Antarktika: Bukan Kulkas, Tapi Radiator

Rasyiqi By Rasyiqi - Writer, Saintific Enthusiast
5 Min Read

jfid – Antarktika, benua yang dikenal sebagai tempat paling dingin di dunia, kini mengalami krisis es. Data satelit menunjukkan bahwa jumlah es di lautan yang mengelilingi benua ini berada jauh di bawah level musim dingin yang pernah tercatat. Hal ini menjadi pertanda baru yang mengkhawatirkan bagi wilayah yang dahulu tampaknya dapat bertahan dari pemanasan global.

Es laut Antarktika memiliki peran penting dalam mengatur suhu planet Bumi, karena permukaannya yang putih memantulkan energi matahari kembali ke atmosfer sekaligus mendinginkan air di bawah dan di dekatnya. Tanpa es yang mendinginkan planet ini, Antarktika bisa berubah dari kulkas menjadi radiator Bumi, kata para ahli.

Es laut terbentuk saat musim dingin di benua Antarktika (antara Maret hingga Oktober), sebelum sebagian besarnya mencair di musim panas. Es laut merupakan bagian dari sistem yang saling terkait, yang juga terdiri dari gunung es, es darat, dan bongkahan es besar — perpanjangan dari es darat yang mengambang di air dan menjorok ke luar dari pantai. Es laut bertindak sebagai lapisan pelindung bagi es yang menutupi daratan dan mencegah air laut memanas.

Namun, tahun ini luar biasa. Es laut Antarktika kini hanya berukuran kurang dari 17 juta km persegi, atau 1,5 juta km persegi lebih sedikit dari rata-rata di bulan September, dan jauh di bawah rekor terendah pada musim dingin-musim dingin sebelumnya. Luas area es yang hilang itu sekitar lima kali Kepulauan Inggris.

Ad image

Para ilmuwan masih berusaha mengidentifikasi semua faktor yang menyebabkan rendahnya es laut tahun ini — tetapi selama ini, mempelajari tren di Antarktika tidaklah mudah. Dari data 40 tahun terakhir dari data satelit yang tersedia, luas es laut menunjukkan kecenderungan berubah-ubah yang besar. Tren penurunan jumlah es di musim panas yang semakin kecil hanya terlihat dalam beberapa tahun terakhir.

“Kami bisa melihat sendiri betapa rentannya itu,” kata Dr Robbie Mallet, dari University of Manitoba, yang berbasis di semenanjung Antarktika. Selain kondisi penelitian yang terisolasi, dingin ekstrem, dan angin kencang tipisnya es laut tahun ini membuat pekerjaan timnya semakin sulit. “Ada risiko lapisan es pecah dan hanyut ke laut bersama kami di atasnya,” kata Dr Mallet.

Dr Caroline Holmes, dari British Antarctic Survey, menjelaskan bahwa dampak penyusutan es laut dapat menjadi jelas ketika transisi ke musim panas — ketika ada potensi untuk siklus umpan balik pencairan es yang tak terbendung. “Ini jauh sekali di luar apa pun yang pernah kita amati, bahkan bisa dibilang menakjubkan,” kata Walter Meier, yang memantau lautan es di Pusat Data Salju dan Es Nasional (NSDC) Amerika Serikat.

Penyusutan es laut Antarktika tidak hanya berdampak pada iklim global, tetapi juga pada kehidupan liar dan manusia di wilayah tersebut. Es laut merupakan habitat bagi banyak spesies seperti penguin, anjing laut, dan paus. Es laut juga memengaruhi aktivitas perikanan dan pariwisata di Antarktika.

Para ilmuwan mengatakan bahwa perubahan iklim akibat emisi gas rumah kaca manusia adalah salah satu penyebab utama penurunan es laut Antarktika. Mereka juga menyoroti pengaruh fenomena alam seperti El Nino dan Samudra Selatan yang memodifikasi pola angin dan arus laut di sekitar benua.

Para ilmuwan mengimbau agar masyarakat dunia lebih peduli terhadap nasib Antarktika dan berusaha mengurangi emisi gas rumah kaca. Mereka juga meminta agar ada kerjasama internasional yang lebih kuat untuk melindungi ekosistem Antarktika yang unik dan rentan.

“Antarktika adalah tempat yang sangat istimewa, tetapi juga sangat rapuh. Kita harus bertanggung jawab atas apa yang kita lakukan terhadapnya,” kata Dr Holmes.

Share This Article