jfid – Karya sastra monumental Herman Melville, “Moby-Dick,” bukan sekadar novel biasa dalam kanon sastra dunia.
Dengan penulisannya pada tahun 1851 oleh Harper & Brothers di New York, kisahnya tentang seekor paus legendaris telah menyulam benang-benang ketiduran dalam kesusastraan global.
Cerita ini dipenuhi oleh kehidupan seorang pria bernama Ishmael, yang lelah dengan rutinitasnya dan memutuskan untuk menjelajah bersama kapal pemburu paus bernama Pequod.
Di atas kapal, kisahnya bertemu dengan galeri karakter yang tak terlupakan, seperti Queequeg, seorang penembak harpoon yang tubuhnya dihiasi tato, dan Kapten Ahab, pria yang terhanyut dalam obsesi terhadap Moby Dick, paus putih raksasa yang mencabut salah satu kakinya.
Melville mengarang “Moby-Dick” dengan kedalaman dan detail yang luar biasa, memantulkan pengalamannya sebagai pelaut serta pengetahuannya yang luas tentang industri perburuan paus.
Inspirasi diambil dari laporan serangan paus di dunia nyata, termasuk tragedi kapal pemburu paus Essex yang ditenggelamkan oleh paus pada tahun 1820.
Keindahan “Moby-Dick” tak hanya terletak pada narasinya yang memukau, namun juga dalam kemampuan Melville menggali ke dalam jiwa karakternya serta mengeksplorasi tema besar seperti obsesi, identitas, dan konflik manusia dengan alam.
Melalui kisah Kapten Ahab, kita diperlihatkan bagaimana obsesi bisa menjadi bencana, menghancurkan bukan hanya dirinya sendiri tetapi juga orang-orang di sekitarnya.
Karya ini tak hanya memaparkan petualangan lautan, namun juga perjuangan manusia menghadapi takdir serta kegilaan yang bisa timbul dari obsesi. Melalui “Moby-Dick,” Melville membingkai konflik mendalam antara manusia dan naluri alaminya.
Lebih dari 170 tahun berlalu sejak penerbitannya, novel ini masih terus memukau dan memberikan pelajaran mendalam.
Ia tetap menjadi bukti kejayaan Herman Melville sebagai seorang maestro pena, menantang pembaca dengan karya yang tak lekang oleh waktu.