jfid – Masyarakat pada dasarnya, secara inheren, tumbuh dan berkembang berdasarkan konflik. Dalam perspektif Hegelio-Marxian, hal ini disebut sebagai hukum dialektika. Maka ketika konflik itu tak ada lagi dapat dikatakan bahwa masyarakat itu sendiri pun, dengan sendirinya, juga akan lenyap.
Angan biru tentang perdamaian, tersebab oleh hal itu, adalah sebuah angan yang ngayawara atau mengada-ada. Permasalahannya kemudian, seandainya konflik itu adalah serupa tiang penyangga kehidupan masyarakat, adalah tak terletak pada upaya-upaya untuk melenyapkan konflik, namun untuk mengolahnya. Di sinilah kemudian ilmu polemologi, suatu kajian tentang konflik dan perdamaian, lahir dengan tujuan agung untuk mengolah konflik-konflik yang terjadi di sebuah masyarakat.
Taruhlah konflik antara Islam moderat vs. Islam radikal, Islam kultural vs. Islam struktural, Islam nusantara vs. Islam berkemajuan atau Islam terpadu, dst. Perbedaan dan konflik-konflik seperti ini memang tak dapat dihindari. Jadi, angan tentang Islam abstrak, Islam biru, Islam tanpa tipologi, hanyalah bualan yang memiliki kepentingan tertentu, yang seringkali jauh dari substansi Islam itu sendiri. Ketika hal itu pun dapat terwujud, mengingat kemajemukan orang Indonesia, ukuran siapakah yang nantinya dipakai? Di sini pun orang tetap akan berkonflik untuk memenangkan posisi sebagai acuan. Bukankah dengan demikian konflik adalah suatu hal yang mendasar sifatnya atas denyut nadi sebuah masyarakat?
Hoaks, provokasi, agitasi dan radikalisme, tak pelak lagi merupakan permasalahan khas dunia kontemporer yang musykil untuk dihindari. Hidup di zaman disrupsi seperti ini memang membutuhkan ketangguhan baik sebagai pribadi maupun masyarakat. Tak jarang ketika konflik-konflik itu tak dapat diolah seseorang ataupun sebuah masyarakat akan dengan mudahnya dilanda kekacauan dan tumbang.
Ketangguhan, baik sebagai pribadi maupun masyarakat, sebenarnya sudah lama pula diwariskan sebagai kearifan-kearifan lokal bangsa nusantara. Berbagai tradisi yang selama ini diwariskan telah terbukti bahwa semuanya itu bermuara pada keberlangsungan kehidupan. Taruhlah masyarakat Baduy, yang dari berbagai data yang ada, sama sekali tak terkena wabah corona.
Saya sendiri, ketika meneliti bencana gempa dan tsunami, menemukan bahwa di Jawa bencana-bencana itu ternyata adalah sebuah siklus (Mahapralaya: Seputar Wayang,Gempa dan Tsunami, Heru Harjo Hutomo, https://www.idenera.com). Hal ini memang tak dapat dilepaskan dari pandangan waktu orang Jawa di masa lampau yang sirkular sifatnya (Berlalu di Zaman [yang Tak Benar-benar] Baru, Heru Harjo Hutomo, https://jurnalfaktual.id/webdev). Dalam khazanah budaya Jawa hal ini disebut sebagai “jangka.” Maka sama sekali tak mengherankan ketika banyak orang yang mengatakan bahwa keadaan di saat wabah corona ini seolah sudah pernah terjadi di masa lampau.
Demikian pula fenomena mengecambahnya radikalisme yang bersifat transnasional yang ternyata beberapa kali sudah pernah terjadi pula, setidaknya sejak zaman Sultan Trenggono di Demak (Islam Radikal dalam Filsafat Perwayangan dan Serat Wedhatama, Heru Harjo Hutomo, https://etnis.id). Para nenek-moyang, lewat berbagai tamsil dan praktik-praktik kebudayaan, ternyata tak pula meninggalkan permasalah yang terus berulang semata, dengan variannya yang ada, namun juga menyajikan solusi atau penyikapannya.
Pada HUT Indonesia yang ke-76 ini, kiranya perlu dilakukan reinterpretasi-reinterpretasi atas warisan-warisan budaya yang ada. Masyarakat Adat Baduy, di masa wabah corona ini, terbukti seperti tak ditemukan satu kasus pun dimana warganya terinfeksi. Demikian pula, terkait dengan permasalahan kontemporer lainnya seperti maraknya hoaks, provokasi, agitasi dan radikalisme, berbagai warisan praktik-praktik kebudayaan, taruhlah tasawuf dan kapitayan, seolah sama sekali tak terjang itu semua. Seumpamanya, Paguyuban Sumarah dimana salah satu sesanggeman atau kesanggupan sebagai warganya, adalah untuk untuk tak fanatik. Ini semua adalah nilai-nilai serta sikap yang sangat positif dan konstruktif ketika ditumbuh-kembangkan dalam kehidupan kontemporer, apalagi di zaman disrupsi seperti ini. Ketangguhan sebagai pribadi adalah satu hal yang memang menjadi garapan berbagai komunitas kapitayan dan tarekat-tarekat sufi. Dunia boleh fana, tetapi batin manusia mestilah baka.
Heru Harjo Hutomo: penulis, perupa dan pemusik, pemerhati radikalisme dan terorisme.