Syekh Siti Jenar adalah salah satu tokoh sufi yang paling kontroversial dalam sejarah Islam di Nusantara. Ia dikenal sebagai penyebar agama Islam di Pulau Jawa, khususnya di Kabupaten Demak, pada abad ke-15.
Namun, ajaran-ajarannya yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam yang dianut oleh Wali Songo, kelompok ulama yang menjadi pemimpin agama Islam di Nusantara pada masa itu, membuatnya harus menghadapi hukuman mati yang tragis.
Siapakah Syekh Siti Jenar?
Syekh Siti Jenar memiliki nama asli Syaikh Sidi Zunnar, atau Abdul Jalil, atau Sayyid Hasan ‘Ali Al Husaini. Ia berasal dari Persia, dan datang ke Nusantara bersama dengan rombongan Wali Songo.
Ia juga dikenal dengan nama Sunan Jepara, Sitibrit, Syekh Lemahbang, Syekh Lemah Abang, dan Syekh Jabarantas. Nama kecilnya adalah Abdul Hasan bin Abdul Ibrahim bin Ismail.
Syekh Siti Jenar dikenal sebagai seorang sufi yang memiliki ilmu tinggi dan kesaktian luar biasa. Ia mampu berkomunikasi dengan makhluk halus, berubah wujud, dan menemui ajalnya dengan kemauannya sendiri.
Ia juga dikenal sebagai seorang seniman yang mahir dalam sastra dan musik. Ia menciptakan karya sastra yang disebut Pupuh, yang berisi tentang budi pekerti dan ajaran sufi.
Apa yang membuat ajaran Syekh Siti Jenar kontroversial?
Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial adalah Manunggaling Kawula Gusti, yang berarti penyatuan antara hamba dan Tuhan. Ajaran ini dianggap sebagai paham wahdatul wujud, yang berpendapat bahwa segala sesuatu adalah manifestasi dari Allah, dan karenanya, batasan antara manusia dan Tuhan menjadi kabur.
Ajaran ini bertentangan dengan ajaran Islam yang dianut oleh Wali Songo, yang menekankan pada tauhid, yaitu pengakuan akan keesaan Allah.
Selain itu, Syekh Siti Jenar juga mengkritik beberapa hal yang dianggapnya sebagai kesalahan dalam praktik keagamaan pada masa itu. Ia menolak untuk shalat, puasa, dan berzakat, karena ia menganggap bahwa hal-hal tersebut hanyalah ritual lahiriah yang tidak penting.
Ia juga menentang konsep syariat, yang ia anggap sebagai hukum yang dibuat oleh manusia, dan tidak sesuai dengan hukum alam. Ia lebih mengutamakan hakikat, yaitu pengalaman batiniah yang menghubungkan dirinya dengan Tuhan.
Bagaimana akhir hayat Syekh Siti Jenar?
Akhir hayat Syekh Siti Jenar tidak diketahui dengan pasti, karena ada banyak versi yang berbeda mengenai kematian dan makamnya. Namun, versi yang paling umum diterima adalah bahwa ia dihukum mati oleh Wali Songo, karena dianggap sebagai ancaman terhadap stabilitas politik dan kekuasaan mereka.
Ia juga dianggap sebagai pengacau yang menyesatkan umat Islam dengan ajaran-ajarannya yang menyimpang.
Yang menarik adalah, setelah ia tewas, jasadnya tidak membusuk, melainkan berbau harum seperti melati. Hal ini membuat banyak orang yang awalnya menganggapnya sebagai orang sesat, berubah pikiran dan menghormatinya sebagai orang suci.
Bahkan, ada yang menganggapnya sebagai seorang syahid, yaitu orang yang mati di jalan Allah.
Di mana makam Syekh Siti Jenar?
Makam-makam tersebut menjadi tempat ziarah bagi banyak orang yang mengagumi Syekh Siti Jenar, atau yang ingin mengetahui lebih dalam tentang ajaran-ajarannya.
Namun, ada juga yang mengatakan bahwa Syekh Siti Jenar tidak memiliki makam, karena ia telah menyatu dengan Tuhan, dan tidak meninggalkan bekas apapun di dunia ini.
Apa pesan Syekh Siti Jenar bagi kita?
Syekh Siti Jenar adalah sosok yang menarik untuk dikaji, karena ia menawarkan pandangan yang berbeda dari kebanyakan orang tentang Islam dan kehidupan.
Ia adalah seorang pemberontak yang berani mengkritik dan menantang otoritas yang ada, namun juga seorang sufi yang mencintai dan mendekatkan diri kepada Tuhan. Ia adalah seorang seniman yang menciptakan karya-karya indah, namun juga seorang ilmuwan yang menggali hikmah dari alam.
Pesan Syekh Siti Jenar bagi kita adalah untuk tidak takut untuk berpikir kritis dan kreatif, namun juga untuk tidak lupa untuk bersyukur dan beribadah. Ia mengajarkan kita untuk tidak terpaku pada bentuk lahiriah, namun juga untuk tidak mengabaikan kewajiban kita sebagai manusia.
Ia mengajarkan kita untuk mencari kebenaran, namun juga untuk menghormati perbedaan. Ia mengajarkan kita untuk mencintai Tuhan, namun juga untuk mencintai sesama.