UKT Mahal dan Pendidikan Jadi Tersier: Siapa yang Diuntungkan?

ZAJ By ZAJ - SEO Expert | AI Enthusiast
7 Min Read
UKT Mahal dan Pendidikan Jadi Tersier: Siapa yang Diuntungkan?
UKT Mahal dan Pendidikan Jadi Tersier: Siapa yang Diuntungkan?
- Advertisement -

jfid – Di dunia akademik Indonesia, isu Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang kian melambung menjadi salah satu polemik yang tiada habisnya.

Di berbagai sudut kampus, mahasiswa dari Universitas Jenderal Soedirman, Universitas Indonesia, ITB, hingga Universitas Riau berdemo. Mereka menyuarakan satu tuntutan: “Turunkan UKT!”.

Namun, suara mereka seringkali dibenturkan oleh argumen keras dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang menyatakan bahwa pendidikan tinggi termasuk dalam kategori pendidikan tersier.

Ini berarti, menurut mereka, pendidikan tinggi bukanlah kewajiban negara untuk digratiskan. Sebuah pandangan yang seolah-olah membiarkan segelintir mahasiswa berjuang di tepian jurang keputusasaan finansial.

Ad image

Pendidikan Tinggi

Tersier atau Primer?

Kita perlu menyelam lebih dalam, menyingkap tabir di balik pernyataan Kemendikbudristek.

Pendidikan tersier, menurut mereka, adalah pendidikan yang tidak wajib, berlawanan dengan pendidikan dasar dan menengah yang ditetapkan sebagai bagian dari program wajib belajar.

Di sinilah letak perbedaan pandangan antara pemerintah dan banyak pihak, termasuk Presiden Joko Widodo.

Jokowi pernah mengungkapkan kekagetannya atas rendahnya rasio penduduk berpendidikan pascasarjana di Indonesia. “Indonesia masih sangat rendah dalam hal ini,” ujarnya dalam sebuah kesempatan.

Namun, seiring waktu, sikap ini tampak bertentangan dengan realitas di lapangan. Banyak anak bangsa masih terbelenggu oleh ketidakmampuan ekonomi untuk mengecap bangku kuliah.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menunjukkan bahwa jumlah anak yang tidak bersekolah masih signifikan di berbagai jenjang pendidikan.

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) pun bersuara, mengkritik bahwa pendidikan tinggi seharusnya tidak sekadar dilabeli sebagai kebutuhan tersier.

Mereka menilai, dengan masih banyaknya anak yang tidak sekolah, negara semestinya mengambil langkah lebih proaktif dalam memperluas akses pendidikan tinggi.

UKT Berdasarkan Kondisi Ekonomi

Solusi atau Tipuan?

Kemendikbudristek berdalih bahwa penentuan UKT sudah mempertimbangkan kondisi ekonomi keluarga.

Mahasiswa dengan orang tua berpenghasilan rendah, katanya, akan mendapat UKT yang lebih kecil, sedangkan yang berasal dari keluarga berada, UKT-nya lebih tinggi.

Teorinya memang terdengar indah. Tapi kenyataannya, apakah sistem ini benar-benar berjalan adil?

Kita perlu melihat lebih dekat. Ada banyak keluhan mengenai ketidaktransparanan dan ketidakadilan dalam penetapan UKT.

Banyak mahasiswa yang merasa bahwa kondisi ekonomi keluarganya tidak sepenuhnya dipahami oleh pihak kampus.

Misalnya, seorang mahasiswa dari keluarga dengan penghasilan pas-pasan bisa saja ditempatkan di kategori UKT yang lebih tinggi hanya karena terdapat kesalahan dalam verifikasi data atau kurangnya pemahaman petugas administrasi kampus.

Dan siapa yang bisa lupa dengan kisah-kisah memilukan dari mahasiswa yang harus bekerja paruh waktu hanya untuk bisa membayar UKT?

Bagi mereka, janji akan pendidikan tinggi yang lebih baik terasa bagai fatamorgana di tengah padang pasir yang kering.

Komersialisasi Pendidikan

Sebuah Fakta yang Disangkal?

Tidak bisa dipungkiri, di balik argumen-argumen resmi tersebut, ada rasa tidak puas yang membuncah dari berbagai kalangan.

Banyak yang menilai bahwa kebijakan UKT ini tak lebih dari komersialisasi pendidikan yang terselubung.

Universitas negeri yang semestinya menjadi benteng terakhir bagi pendidikan terjangkau, kini justru berubah menjadi mesin penghasil uang.

Pandangan ini diperkuat oleh berbagai data yang menunjukkan bahwa pendapatan dari UKT semakin menjadi andalan bagi operasional universitas. Dana dari UKT menjadi bagian signifikan dari anggaran tahunan kampus.

Dengan demikian, ada tekanan bagi universitas untuk menjaga atau bahkan menaikkan tarif UKT agar tetap bisa menjalankan berbagai program dan meningkatkan fasilitas kampus.

Namun, Kemendikbudristek terus bersikukuh bahwa tidak ada komersialisasi pendidikan tinggi di sini.

Mereka berdalih bahwa kenaikan UKT adalah langkah yang diperlukan untuk memastikan kualitas pendidikan yang diterima oleh mahasiswa. “Biaya di perguruan tinggi tidak bisa digratiskan,” tegas seorang pejabat kementerian.

Benarkah demikian? Atau ini hanya dalih untuk menyembunyikan kenyataan pahit bahwa pendidikan tinggi di Indonesia telah menjadi barang mewah yang hanya bisa dinikmati oleh segelintir kalangan beruntung?

Pendidikan Tinggi dan Masa Depan Anak Bangsa

Mari kita kembali pada esensi pendidikan. Pendidikan tinggi seharusnya membuka pintu masa depan, bukan menutupnya dengan gembok UKT yang mahal.

Ketika akses pendidikan tinggi menjadi sulit, kita sedang menyia-nyiakan potensi besar anak bangsa.

Nasib para konten kreator dan inovator masa depan berada di ujung tanduk ketika mereka dihadapkan pada pilihan antara melanjutkan pendidikan atau bekerja untuk bertahan hidup.

Ada sebuah paradoks di sini: di satu sisi, pemerintah mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan, namun di sisi lain, kebijakan yang diterapkan justru mempersempit akses menuju pendidikan tinggi. Siapa yang sebenarnya diuntungkan dari kebijakan ini?

Bukanlah kita semua yang harusnya diuntungkan ketika generasi muda Indonesia mendapatkan pendidikan yang layak? Ketika setiap anak memiliki kesempatan yang sama untuk mengejar mimpi tanpa dibatasi oleh kemampuan finansial?

Jawaban dari pertanyaan ini mungkin tidak sesederhana yang terlihat di permukaan. Namun, satu hal yang pasti, pendidikan tinggi tidak boleh menjadi barang mewah.

Pendidikan tinggi harusnya menjadi hak setiap anak bangsa, bukan sekadar kebutuhan tersier yang bisa dikesampingkan.

Maka, kita harus terus mengawal kebijakan pendidikan, memastikan bahwa setiap anak bangsa mendapatkan haknya untuk bermimpi dan menggapai masa depan yang lebih baik.

Seperti kata pepatah, “Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang bisa kita gunakan untuk mengubah dunia.” Mari pastikan senjata itu tidak tumpul di tangan anak-anak kita hanya karena UKT yang mahal.

- Advertisement -
Share This Article