jfid – “Ketika manusia modern lebih memilih menikmati latte mereka daripada menunjukkan solidaritas kepada korban perang, kita tahu ada yang salah dalam kompas moral kita,” demikian kutipan yang menghiasi salah satu cuitan viral di media sosial, X (dahulu Twitter), baru-baru ini.
Yang menjadi sorotan adalah dua kreator konten, Indah Gunawan (Indah G) dan Coki Pardede, yang dinilai menertawakan aksi boikot Starbucks sebagai bagian dari solidaritas untuk Palestina.
Narasi yang Membawa Hujatan
Semua bermula dari sebuah episode podcast “The Indah G Show” yang tayang tiga bulan lalu di YouTube.
Dalam episode tersebut, Indah G mengundang komedian kontroversial, Coki Pardede, untuk berbincang ringan tentang berbagai topik, termasuk boikot Starbucks yang sedang hangat dibicarakan sejak penyerangan Israel terhadap Palestina pada Oktober tahun lalu.
Pertanyaan Indah G yang tampak sepele, “Apa kamu masih minum Starbucks?”, dijawab dengan enteng oleh Coki, “Hampir setiap hari,” disusul tawa terbahak-bahak dari Indah G. Coki melanjutkan, “Gua juga enggak mau mempersulit diri gue, dengan enggak bisa minum kopi enak.
Yang mana gue tahu dengan tidak minum kopi itu juga tidak akan mengubah apa-apa. Lo ngerti enggak sih maksud gue?”
Komedi yang Menjadi Bumerang
Humor memang sering kali digunakan sebagai alat untuk mengkritik atau meredakan ketegangan dalam topik-topik berat.
Namun, saat Coki Pardede membandingkan aksi boikot dengan lagu “Heal The World” milik Michael Jackson yang menurutnya tidak membawa perubahan berarti, tawa yang keluar dari bibir Indah G semakin menegaskan bahwa mereka menganggap enteng isu serius ini.
“Makin hancur kan dunia setelah lagu itu keluar,” ujar Coki sembari tertawa.
Mungkin niat mereka hanya untuk menghibur, tetapi bagi banyak orang, komentar tersebut terasa seperti tamparan keras bagi mereka yang benar-benar peduli dan berjuang melalui aksi boikot.
Warganet berang bukan karena lelucon itu sendiri, tetapi karena ketidakpekaan dan kurangnya empati terhadap penderitaan warga Palestina.
Respon Warganet yang Menggelegar
Respons warganet terhadap video tersebut cukup mengerikan.
“Ewh??? Aku tidak tahu harus menempatkan mereka di mana karena tong sampah sudah penuh,” tulis akun @yelv* dalam sebuah cuitan yang mendapatkan ribuan likes dan retweet.
Kecaman juga datang dari pengguna akun @itsqua* yang mengatakan, “Boikot nggak boikot terserah, tapi mengejek dan tertawa keras tentang itu benar-benar sangat jahat. Ada apa dengannya?”
Potongan video podcast yang diunggah ulang di TikTok oleh akun @ronaldedizone, dan kemudian di-capture serta disebar di berbagai platform media sosial, memicu reaksi besar.
Hingga artikel ini ditulis, video tersebut telah dilihat 22 juta kali, mendapatkan lebih dari 47 ribu likes, dan direspon lebih dari 10 ribu kali.
Perspektif Empati dan Kemanusiaan
Di tengah badai kritik, penting untuk menyadari bahwa kebebasan berekspresi memang hak setiap individu, termasuk dalam bentuk humor.
Namun, ketika lelucon tersebut menyentuh isu kemanusiaan, seperti penderitaan warga Palestina, maka diperlukan kepekaan dan empati yang tinggi.
Solidaritas global yang terbangun melalui aksi boikot adalah bentuk dukungan nyata, meskipun kecil, terhadap mereka yang tertindas.
Menurut penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Consumer Psychology, aksi boikot memang tidak selalu memberikan dampak ekonomi langsung yang signifikan.
Namun, aksi ini lebih berfungsi sebagai bentuk protes simbolis yang dapat mempengaruhi citra perusahaan dan memaksa mereka untuk mempertimbangkan kebijakan yang lebih etis.
Sebuah studi dari Harvard Business Review juga menegaskan bahwa boikot dapat meningkatkan kesadaran publik dan memperkuat gerakan sosial.
Indah G dan Coki Pardede: Momen Refleksi
Indah G dan Coki Pardede mungkin tidak bermaksud menyakiti, namun mereka harus belajar bahwa sebagai figur publik, kata-kata dan tindakan mereka diawasi dan diinterpretasikan oleh jutaan orang.
Tertawa di atas penderitaan orang lain, meskipun hanya dalam konteks humor, adalah sesuatu yang harus dihindari.
Warganet yang marah menginginkan permintaan maaf dan penyesalan yang tulus dari mereka.
Kasus ini mengingatkan kita bahwa di era digital, di mana informasi tersebar dengan cepat dan luas, figur publik memiliki tanggung jawab besar dalam menyampaikan pesan yang sensitif.
Humor memang diperlukan, namun harus disertai dengan empati dan kesadaran sosial yang tinggi.
Bagi Indah G dan Coki Pardede, ini adalah momen refleksi, bukan hanya untuk mempertimbangkan konten yang mereka buat, tetapi juga untuk memahami dampaknya terhadap masyarakat.
Di masa depan, semoga mereka, dan kita semua, dapat belajar untuk lebih peka dan bijak dalam berucap dan bertindak.
Solidaritas, empati, dan kemanusiaan harus selalu diutamakan, terutama ketika kita membicarakan isu-isu yang begitu berat dan menyedihkan seperti konflik Palestina-Israel.