Standar Kecantikan di Indonesia: Dari Kolonialisme hingga Korea Selatan

Shofiyatul Millah
7 Min Read
- Advertisement -

jfid – Kecantikan adalah hal yang sangat subjektif dan tergantung pada budaya, sejarah, dan preferensi masing-masing individu.

Namun, di Indonesia, tampaknya ada beberapa standar kecantikan yang sering dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal, seperti kolonialisme, globalisasi, dan media.

Bagaimana standar kecantikan di Indonesia terbentuk dan berubah seiring waktu? Apa dampaknya bagi perempuan Indonesia yang memiliki keberagaman fisik yang luar biasa?

Bagaimana cara perempuan Indonesia mencintai diri sendiri tanpa terjebak dalam standar kecantikan yang sempit?

Ad imageAd image

Kulit Putih: Warisan Kolonialisme

Salah satu standar kecantikan yang paling kentara di Indonesia adalah kulit putih.

Banyak produk kecantikan yang menawarkan janji untuk mencerahkan, memutihkan, atau menghilangkan noda hitam pada kulit.

Banyak perempuan Indonesia yang rela mengeluarkan uang dan waktu untuk mendapatkan kulit putih yang diidamkan.

Menurut Dr. Olivia Aldisa, praktisi estetika di Jakarta, standar kecantikan kulit putih ini berasal dari masa kolonialisme Belanda dan Jepang di Indonesia.

“Kulit putih dianggap sebagai simbol status sosial, kekayaan, dan kekuasaan. Orang yang berkulit putih dianggap lebih berpendidikan, beradab, dan berbudaya,” katanya.

Selain itu, kulit putih juga dianggap sebagai tanda keperawanan, kesucian, dan kesetiaan bagi perempuan.

“Orang yang berkulit putih dianggap tidak terpapar sinar matahari, yang berarti tidak bekerja di luar rumah, tidak berselingkuh, dan tidak berdosa,” tambahnya.

Namun, standar kecantikan kulit putih ini sebenarnya tidak sesuai dengan karakteristik kulit orang Indonesia, yang cenderung berwarna sawo matang, kuning langsat, atau cokelat.

“Kulit orang Indonesia punya kelebihan tahan terhadap matahari, tidak gampang freckles, dan bersih,” ujar Aldisa.

Wajah Oriental: Pengaruh Korea Selatan

Standar kecantikan lain yang sedang populer di Indonesia adalah wajah oriental, yang ditandai dengan mata besar, hidung mancung, dan wajah tirus.

Standar kecantikan ini dipengaruhi oleh budaya pop Korea Selatan, yang merajai industri hiburan, fashion, dan kecantikan di Asia.

Banyak perempuan Indonesia yang ingin terlihat seperti bintang-bintang Korea, yang memiliki wajah yang “ideal” dan “sempurna”.

Banyak produk kosmetik yang meniru gaya riasan Korea, seperti cushion, lip tint, dan eyeliner.

Banyak juga perempuan Indonesia yang melakukan operasi plastik untuk mengubah bentuk wajah mereka.

Menurut Aldisa, standar kecantikan wajah oriental ini sebenarnya tidak cocok dengan bentuk wajah orang Indonesia, yang cenderung oval atau hati.

“Bentuk wajah oval atau hati melambangkan feminine. Wajah oriental itu lebih cocok untuk orang Korea, yang memiliki struktur tulang yang berbeda dengan orang Indonesia,” katanya.

Selain itu, standar kecantikan wajah oriental ini juga berpotensi menimbulkan masalah kesehatan dan psikologis bagi perempuan Indonesia.

“Operasi plastik itu berisiko menimbulkan infeksi, komplikasi, dan reaksi alergi. Selain itu, operasi plastik juga bisa menurunkan rasa percaya diri dan harga diri perempuan Indonesia, karena mereka merasa tidak puas dengan diri mereka sendiri,” tuturnya.

Kecantikan Beragam: Gerakan Embrace Yourself

Di tengah maraknya standar kecantikan yang sempit dan tidak realistis, muncul pula gerakan untuk mencintai diri sendiri, embrace yourself, yang mengajak perempuan Indonesia untuk menghargai keberagaman dan keunikan mereka.

Gerakan ini didukung oleh banyak tokoh publik, aktivis, dan komunitas yang bergerak di bidang kecantikan, kesehatan, dan pemberdayaan perempuan.

Salah satu tokoh publik yang menjadi inspirasi bagi gerakan ini adalah Asmara Abigail, seorang aktris dan penari yang dikenal dengan gaya rambut pendek dan kulit gelapnya.

Asmara mengaku tidak pernah merasa minder dengan penampilannya, karena ia percaya bahwa kecantikan adalah hal yang relatif dan tidak bisa diukur dengan standar tertentu.

“Kecantikan itu bukan hanya tentang fisik, tetapi juga tentang kepribadian, kecerdasan, bakat, dan keunikan individu. Kecantikan itu ada di dalam diri kita, bukan di mata orang lain. Kita harus mencintai diri kita apa adanya, tanpa harus meniru atau menyesuaikan diri dengan standar kecantikan yang ada,” katanya.

Selain Asmara, ada juga komunitas seperti Body Positive Indonesia, yang mengkampanyekan kecantikan dalam berbagai bentuk dan ukuran tubuh.

Komunitas ini mengajak perempuan Indonesia untuk tidak terobsesi dengan berat badan, diet, atau olahraga yang berlebihan, tetapi untuk menjaga kesehatan dan keseimbangan tubuh.

Mereka ingin mengubah pandangan masyarakat bahwa tubuh yang cantik itu harus langsing, tinggi, dan proporsional.

Padahal, tubuh yang cantik itu adalah tubuh yang sehat, nyaman, dan bahagia. Kita ingin menghapus stigma dan diskriminasi terhadap perempuan yang memiliki tubuh yang berbeda dengan standar kecantikan yang ada.

Kesimpulan

Standar kecantikan di Indonesia adalah hal yang dinamis dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kolonialisme, globalisasi, dan media.

Namun, standar kecantikan ini sering kali tidak sesuai dengan karakteristik fisik orang Indonesia, dan bisa menimbulkan dampak negatif bagi perempuan Indonesia, seperti rendahnya rasa percaya diri, harga diri, dan kesehatan.

Oleh karena itu, perempuan Indonesia perlu menyadari bahwa kecantikan adalah hal yang sangat subjektif dan terletak pada mata orang yang melihat.

Setiap individu memiliki keunikan dan kecantikan yang berbeda, seperti sidik jari yang tidak ada yang sama. Tidak ada standar kecantikan yang benar-benar objektif atau “sempurna”.

Perempuan Indonesia perlu mencintai diri sendiri dan menghargai keberagaman dan keindahan dalam berbagai bentuk dan warna.

Perempuan Indonesia perlu mengembangkan potensi dan kualitas diri mereka, tanpa harus terjebak dalam standar kecantikan yang sempit.

Perempuan Indonesia perlu bersikap positif dan percaya diri dengan penampilan mereka, tanpa harus meniru atau menyesuaikan diri dengan standar kecantikan yang ada.

- Advertisement -
Share This Article