jfid – Adalah Thomas Hobbes (1558 -1679), yang menulis tentang negara sebagai Leviathan, sosok yang memiliki tanpa batas. Buku ‘Leviathan’ yang diterbitkan tahun 1651 sebagai kelanjutan dari karya sebelumnya ‘ De Cive’ demikian menghebohkan pada zamannya, sehingga sempat dilarang oleh Gereja Katolik dan Gereja Anglikan.
Dalam konsep negara Leviathan ini, negara adalah pemilik kekuasaan absolut, tanpa kontrol. Memang ada koridor yang bisa dibuat, yaitu melalui hukum. Namun, hukum itu juga adalah produk penguasa, sehingga hukum pun bisa dimanipulasi oleh negara. Lebih repot lagi, jika denotasi dari ‘penguasa’ ini diperluas sehingga mencakup juga penguasa rohaniawan yang atas nama Tuhan kemudian bisa mendikte isi hukum dan tata cara penerapan hukum itu di lapangan.
Bagaimana rakyat harus menyikapi kondisi negara yang sudah menjadi sang Leviathan? Bagi Hobbes, pilihannya hanya ada dua cara: patuh dengan penuh ketakutan atau melawan dengan menuntut penguasa itu turun. Pilihan terakhir didasarkan pada argumentasi bahwa negara Leviathan itu hanya bisa dihentikan jika rakyat berani secara bersama-sama melawan. Negara yang dibangun melalui perjanjian bersama itu, tidak lagi dipercaya dan untuk itu harus dibubarkan. Perlawanan ini tidak lain adalah anarkisme total, yang ditandai dengan ketidakpercayaan pada institusi negara, penguasa negara, dan hukum negara. Seruan anarkisme ini harus dijalankan di atas nama rakyat, melalui kekuatan rakyat (people power). Intinya, sekali lagi: rakyat diminta untuk mendelegitimasi negara karena sang Leviathan ini harus dihentikan!
Bagi yang sudah tersadar sang Leviathan benar-benar muncul sebagai penguasa di negeri ini, maka tetap saja gerakan ‘people power’ seperti dianjurkan Hobbes, tidak boleh dipakai untuk meruntuhkannya dan membangun sebuah negara baru. Kita dapat memulai dengan jamaah yang ber-fattuwa. Bersatunya syariat dan hakekat. Kembalinya kekayaan dan kekuasaan. Kembalinya rukun Zakat. Membangun kota keseluruhan fitrah.
Bramada Pratama Putra