Serangan Paris November 2015: Apakah Dunia Masih Peduli dengan Korban Terorisme?

ZAJ
By ZAJ - SEO Expert | AI Enthusiast
11 Min Read
- Advertisement -

jfid – Enam tahun lalu, pada malam 13 November 2015, Paris, ibu kota Perancis, diguncang oleh serangkaian serangan teroris yang menewaskan 130 orang dan melukai lebih dari 350 orang. Serangan ini merupakan aksi terorisme paling mematikan yang pernah terjadi di Perancis sejak Perang Dunia II, dan di Uni Eropa sejak bom kereta api Madrid tahun 2004.

Serangan ini dilakukan oleh tujuh militan yang mengaku berafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Syam (NIIS), sebuah kelompok ekstremis yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di wilayah Suriah dan Irak. Para pelaku menggunakan senapan serbu AK-47, granat, dan sabuk peledak untuk menyerang berbagai lokasi yang ramai dikunjungi oleh warga sipil, seperti stadion sepak bola, teater konser, restoran, dan bar.

Serangan ini menimbulkan reaksi keras dari dunia internasional, terutama dari negara-negara yang terlibat dalam koalisi militer untuk melawan NIIS di Suriah dan Irak. Presiden Perancis saat itu, Francois Hollande, menyebut serangan ini sebagai “tindakan perang” dan mengumumkan keadaan darurat nasional. Ia juga memerintahkan peningkatan serangan udara terhadap posisi NIIS di Suriah dan Irak, serta meningkatkan kerjasama intelijen dan keamanan dengan negara-negara sekutu.

Namun, setelah enam tahun berlalu, apakah dunia masih peduli dengan korban terorisme di Paris? Apakah serangan ini telah membawa perubahan positif bagi perdamaian dan stabilitas global? Apakah upaya pemberantasan terorisme telah berhasil menghapus ancaman NIIS dan kelompok-kelompok radikal lainnya?

Ad imageAd image

Menurut beberapa analis dan pengamat, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut tidaklah sederhana. Di satu sisi, serangan Paris November 2015 telah memicu solidaritas global terhadap korban terorisme dan menunjukkan tekad bersama untuk melawan kekerasan ekstremis. Di sisi lain, serangan ini juga telah menimbulkan dampak negatif bagi hak asasi manusia, toleransi, dan keragaman di beberapa negara.

Salah satu dampak negatif yang paling terlihat adalah meningkatnya islamofobia dan diskriminasi terhadap komunitas Muslim di Eropa. Menurut sebuah laporan dari European Islamophobia Report (EIR), sebuah jaringan peneliti yang memantau kasus-kasus islamofobia di Eropa, serangan Paris November 2015 telah menjadi “titik balik” bagi peningkatan islamofobia di benua tersebut.

Laporan tersebut menyebutkan bahwa setelah serangan tersebut, terjadi lonjakan signifikan dalam jumlah serangan fisik, verbal, dan vandalisme terhadap masjid, sekolah Islam, toko-toko halal, pemakaman Muslim, dan individu-individu Muslim. Selain itu, juga terjadi peningkatan dalam jumlah kebijakan-kebijakan diskriminatif yang mengancam hak-hak sipil dan kebebasan beragama Muslim di Eropa.

Beberapa contoh kebijakan tersebut adalah larangan mengenakan jilbab atau cadar di tempat-tempat umum, larangan menyembelih hewan secara halal atau kosher, larangan mendirikan masjid atau pusat-pusat kebudayaan Islam, serta pembatasan imigrasi dan pengungsi dari negara-negara mayoritas Muslim.

Laporan EIR juga menunjukkan bahwa islamofobia tidak hanya berasal dari kelompok-kelompok sayap kanan atau neo-Nazi yang secara terang-terangan menentang keberadaan Muslim di Eropa. Islamofobia juga berasal dari kalangan politisi mainstream, media massa, akademisi, dan tokoh-tokoh publik yang secara halus atau terselubung menyebarkan stereotip negatif tentang Islam dan Muslim.

