jfid – Kasus Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya telah menjadi sorotan utama masyarakat akibat kerugian yang mencapai jumlah yang sangat mencengangkan, yaitu sebesar Rp 106 triliun. Mahkamah Agung (MA) dengan tegas menjatuhkan hukuman 18 tahun penjara kepada bos KSP Indosurya, Henry Surya, atas tuduhan tindak pidana perbankan dan pencucian uang.
Menurut MA, tindakan Henry Surya seakan-akan beroperasi seperti bank konvensional, yang memungkinkannya untuk menghimpun dana sebanyak itu dari masyarakat. Lebih dari itu, Henry Surya juga dinyatakan melakukan pencucian uang dengan mentransfer dana ke dalam 30 perusahaan dan menerima imbalan dari 15 perusahaan lainnya, total mencapai Rp 2,5 triliun.
Korban dalam kasus ini berjumlah tak kurang dari 23.000 individu dengan kerugian yang mencapai jumlah yang mengguncangkan, yaitu Rp 106 triliun. Kasus ini telah mencuri perhatian nasional karena sejarah perbankan di Indonesia belum pernah mencatat kerugian sebesar ini yang dialami oleh masyarakat.
Pemerintah berencana untuk mengajukan banding setelah Pengadilan Negeri Jakarta Barat mengeluarkan vonis terhadap terdakwa Henry Surya dalam kasus penggelapan dana nasabah KSP Indosurya. Seorang praktisi hukum bernama Ahmad Irawan berpendapat bahwa perlu dicari solusi alternatif agar korban Indosurya bisa mendapatkan hak mereka secara efisien dan efektif.
Irawan mengusulkan bahwa jika tindakan KSP Indosurya dianggap sebagai perbuatan perdata, pendekatan yang paling efektif adalah melalui proses kepailitan. Dalam skenario ini, kurator dapat mengambil alih kontrol atas keuangan dan aset KSP Indosurya, lalu mengelola atau memulihkan kerugian yang dialami oleh korban.
Dengan demikian, kasus KSP Indosurya memberikan pelajaran berharga tentang betapa pentingnya perlindungan masyarakat dalam hal pengelolaan dana. Semoga upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan praktisi hukum dapat membantu korban untuk mendapatkan kembali hak-hak mereka.