggungjawaban berupa boarding pas dan lain-lain.

Salah satu kasus yang terjadi di Kabupaten Halmahera Timur yang di duga melibatkan Sekretariat Daerah Halmahera Timur, adalah perbuatan penyalahgunaan wewenang dalam perintah perjalanan Dinas yang berimplikasi korupsi yang berhubungan Laporan Pertanggungjawaban Biaya Perjalanan Dinas Luar Daerah Sekretaris Daerah Moh. Abdu Nazar Sekda Haltim, yang di duga pidana korupsi SPPD Fiktif.

Ketentuan Pasal 15 Undang – Undang Administrasi Pemerintahan bahwa penggunaan Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) dapat dikategorikan penyalahgunaan wewenang dalam Tindak Pidana Korupsi. Sesuai juga dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2014 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2015 bahwa Standar Satuan Harga perjalanan dinas pedoman besaran satuan biaya yang berlaku dalam APBN.

Pertanggungjawaban perjalanan dinas dengan sistem at cost dapat menekan beban APBN pada belanja perjalanan. Peraturan Menteri Keuangan menggabungkan metode at cost dan lumpsum sejak tahun 2007, dan telah beberapa kali dilakukan revisi terhadap peraturan perjalanan dinas.

Dalam pelaksanaannya, ternyata terdapat banyak kasus perjalanan dinas yang tidak mudah dibuat penyelesaiannya karena tidak terakomodir oleh peraturan. Perjalanan dinas memiliki kompleksitas yang berbeda tiap instansi. Tidak sekedar bergerak dari satu posisi ke posisi yang lain, kemudian dibayar tiket biaya-biaya transportasinya dan seterusnya.

Untuk itu Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 113/PMK.05/2012 tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap dan sebagai tindak lanjutnya Direktur Jenderal Perbendaharaan menerbitkan Peraturan Dirjen Nomor Per-22/PB/2013.

Ada terjadi kesalahan prosedur dalam melaksanakan Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) di Halmahera Timur tahun 2016 itu, misalnya tidak mendapat persetujuan pejabat yang berwenang melalui saluran hirarkis yang dilengkapi dengan alasan yang mencakup tujuan hasil yang akan dicapai, dan ketersediaan anggaran.

Atas dasar tersebut, dalam hal usul sebagaimana dimaksud disetujui oleh pejabat Sekda Halmahera Timur menerbitkan surat tugas, SPPD, dan memerintahkan bendahara pengeluaran untuk keluarkan biaya perjalanan dinas (Surat Permintaan Pembayaran / SPPD).

Jadi sangat jelas, ada dugaan keterlibatan Sekda Halmahera Timur Moh. Abdu Nazar dalam setiap perjalanan dinas dalam negeri wajib yang usulannya itu sangat fiktif. Tentu, dengan dasar itu salinan SPPD dan SPP, Bendahara pengeluaran membayar biaya perjalanan dinas PNS pelaksana perjalanan dinas sebesar 1,2 Miliar sesuai perkiraan biaya perjalanan dinas yang akan dilaksanakan.

Semua pejabat PNS yang melakukan perjalanan dinas yang telah sampai di tempat tujuan tidak memenuhi kewajiban untuk memberikan bukti kunjungan. Bahkan, tidak mendapat bukti tandatangan oleh kepala kantor atau pejabat eselon IV, dan di luar negeri ditandatangani sekurang-kurangnya oleh Bendahara.

Hal-hal yang tak bisa dibuktikan tersebut seperti tiket pesawat, boarding pass, airport tax, bus, taxi, retribusi, dan/atau bukti pembayaran kapal laut dan kereta api. Begitu pun seterusnya, tidak memiliki bukti pembayaran yang sah untuk sewa kendaraan dalam kota berupa kuitansi atau bukti pembayaran lainnya yang dikeluarkan oleh badan usaha yang bergerak di bidang jasa penyewaan kendaraan.

Intinya, seluruh bukti pembayaran hotel atau tempat menginap lainnya dan Laporan hasil perjalanan dinas tidak memiliki kejelasan. Maka karena itu, Sekda Halmahera Timur Moh. Abdu Nazar sudah harus dilimpahkan berkas kasus dugaan korupsinya ke pengadilan, agar masyarakat tidak lama menunggu kepastian hukum untuk keadilan.

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article