Sastra dan Kesadaran Ekologi

Tjahjono Widarmanto
9 Min Read
Gambar Ilustrasi (sumber: pendapatahli.id)
Gambar Ilustrasi (sumber: pendapatahli.id)

jfID – Keselarasan alam dengan manusia sudah terajut sejak lampau, sejak manusia merasa tidak berdaya dengan kekuatan alam sekaligus saat terpesona pada keindahan dan ketergantungannya pada alam. Bahkan, beberapa filosofi dasar keselarasan manusia dengan alam melandasi kebudayaan dan peradaban manusia. Pada masyarakat dan kebudayaan Jawa, keselarasan atau harmoni antara manusia dan alam mendapat tempat yang istimewa.

Masyarakat dan kebudayaan Jawa menunjukkan ada hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam. Alam semesta dan manusia merupakkan satu kesatuan yang disebut kesatuan makrokosmos dan mikrokosmos. Makrokosmos disebut orang Jawa sebagai jagat gedhe (dunia besar) atau alam semesta. Adapun mikrokosmos diistilahkan sebagai jagat cilik (dunia kecil). Antara jagat gedhe dan jagat cilik merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Manusia sebagai jagat cilik terbentuk dari anasir-anasir semesta (jagat gedhe)seperti air, api, tanah, angin, dan sebagainya.

Filosofi Jawa memiliki tiga ruang lingkup yaitu metafisika, epistomologi, dan axiology (Ciptoprawiro, 1986). Metafisika merincikan penggambaran penyatuan Tuhan-manusia-alam. Manusia dalam konsep ini memiliki unsur-unsur ‘kembali’ dan memiliki tugas untuk menciptakan keselarasan ( harmoni) sebagai mahluk sosial dan mahluk Tuhan, sebagai mikrokosmos yang menjadi bagian dari makrokosmos.

Relasi dan harmonisasi antara manusia dan alam ini juga terlukis dalam sastra sebagai salah satu produk kebudayaan manusia. Representasi antara alam dan manusia pun secara luas digunakan dalam bidang kajian sastra yang menitikberatkan pada perhatian perilaku manusia dalam memelihara lingkungannya yang dinyatakan dalam bentuk citra, mitos, gagasan atau konsep yang telah dinarasikan (Barker, 2013). Narasi yang berbentuk citra, mitos, gagasan atau konsep yang dimaksud adalah teks sastra yang merupakan formasi gagasan, baik eksplisit maupun implisit, yang menggambarkan perilaku pelestarian dan pengeksploitasian lingkungan.

Ekokritik merupakan pendekatan telaah sastra yang memfokuskan keterganyutan teks sastra dengan lingkungan. Dengan kata lain, ekokritik mengarah pada studi sastra dan wacana lingkungan, analisis permasalahan alam dan pemeliharaan alam dan cara pandang budaya terhadap alam dengan berpijak pada asumsi dasar bahwa semua teks sastra merupakan produk pemaknaan terhadap fakta sosial dan alam.

Melalui ekokritiklah perspektif ekologi digunakan untuk mendedah karya sastra. Sebuah teks sastra harus merefleksikan semangat zaman (zeitgeist) yang secara hipotetik mempresentasikan nilai kearifan untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Manusia sebagai bagian dari alam harus memandang dirinya sebagai entitas yang sejajar dengan alam, bukan menguasainya atau bahkan mengeksploitasinya. Ekokritik bertujuan mentrasformasi dunia menjadi lebih sehat dan harmonis. Ekokritik mengkaji persoalan ketidakadilan lingkungan (environmental justice) dengan menggayutkannya dengan persoalan politik, ekonomi, gender, ras dan kolonialisme yang menyebabkan ketidakadilan lingkungan. Ketidakadilan merupakan produk struktur politik dan ekonomi yang menyebabkan ekositem tidak seimbang.

Cheryll Glotfelty dalam esainya The Ecocriticsm Reader:Landmarks in Literary Ecology (1996), mengaplikasikan konsep ekologi dalam sastra, menjadikan alam sebagai pusat studi yang mengarah secara luas kepada hubungan sastra dan lingkungan hidup. Dengan memperluas cakrawala pandangan dan ranah kritik sastra, ekokritik mengarahkan literasi kritik menjadi peran sosial dan publik dalam memperhatikan lingkungan alam. Ekokritik dengan melihat perasaan, pandangan, pengalaman, dan  perilaku manusia terhadap lingkungan dalam teks-teks sastra dapat menjadi sarana untuk menelisik praktik manusia dalam mempertahankan dan memelihara lingkungan.

Istilah “ekologi” kali pertama diusulkan oleh Ernest Haeekel, seorang biologiwan bangsa Jerman di tahun 1869. Pada umumnya ekologi didefinisikan sebagai kajian hubungan antara organisme-organisme atau kelompok-kelompok organisme terhadap lingkungannya; atau dengan kata lain, ilmu yang mengkaji hubungan timbal balik antara organisme hidup dengan lingkungannya. 