Laporan tersebut mengutip beberapa contoh pernyataan-pernyataan islamofobik yang dilontarkan oleh tokoh-tokoh terkenal di Eropa, seperti mantan Perdana Menteri Inggris David Cameron yang menyebut komunitas Muslim sebagai “komunitas yang gagal berintegrasi”, mantan Presiden Perancis Nicolas Sarkozy yang menyebut jilbab sebagai “tanda perbudakan wanita”, atau mantan Perdana Menteri Italia Silvio Berlusconi yang menyebut Islam sebagai “agama yang tidak cocok dengan peradaban kita”.

Laporan EIR juga mengkritik sikap media massa Eropa yang cenderung memberitakan kasus-kasus terorisme dengan cara yang tidak proporsional dan bias. Media massa Eropa sering kali menonjolkan identitas agama atau etnis pelaku terorisme, tetapi mengabaikan faktor-faktor lain seperti latar belakang sosial, ekonomi, politik, atau psikologis.

Media massa Eropa juga sering kali menggeneralisasi seluruh komunitas Muslim sebagai teroris potensial, tanpa membedakan antara kelompok-kelompok radikal dan moderat.

Laporan EIR menyarankan agar media massa Eropa lebih berhati-hati dalam memberitakan kasus-kasus terorisme, dengan menggunakan istilah-istilah yang netral dan tidak mengandung stigma. Laporan tersebut juga menyarankan agar media massa Eropa lebih memberikan ruang bagi suara-suara Muslim yang menentang terorisme dan menunjukkan keragaman dan kemajemukan Islam.

Selain islamofobia, dampak negatif lain dari serangan Paris November 2015 adalah meningkatnya ketegangan dan konflik antara negara-negara yang terlibat dalam perang melawan NIIS di Suriah dan Irak. Meskipun ada koordinasi dan kerjasama militer antara negara-negara tersebut, tetapi ada juga persaingan dan pertentangan kepentingan yang dapat memicu eskalasi kekerasan.

Salah satu contoh ketegangan tersebut adalah insiden penembakan pesawat tempur Rusia oleh Turki di perbatasan Suriah pada November 2015, beberapa hari setelah serangan Paris. Insiden tersebut hampir memicu perang antara kedua negara, yang memiliki pandangan berbeda tentang solusi konflik Suriah. Rusia mendukung rezim Bashar al-Assad, sedangkan Turki mendukung kelompok-kelompok oposisi.

Insiden lain yang menunjukkan ketegangan antara negara-negara koalisi adalah serangan udara Amerika Serikat terhadap pangkalan militer Suriah pada April 2017, sebagai respons atas dugaan penggunaan senjata kimia oleh rezim Assad terhadap warga sipil. Serangan tersebut dikritik oleh Rusia, Iran, dan China, yang menganggapnya sebagai pelanggaran kedaulatan Suriah dan hukum internasional.

Selain itu, ada juga ketegangan antara negara-negara koalisi dengan negara-negara tetangga Suriah dan Irak, seperti Iran, Arab Saudi, Turki, Israel, Lebanon, dan Yordania. Negara-negara tersebut memiliki kepentingan dan pengaruh yang berbeda-beda di wilayah tersebut, dan sering kali bersaing atau bertentangan satu sama lain. Hal ini dapat meningkatkan risiko konflik regional yang lebih luas.

Dalam situasi yang penuh ketidakpastian dan ketidakstabilan ini, apakah ada harapan bagi perdamaian dan keamanan global? Apakah ada cara untuk mencegah atau mengatasi terorisme tanpa melanggar hak asasi manusia dan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan?

Menurut beberapa ahli dan aktivis, salah satu cara untuk mencapai hal tersebut adalah dengan meningkatkan dialog dan kerjasama antar-agama, antar-budaya, dan antar-negara. Dialog dan kerjasama ini dapat membantu membangun saling pengertian, toleransi, dan rasa hormat antara berbagai kelompok masyarakat yang berbeda.

