Mengapa Orang Jawa Tidak Lagi Pakai Nama-Nama Tradisional?

Rasyiqi By Rasyiqi - Writer, Saintific Enthusiast
6 Min Read
- Advertisement -

jfid – Nama adalah salah satu identitas yang melekat pada seseorang sejak lahir hingga meninggal. Nama juga mencerminkan latar belakang budaya, sosial, dan agama dari seseorang. Di Indonesia, nama-nama orang Jawa memiliki sejarah dan makna yang kaya dan beragam.

Orang Jawa adalah salah satu etnis terbesar di Indonesia yang mendiami Pulau Jawa. Pulau ini memiliki sejarah panjang sebagai pusat peradaban dan kebudayaan di Nusantara.

Sejak zaman dahulu, Pulau Jawa menjadi tempat berkembangnya berbagai kerajaan Hindu-Buddha, kesultanan Islam, pemerintahan kolonial Belanda, hingga pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Nama-nama orang Jawa juga dipengaruhi oleh berbagai faktor sejarah tersebut. Menurut beberapa sumber literatur, nama-nama orang Jawa dapat dibagi menjadi beberapa kelompok besar, yaitu:

Ad image

Nama-nama yang berasal dari bahasa Sanskerta, yang merupakan bahasa klasik India yang dipakai oleh agama Hindu dan Buddha. Contohnya adalah Budi, Sari, Rini, Dwi, Tri, Candra, Indra, Surya, Dewi, dll.

Nama-nama yang berasal dari bahasa Arab, yang merupakan bahasa suci Islam yang masuk ke Indonesia sejak abad ke-13. Contohnya adalah Ahmad, Ali, Hasan, Husain, Fatimah, Aisyah, Khadijah, dll.

Nama-nama yang berasal dari bahasa Belanda atau Eropa lainnya, yang merupakan bahasa penjajah yang menguasai Indonesia selama lebih dari 300 tahun. Contohnya adalah Johan, Hendrik, Willem, Maria, Anna, Elisabeth, dll.

Nama-nama yang berasal dari bahasa Jawa sendiri, yang merupakan bahasa asli etnis Jawa yang memiliki berbagai dialek dan ragam. Contohnya adalah Joko, Slamet, Siti, Mulyono, Sukarno, Kartini, dll.

Selain itu, nama-nama orang Jawa juga dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial dan budaya lainnya. Salah satunya adalah sistem kasta atau golongan sosial yang ada dalam masyarakat Jawa. Menurut Koentjaraningrat, ada empat kasta utama dalam masyarakat Jawa tradisional, yaitu:

Brahmana atau golongan ningrat (bangsawan), yang merupakan keturunan raja-raja atau pejabat tinggi kerajaan. Mereka biasanya memiliki nama-nama yang panjang dan indah dengan makna filosofis atau religius. Contohnya adalah Raden Mas Arya Panji Sosrokartono atau Gusti Kanjeng Ratu Hemas.

Ksatria atau golongan priyayi (bangsawan rendah), yang merupakan keturunan pejabat menengah atau rendah kerajaan. Mereka biasanya memiliki nama-nama yang pendek dan sederhana dengan makna harapan atau doa. Contohnya adalah Ronggowarsito atau Mangkunegara.

Waisya atau golongan abangan (rakyat biasa), yang merupakan keturunan pedagang atau petani. Mereka biasanya memiliki nama-nama yang singkat dan mudah diingat dengan makna praktis atau sehari-hari. Contohnya adalah Wagino atau Tukiman.

Sudra atau golongan wong cilik (rakyat miskin), yang merupakan keturunan buruh atau budak. Mereka biasanya tidak memiliki nama tetap atau hanya menggunakan nama panggilan dengan makna rendah diri atau lucu. Contohnya adalah Paijem atau Mbok Darmi.

Sistem kasta ini tidak lagi berlaku secara ketat dalam masyarakat Jawa modern. Namun pengaruhnya masih terlihat dalam pemberian nama anak-anak oleh orang tua mereka. Menurut Sahid Teguh Widodo, ada beberapa perubahan dalam pola pemberian nama orang Jawa sejak era 1950-an hingga 2000-an.

Pada era 1950-an dan 1960-an, nama-nama orang Jawa masih banyak dipengaruhi oleh sistem kasta dan tradisi lama. Orang-orang dari golongan rendah biasanya memberi nama anaknya dengan mengacu pada hari kelahiran menurut kalender Jawa.

Contohnya adalah Ponimin atau Legiyah yang merujuk pada hari pasaran Pon dan Legi. Nama-nama ini dianggap sebagai nama “kasta” rendah yang menunjukkan status sosial dan ekonomi yang lemah.

Pada era 1970-an dan 1980-an, nama-nama orang Jawa mulai mengalami perubahan dengan mengadopsi unsur-unsur dari bahasa lain atau dari tokoh-tokoh terkenal.

Orang-orang dari golongan rendah mulai memberi nama anaknya dengan menggunakan awalan atau akhiran yang berasal dari bahasa Sanskerta, Arab, atau Belanda. Contohnya adalah Sugiono, Hartono, Andri, atau Abbas. Nama-nama ini dianggap sebagai nama “kasta” menengah yang menunjukkan harapan akan nasib yang lebih baik.

Pada era 1990-an dan 2000-an, nama-nama orang Jawa semakin beragam dan kreatif dengan menggabungkan berbagai unsur dari berbagai sumber. Orang-orang dari golongan rendah maupun tinggi mulai memberi nama anaknya dengan menggunakan nama-nama yang unik, modern, atau bahkan tidak lazim.

Contohnya adalah Joko Widodo, Basuki Hadimulyono, Ganjar Pranowo, atau Gatot Nurmantyo. Nama-nama ini dianggap sebagai nama “kasta” tinggi yang menunjukkan keberanian, kepercayaan diri, atau prestasi.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa nama-nama orang Jawa tidak lagi melestarikan nama-nama tradisional seperti Wagino, Tukiman, Paijem, dll. karena adanya perubahan sejarah, sosial, dan budaya yang terjadi dalam masyarakat Jawa.

Nama-nama tersebut dianggap sebagai nama “kasta” rendah yang tidak sesuai dengan aspirasi dan kondisi masyarakat Jawa modern. Nama-nama tersebut juga dianggap sebagai nama “kuno” yang tidak relevan dengan zaman.

Namun demikian, tidak berarti bahwa nama-nama tradisional tersebut hilang sama sekali atau tidak memiliki nilai sejarah dan budaya.

Nama-nama tersebut tetap menjadi bagian dari warisan leluhur orang Jawa yang harus dihormati dan dihargai. Nama-nama tersebut juga tetap menjadi pilihan bagi sebagian orang Jawa yang ingin melestarikan identitas dan kebudayaan mereka.

- Advertisement -
TAGGED:
Share This Article