Ekologi mencakup rangkaian ilmu alam, ilmu sosial, filsafat dan pengetahuan secara menyeluruh. Fokus utama yang dikajinya adalah saling ketergantungan semua mahluk hidup (Croal&Rankin, 1995). Ekologi dapat digunakan untuk melindungi atau mengeksploitasi alam, untuk menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan jika jaringan hidup ingin tetap dijaga utuh atau untuk membenarkan rasisme atau mengacaukan isu dan memunculkan kesenjangan atau dapat pula digunakan untuk mengkritik masyasarakat secara radikal (Buel, 1995). Karena teori ekologi dapat digunakan sebagai alat kritik, maka perjumpaannya dengan teori sastra melahirkan ekokritik.

Ekologi sastra mempertanyakan dan menyoalkan lebih dalam mengenai interaksi manusia dengan alam, seperti polusi, spesies yang punah, identifikasi kerusakan lingkungan dan mengabadikan objektifikasi lingkungan alam. Objektifikasi alam berfungsi sebagai pembenaran untuk eksploitasi dan degradasi yang menyebabkan krisis lingkungan global. Ekologi sastra menantang hierarki  yang telah terpolarisasi manusia. Ekologi sastra melihat bahwa kebutuhan dan keinginan manusia yang seringkali tak terbatas berdampak pada lingkungan dengan sangat menakjubkan. Pemeliharaan lingkungan, perawatan alam dan pengendalian lingkungan tidak secepat populasi manusia yang diikuti dengan laju industrialisasi yang mengeksploitasi alam. Masalah alam dan lingkungannya memerlukan sebuah analisis budaya secara ilmiah karena persoalan tersebut merupakan buah interaksi antara pengetahuan ekologi dan perubahan budayanya. Oleh karena itu Gerrad (2004) berkeyakinan bahwa pentingnya pengetahuan ekologi bukan sekedar untuk melihat harmoni.

Manusia merupakan salah satu entitas di alam semesta. Manusia mempunyai kedudukan yang sama dalam kedudukan di alam semesta. Kelangsungan hidup manusia dan peradabannya tergantung dan terkait erat dengan semua kehidupan di alam semesta. Konsekuensinya, manusia mempunyai tanggung jawab moral secara mutlak terhadap semua kehidupan di alam semesta. Semua kehidupan di alam semesta mempunyai status moral yang sama, oleh karena itu harus dihargai, dijaga dan dilindungi haknya. Arne Naess (1995) mengatakan bahwa kerusakan alam bersumber pada perilaku manusia yang tidak bertanggung jawab, tidak peduli dan egois. Krisis lingkungan hanya bisa diatasi dengan melakukan pembongkaran cara pandang dan perilaku manusia terhadap lingkungannya. Pada sisi inilah ekologi sastra berperan untuk memberikan penyadaran dalam usaha pemeliharaan alam.

Ekologi sastra dengan prinsip-prinsip dasarnya dapat ikut berperan serta dalam memperbaiki segala kerusakan alam yang telah terjadi dan mencegah berulangnya eksploitasi alam. Ekologi sastra mengedepankan penyadaran akan prinsip keseimbangan semua komponen alam. Saat ketimpangan sudah mencapai titik puncaknya, maka alam akan mengatur kembali dirinya pada keseimbangan baru. Proses menuju keseimbangan baru tersebut acap kali menimbulkan perubahan yang drastis dan dianggap bencana bagi manusia.

Bate (2000) menegaskan bahwa ekologi sastra memberi pijakan lima kriteria karya sastra yang memiliki nilai berwawasan lingkungan. Lima kriteria itu, yang pertama, untuk menulis tentang alam harus mempertimbangkan sejauh mana dan bagaimana sebuah teks sastra menggabungkan etos akuntabilitas terhadap alam dan lingkungannya, kedua, mempertimbangkan sejauhmana lingkungan yang direprentasikan dalam teks sastra itu sebagai sebuah proses, bukan sebuah kontanta, tiga, dalam teks sastra itu menampilkan metafora dari ‘budaya’ yang bersumber dari pikiran dan alam sebagai model untuk ilmu pengetahuan dan teknologi; empat, dalam teks sastra tersebut mempresentasikan peran gender dan kelas dalam merespons dan mempengaruhi konteks ekologi dan sosial alam dan lingkungan tempat tinggalnya; dan yang kelima, dalam teks sastra itu harus ada penekanan atau penegasan hubungan yang mengikat antara kesejahteraan manusia dengan alam, sekaligus mengingatkan bahwa eksploitasi alam selalu berkaitan dengan eksploitasi sosial. Berkait kriteria terakhir ini, Roousseu dalam Discourse on the Origins mengingatkan bahwa kemajuan peradaban telah mendominasi alam karena dorongan kesenjangan sosial, alienasi, dan konflik kepentingan penguasa.

Ekokritik maupun ekologi sastra memiliki satu tugas yang sama. Tugas itu adalah melawan wacana Barat yang beranggapan bahwa dunia alam dan manusia terpisah. Dengan kata lain, bahwa gagasan biner dari Barat yang memisahkan manusia dengan alamnya, yang memisahkan makrokosmos dan mikrokosmos, pemisahan jagat gedhe dan jagat cilik adalah gagasan biner destruktif yang merugikan alam dan lingkungan.***

Penulis adalah penyair yang tinggal di Ngawi

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article