Dialog dan kerjasama ini juga dapat membantu mencari solusi bersama untuk masalah-masalah global yang menjadi akar penyebab terorisme, seperti kemiskinan, ketidakadilan, diskriminasi, pelanggaran hak asasi manusia, konflik bersenjata, perubahan iklim, dll.

Beberapa contoh dialog dan kerjasama antar-agama, antar-budaya, dan antar-negara yang telah dilakukan sebagai respons terhadap serangan Paris November 2015 adalah sebagai berikut:

  • Pada Desember 2015, sekitar 200 pemimpin agama dari berbagai negara berkumpul di Paris untuk menyatakan komitmen mereka untuk melawan perubahan iklim dan terorisme. Mereka menandatangani sebuah deklarasi yang menyebut perubahan iklim sebagai “ancaman moral terbesar bagi umat manusia” dan terorisme sebagai “penyalahgunaan agama untuk membenarkan kekerasan”. Mereka juga mengajak semua pihak untuk bekerja sama dalam menciptakan dunia yang lebih adil, damai, dan berkelanjutan.
  • Pada Januari 2016, sekitar 1,5 juta orang dari berbagai agama, etnis, dan latar belakang berpartisipasi dalam sebuah acara yang disebut “Paris Peace Forum”. Acara ini bertujuan untuk menghormati korban serangan Paris November 2015 dan menunjukkan solidaritas global terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Acara ini juga menjadi ajang diskusi dan pertukaran ide tentang cara-cara untuk mengatasi tantangan-tantangan global, seperti terorisme, migrasi, pengungsi, hak asasi manusia, dll.
  • Pada April 2016, sekitar 250 pemuda dari berbagai negara mengikuti sebuah program yang disebut “Youth for Peace”. Program ini merupakan inisiatif dari UNESCO dan Pemerintah Perancis untuk memberdayakan pemuda dalam mencegah dan melawan ekstremisme kekerasan. Program ini menyediakan pelatihan, bimbingan, dan kesempatan bagi pemuda untuk mengembangkan proyek-proyek sosial yang berkontribusi bagi perdamaian dan dialog antar-budaya.

Dari beberapa contoh di atas, dapat dilihat bahwa ada upaya-upaya positif yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk merespon serangan Paris November 2015 dengan cara yang konstruktif dan kreatif.

Upaya-upaya ini menunjukkan bahwa ada harapan bagi dunia untuk bersatu dalam menghadapi ancaman terorisme dan masalah-masalah global lainnya.

Namun, upaya-upaya ini juga masih perlu ditingkatkan dan diperluas agar dapat memberikan dampak yang lebih besar dan lebih berkelanjutan. Upaya-upaya ini juga perlu didukung oleh komitmen politik dan hukum dari negara-negara yang terlibat dalam perang melawan NIIS di Suriah dan Irak.

Tanpa adanya solusi politik dan hukum yang adil dan inklusif bagi konflik Suriah dan Irak, maka upaya-upaya dialog dan kerjasama antar-agama, antar-budaya, dan antar-negara akan sulit untuk berhasil.

Oleh karena itu, di tengah memperingati enam tahun serangan Paris November 2015, dunia perlu mengambil pelajaran dari tragedi tersebut. Dunia perlu menyadari bahwa terorisme bukanlah masalah yang dapat diselesaikan dengan kekerasan semata, tetapi juga dengan pendekatan-pendekatan yang lebih holistik dan humanis.

Dunia perlu bersikap lebih peduli terhadap korban terorisme, baik yang ada di Paris maupun di tempat-tempat lain. Dunia perlu berani menghadapi tantangan-tantangan global dengan semangat kerjasama dan solidaritas. Dunia perlu menciptakan masa depan yang lebih baik bagi semua orang.

- Advertisement -
Share This Article