Etika Politik

Tjahjono Widarmanto
5 Min Read
Gambar Ilustrasi (istimewa)
Gambar Ilustrasi (istimewa)

jfId – Selama ini ada anggapan bahwa politik itu adalah jahat, politik itu kotor, politik itu tipu-menipu, politik itu suap-menyuap. Anggapan ini tidak selamanya salah. Karena dalam realitanya, jagat politik kita memang dipenuhi dengan luapan ambisi syahwat politik yang tak terbendung dan tak terkendali. Kehidupan politik kita tak lebih dari lalulintas ujaran kebencian, makian dan fitnah yang lalu-lalang dalam kehidupan kita.


Sungguh pun demikian, politik sebenarnya sebuah upaya untuk mengelola bagaimana meraih kekuasaan dengan ‘terhormat’ dan bagaimana menjalankan kekuasaan tersebut untuk kemaslahatan hidup bersama. Kekuasaan melalui jalan politik sebenarnya merupakan berkah karena itu harus dikelola untuk kebaikan bersama. Pada kondisi ideal itulah kekuasaan menjadi sebuah amanah untuk mewujudkan kesejahteraan. Kekuasaan tak hanya berhenti pada ‘menguasai’, namun lebih ke kedalaman untuk membangun marwah dan kesejahteraan.


Keinginan ideal dalam aktivitas berpolitik tak selamanya membuahkan sesuatu yang ideal pula. Politik melahirkan proses menyusun distribusi posisi dan pemerolehan kekuasaan. Tak semuanya berhasil menempati posisi, tak semuanya mendapatkan kursi kuasa. Keterbatasan ini melahirkan ketidakpuasan, persaingan, rebut-merebut, sikat-menyikat, desak-mendesak, konflik yang makin meruncing, dan pada akhirnya ‘saling meniadakan’.
Maka yang terjadi adalah sebuah realitas yang tidak ideal. Negara pun berada dalam sebuah ketegangan yang nyaris tak berujung. Risiko berbenturan begitu nyata hingga melahirkan posisi dan kuasa begitu anarki tak terkendali. Ujung-ujungnya suksesi menjadi ‘ancaman, terselubung bagi negara.


Sejatinya, politik adalah menciptakan sesuatu yang ‘ideal’. Yang ideal itu tentulah yang mulia, sehingga politik sebenarnya memiliki etika. Sejarah kebudayaan kita telah mencatat bahwa sebenarnya perilaku politik seharusnya berada dalam koridor ‘kebaikan’.


Nuruddin ar –Raniri, pujangga Aceh, dalam Kitab Bustanul Salatin, di abad ke-17, dalam bab ketiga, jelas-jelas memaparkan bahwa kekuasaan harus disertai dengan perilaku sosial yang positif. Satra Melayu lainnya, Taj us-Salatin (Mahkota Raja-Raja) sebuah mahakarya sastra Melayu yang dikarang oleh Bukhari al-Jauhari (1630) merupakan sebuah kitab panduan untuk memimpin yang menekankan perilaku positif dalam mengelola kuasa.


Di Jawa, ada kitab serupa berjudul Serat Wulangreh yang dianggit oleh Pakubuwana IV, yang tegas-tegas menunjukan perilaku positif yang harus dipunyai oleh mereka yang memiliki posisi kuasa. Serat Wulangreh ini secara tersirat menyimpan kecemasan dan kekhawatiran atas hasrat yang berkelebihan terhadap kekuasaan. Oleh sebab itu Wulangreh tak jemu-jemunya mengulang laku berpolitik yang hati-hati, ketaatan agama untuk menjadi rem pemenuhan segala ambisi kuasa, dan kehormatan terhadap orang tua dan manusia lain yang pada akhirnya melahirkan tepaslira dan toleransi kepada manusia lain, bahkan yang paling liyan. Ajaran yang serupa pun bisa kita amati dalam Tantri Kamandaka, Kakawin Ramayana, dan Kakawin Gajah Mada
Baik Wulangreh, Taj us-Salatin, Bustanul Salatin dan kitab-kitab tersebut di atas, sebenarnya secara tersirat juga mengekspresikan sebuah kecemasan. Kecemasan bahwa politik sebagai sebuah proses perebutan dan distribusi kekuasaan dan posisi bisa tergelincir pada situasi yang destruktif. Situasi destruktif ini terjadi, saat politik berada dalam disensus bukan konsesus. Politik yang mengubah konsesus menjadi disensus inilah yang disebut Ranciere sebagai la police yaitu situasi ketika kuasa memberikan kungkungan, memberi kemungkinan untuk mempertahankan posisi kuasanya dengan segala macam cara juga pihak pengincar kuasa untuk mereditribusi segala posisi kuasa.


Politik memang selamanya selaku bermuka dua. Di satu sisi, politik kebutuhan untuk menata kesejahteraan bersama, di wajahnya yang lain menampakan wajah yang seram dengan sarat ambisi untuk menguasai yang lain. Tugas setiap pelaku politik adalah selalu menciptakan keseimbangan dua muka ini. Mungkin seperti diimpikan oleh Alfarabi bahwa manusia harus berada dalam sebuah perjamuan yang mengandung kepahitan sekaligus madu. Madu yang bisa mengobati kepahitan.


Untuk menciptakan keseimbangan itu maka mau tak mau etikalah yang menjadi pedoman. Etika sebagai suatu wadah bagi setiap nilai-nilai yang universal yang harus diakui bersama dan harus diciptakan bersama. Saat seseorang berperilaku politik dengan bingkai etika maka diharapkan penampakan wajah politik yang seram nan jahat dapat diurai dan sebagai gantinya muncul suatu kebutuhan bersama bahwa politik diperlukan sebagai bingkai untuk mewujudkan kesejahteraan dalam kebersamaan, persatuan, dan kesetaraan. Itu artinya politik tak Cuma tipu-menipu, suap-menyuap, sikut-menyikut, dan fitnah-mefitnah. Politik adalah kepercayaan untuk mencari yang terbaik untuk kemashalatan umat, tak sekedar berhenti pada hasrat memeluk kekuasaan!
Semoga***

*Ikuti jfid di Google News, Klik Disini.
*Segala sanggahan, kritik, saran dan koreksi atau punya opini sendiri?, kirim ke email [email protected]

Share This Article